Tafsir Qur’an macam manakah yang bisa memenuhi kebutuhan orang?
Tergantung orangnya, tentu saja. Tergantung bidang perhatiannya yang utama. Dan, akhirnya, tergantung zaman. Ada bermacam-macam kitab tafsir. Ada yang lebih menitikberatkan pada pembahasan masalah-masalah kebahasaan dan kesastraan Arab, ada pula yang sibuk dengan perbantahan para ahli Kalam (ilmu tauhid) atau para ahli Ushul (teori hukum Islam). Juga ada yang gemar kepada takwil-takwil orang tasawuf. Atau kepada banyak riwayat, dongeng, termasuk yang dari jenis israiliat, produk Yahudi seperti yang antara lain terdapat dalam Perjanjian Lama.
Fakhruddin Ar-Razi (abad ke-5 Hijriah) bahkan memuat materi yang lain lagi: ilmu-ilmu riadhiyat (Aljabar, Matematika, Ilmu Pasti), dan Fisika, termasuk misalnya pembicaraan konsep kosmos model Yunani. Ini diikuti sebagian mufassir (penafsir Quran) yang lebih belakangan dengan bahasan-bahasan berhamburan, misalnya untuk menerangkan hanya satu kata dalam Al-Quran seperti langit atau bumi.
Muhammad Rasyid Ridha, penyusun Tafsir Al Manar yang sebagian besar bersandar pada pengajian gurunya, Muhammad Abduh (1849-1905), lebih melihat semua kecenderungan di atas dari segi negatif. “Di antara nasib jelek umat muslimin,” katanya, “adalah bahwa mereka mewarisi kitab-kitab tafsir yang lebih banyak membuat sibuk para pembacanya dari tujuan-tujuan (Al-Qur’an) yang luhur itu.” Yakni tujuan ketakwaan sendiri, yang sekaligus memberikan kekhusukan, rasa gentar di hadirat Allah, dan disiplin beragama.
Kritik Rasyid Ridha itu kurang lebih mewakili para mufassir mutakhir. Zaman ini adalah, agaknya, zaman berlalunya ilmu-ilmu Islam, atau penguasaan atas ilmu klasik itu, setidak-tidaknya bila untuk itu disyaratkan bekal bahasa dan sastra Arab dengan segala pelik-peliknya. Di abad-abad lalu, sementara ilmu keagamaan tumbuh dengan gemilang, Al-Qur’an lebih tampak sebagai sebuah kitab yang harus dibahas dari segala seginya.
Dengan kata lain, objek analisis. Lebih malang lagi kalau ia sekadar cantolan untuk diskusi mengenai ilmu-ilmu itu sendiri. Sementara di zaman global ini, orang kiranya lebih ingin memandang Qur’an sebagai benar-benar petunjuk, dengan tafsir yang sungguh-sungguh menerangkan apa yang dimaksud Allah.
Demikianlah maka Rasyid Ridha, misalnya, menyusun Al-Manar (Menara), Al Maraghi juga menyusun tafsirnya, Sayid Quthb menulis Fi Zhilalil Qur’an (Di Dalam Bayangan Al Quran), Abdullah Yusuf Ali menulis The Glorious Koran, dan Leopold Weiss Mohammad Asad menghasilkan The Message of the Koran. Dari pihak Syiah Imamiah (Iran) Thabathabai mengarang Al-Mizan (Timbangan), dan dari Ahmadiyah Maulvi Muhammad Ali mengarang The Holy Qur’an.
Di Indonesia dibuat tafsir-tafsir ringkas seperti Al-Furqan (Pembeda) dari A. Hassan, Al-Bayan (Penjelasan) dari Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ada juga tafsir H.M.K. Bakri. Semua itu dimulai oleh tafsir Mahmud Yunus. Namun tafsir di sini yang paling luas adalah Al-Azhar dari Prof. Dr. Hamka.
Adapun Al-Munir (Yang Benderang), karya Syekh Nawawi Al Bantani, ulama Banten yang berkarya di Makkah pada abad lampau, masih menurut tradisi lama yang mudah dikenali dari formatnya sebagai kitab kuning, hanya saja dari jenis ringkas. Ia layaknya menapaki jalan Tafsir Jalalain yang banyak dipakai, yang separuhnya ditulis oleh Jalaluddin As-Suyuthi (Mesir). Demikian pula Al-Ibriz karya K.H. Bisri Mustofa, yang terbit sesudah Kemerdekaan, dalam bahasa Jawa bertuliskan Arab.
Tidak berarti Al-Manar sekadar tafsir yang menerangkan secara lurus pengertian ayat, tanpa memuat kontroversi keilmuan klasik sebatas yang memang berkenaan dengan pesan-pesan Al- Qur’an. Bahkan banyak sekali dimuat ihwal situasi politik negeri-negeri Islam, yang waktu itu semuanya berada di bawah penjajahan. Hanya memang ada perbedaan antara yang lama dan yang baru. Bila perbincangan keilmuan pada zaman klasik banyak sekali merupakan penuangan perdebatan antar mazhab, misi utama tafsir modern bisa diberi garis tebal sebagai misi ke bangkitan Islam. Memang, terdapat juga tambahan misi penguatan mazhab (sekte), tetapi itu hanya pada tafsir Syiah dan sedikit pada Ahmadiyah. Tiga istilah, yang sama sekali tidak dikenal tafsir lama (atau salaf) dalam tafsir modern menjadi panutan untuk pengertian-pengertian dikotomis sehubungan dengan misi kebangkitan itu. Yakni, al-gharb, auruba dan al-mustasyriq (Barat, Eropa, dan orientalis).
Akan tetapi, sehubungan dengan misi kebangkitan ini, fenomena sebuah tafsir yang lain, Al-Jawahir, cukup menarik. Ditulis oleh jenius besar yang juga murid Muhammad Abduh, Thanthawi Jauhari, Jawahir menggaungkan kehendak kebangkitan itu dengan memampangkan keagungan Islam dan Al- Qur’an di depan Barat dan ilmu-ilmu modern dengan cara persis seperti yang justru dikeritik Rasyidl Ridha, yakni menjadikan ayat atau bahkan ungkapan Al-Qur’an hampir-hampir sebagai sekadar batu loncatan. Inilah tafsir pertama, dan terbukti satu-satunya sampai sekarang, yang memuat foto-foto, berbagai sketsa dan bagan-bagan, mulai dari bintang-bintang sampai cacing pita sampai manuskrip Cina. Sehingga, menurut Yusuf Ali, inilah kitab tafsir Quran yang memuat segala-galanya kecuali tafsir. Sebuah penilaian bagus yang tidak seratus persen tepat.
Adapun landasan kehendak kebangkitan Islam pada tafsir-tafsir modern adalah salafiah dengan pengertian puritanisme. Dan itu tidak lain sikap kritis terhadap kesahihan hadis-hadis Nabi. Sikap ini bukan tidak ada sejak dulu, bahkan dari sana sumbernya. Namun penyaringan hadis-hadis, pada kitab-kitab klasik (tidak semuanya), betapapun tidak terlepas dari interes berbagai mazhab, hal yang menyebabkan penyaringan sering lebih terlihat sebagai pemilihan.
Sampai munculnya Ibnu Taimiah pada abad ke-14 Masehi, tokoh mazhab Hanbali yang menembus kebekuan dan penyekatan-penyekatan antar mazhab. Adalah Ibnu Taimiah (yang oleh kaum Syiah justru disebut sebagai “pembuat bid’ah terbesar”) yang merupakan bapak kaum pembaru dalam sikap kritis terhadap otentisitas hadis, yang layak sekali bila gambarannya diberikan dengan menukil Rasyid Ridha dalam pengantar tafsirnya di bawah ini.
Bersambung
Penulis: Syu’bah Asa. Sumber: Panji Masyarakat, 21 April 1997