Di tulisan yang lalu (Ilmuwan Kok Percaya Tuhan/panjimasyarakat.com, red) saya menjanjikan akan mengemukakan bagaimana proses pendewasaan (paling tidak soal pemikiran keislaman) kelompok mahasiswa muslimin di Berlin Barat serta beberapa tempat lain di Eropa Barat. Sampai saat ini saya terus menempuh kemungkinan untuk karib dengan mereka: apa yang kini saya tuliskan, adalah kesan-kesan yang besok pagi mungkin bisa berkembang atau berubah.
Orang yang sudah berada di antara bintang-bintang, Cita-citanya tak tinggi lagi. Tapi kini, Ummat Islam berada justru di awal kebangkitan dari suatu kejatuhan yang panjang dalam sejarahnya. Keadaan ini menentukan psikologi kita untuk selalu berharap terlalu banyak dari setiap gejala. Psikologisme semacam ini, juga yang menghinggapi saya kapan saja berhadapan dengan kegiatan kelompok muslimin. Kita adalah fuqoro, yang memimpikan Allah al-ghoniy, al-mughniy, bisa dibuktikan betul oleh kreativitas pemikiran dan gerak kaum muslimin. Barangkali, karena secara pribadi saya bukan muslim yang cukup baik, maka idaman saya akan hal tersebut justru amat tinggi dan mewah serta meningkat terus-menerus.
Banyak kegembiraan, tapi juga kecemasan dan kengerian, bertemu dengan pelarian-pelarian muslimin dari Iran, atau para keluarga pekerja Turki dan Maroko di Eropa Barat. Namun bergaul dengan kelompok muslimin dari Indonesia menyodorkan kegelisahan tersendiri.
Kelompok muslimin Indonesia di Berlin Barat adalah bagian dari organisasi pelajar mahasiswa muslimin se-Eropa yang berpusat di Den Haag, Belanda. Mereka memiliki koordinasi program, tapi masing-masing cabang juga mengerjakan aktivitas spesifiknya sendiri.
Ketika datang di Berlin, saya sebenarnya diundang oleh kelompok non-agama, yang dikenal sebagai ’kiri-progresif’. Segera saya mengalami ketegangan dan Kekisruhan hubungan antara kelompok mahasiswa kita di Berlin itu: suatu cermin Khas dari heterogenitas ideologi masyarakat Indonesia. Masing-masing bilang ’kita’ dan ‘mereka’. Masing-masing mengecam masing-masing. Yang satu menganggap lainnya musuh — dan saya adalah teman dari semuanya yang ’diminta’ untuk memusuhi kelompok lain.
Itu suatu kisah tersendiri. Yang penting, dalam waktu sebulan di kota itu saya berdiskusi, pengajian dan ’rapat’ sebanyak empat kali dengan kelompok mahasiswa muslimin. Disertai banyak ketegangan, lirik-lirikan, pelotot-pelototan di tengah konstelasi Indonesia kecil yang memang ruwet itu — toh saya mencatat suatu perkembangan yang menggembirakan pada kelompok muslimin tersebut. ,
Perjuangan utama mereka sesungguhnya bagaimana syari’at Islam bisa survive dalam kehidupan mereka di tengah kota metropolit itu. Mereka mengadakan pengajian rutin, belajar baca Qur’an, kemudian menata etik-akhlak keislaman di antara mereka. Sedemikian rupa sehingga belum bisa diharapkan integritas yang lebih luas dengan lingkungannya yang multi nilai, atau bagaimana mereka mengembangkan pemikiran Islam, mereka menanggapi tata nilai lingkungan yang amat menantang itu. Maka bisa dimaklumi kalau keagamaan mereka cenderung formalistik. Waktu tak banyak, sibuk kuliah dan memikirkan hal-hal yang teknologis sifatnya.
Maka sesungguhnya, saya telah salah duga. Islam belum tampil dalam percaturan nilai: kaum Muslimin Kita itu sangat defensif dan baru berjuang untuk survive.
Teringat saya sehabis menulis di Panjimas (sebutan populer majalah Panji Masyarakat, red) tentang kecenderungan paternalistik di kalangan umat Islam Indonesia, saya memperoleh undangan mengejutkan dari anak-anak muda muslimin Kampung Bugisan Yogya — untuk mendengarkan ceramah rutin yang mereka selenggarakan. Itu di awal 1984.
Saya datang, dan menjumpai sesuatu amat mengharukan hati dan merangsang rasa syukur kepada Allah. Di malam minggu, anak-anak muda, gondrong, berkumpul di sebuah rumah kecil, bersama-sama meniti secara sistematis nilai-nilai Islam. Mereka mengutip kembali dasar-dasar nilai Islam serta potretnya pada manusia dan masyarakat, dalam suatu skema dan kronologi yang rapi. Di tengah galau zaman, di tengah tekanan-tekanan ekonomis, politis dan ideologis di negeri ini, mereka kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka dengan tekun dan sabar membangun diri dan mengembangkan kreativitas pikiran keislaman, karena menyadari betapa problem-problem sejarah masa kini membutuhkan jawaban konkret. Suatu kerja yang panjang, amat panjang, tetapi ketekunan semacam itu yang memang sekarang kita butuhkan — ketika lembaga persekolahan tak mengajarkannya, ketika struktur kekuasaan negara membimbing ke yang sebaliknya, dan ketika udara lingkungan kemasyarakatan abad ini makin berbau Abu Jahal.
Pertumbuhan semacam itu, anak-anak muda yang mandiri mempelajari Islam, ternyata cukup gencar di Indonesia. Mereka tak tinggal frustrasi oleh krisis kepemimpinan di Kalangan umat Islam. Mereka mendidik diri, mungkin tidak untuk menjadi pemimpin, tetapi setidaknya mengisi aspirasi-aspirasi kepemimpinan kaum muslimin. Bersamaan dengan itu, perkembangan pemikiran Islam menaik dengan pasti di Indonesia, meskipun memang masih semrawut dan belum ’terkoordinasi’ tanpa diketahui oleh media massa, karena media massa kita terlalu sibuk dengan isu semu tentang ‘semangat negara Islam’, ’Islam sempalan’, atau kebodohan untuk mentransfer revolusi Khomeini secara verbal.
Dari wawasan ini, dari tanah air saya ke Berlin, tentu saja dengan mimpi yang muluk dan penasaran. Tetapi, toh saya melihat perkembangan yang bagus. Sehabis berdiskusi melebarkan proyeksi nilai-nilai Islam ke masalah-masalah sosial, berulang kali; sehabis menatap dharurah problem kemasyarakatan Indonesia. dan menatapnya dari kacamata Islam perlahan-lahan mereka mulai: membuka pintu dan jendela.
Dari kotak formalistik mereka mulai melihat keluar dan menyadari. ‘bahwa dunia begitu luas, dimensi gejala begitu multi, tantangan terhadap Islam jauh lebih kompleks dibanding menyembelih ayam tanpa bismillah.
Mereka mulai melihat jarak antara ’negara’ dan ’bangsa’. Mulai menginsafi bahwa Qur’an dan Hadis mengurus bukan saja doa, berwudu dan berapa derajat ke tenggara arah kiblat. Tetapi, nilai Islam sangat berkaitan juga dengan ke mana larinya kilang minyak, kenapa hutan seluas itu terbakar, atau kenapa harga semangkok soto di kecamatan Rejosari hanya 75 perak, tapi di kota Surabaya bisa 250 perak (tahun 1984, red).
Terakhir, saya terlibat dengan mereka dalam diskusi tentang pengemis. Menguliti problem itu. secara struktural, dan merencanakan untuk bikin organisasi kecil buat ikut menolong orang-orang malang itu.
Den-Haag 16-12-1984
Penulis: Emha Ainun Nadjib, penyair-budayawan, tinggal di Yogyakarta. Sumber: Panji Masyarakat, 21 Januari 1985 (Artikel ini ditulis saat Emha mengembara selama beberapa bulan di Eropa Barat pada pertengahan tahun 1980-an)