Nabi Musa a.s. konon berpostur atletis: tubuh tegap dan kuat, dengan otot-otot yang menonjol kekar. Sifatnya spontan, temperamental, dan sedikit berangasan. Tapi, ia adalah manusia pilihan bergelar kalimullah, ‘yang diajak bicara oleh Allah’. Sebab dialah satu-satunya nabi yang berkesempatan dialog langsung dengan Allah. Mendapat nikmat ini, Musa seperti mabuk oleh cintanya yang meledak-ledak kepada Allah. Tapi jangan bandingkan dengan seorang pemuda yang bercakap asyik per telepon dengan gadis pujaannya lalu minta bertemu.
“Ya Tuhan, menampaklah padaku sehingga aku bisa melihat-Mu,” katanya.
“Kau tidak akan sanggup melihat-Ku,” jawab Allah. “Tapi, baiklah. Coba tatap bukit itu. Jika ia tetap tak berubah di tempatnya, maka kamu akan bisa melihat-Ku.”
Sejurus kemudian, laksana disambar kilat teramat dahsyat, bukit itu seketika hancur berkeping-keping, begitu (cahaya) Allah menampak padanya. Mata dan syaraf Musa—bahkan sekujur tubuhnya—tak tahan melihat itu, dan ia jatuh tersungkur. Pingsan. “Mahasuci Engkau, ya Allah,” dia bergumam begitu siuman. “Saya sekarang bertobat kepada-Mu, dan saya menjadi muslim, yang berserah diri, yang pertama.”
Waktu terus beredar. Musa telah kembali ke tengah kaumnya. Suatu kali, ia ditanya seseorang setelah ia menyampaikan pidato yang memu-kau.
“Musa, siapakah orang yang paling pintar di kalangan Bani Israil?”
“Saya kira, saya,” jawabnya man-tap.
Tak berkenan dengan kata-kata ini, Allah lalu menyuruh Musa berguru kepada seorang hamba salih bernama Khidhir. Orang ini, demikian firman Allah dalam surah Al-Kahfi, “telah Kami beri nikmat dan ajari dia suatu ilmu dari sisi Kami”. Dengan perintah-Nya ini, Allah ingin memperlihatkan kepada Musa betapa kelirunya ia punya klaim, sekaligus Ia hendak membelajarkannya mengenai tanda-tanda-Nya, setelah ia tidak sanggup menembus Dzat Allah.
Musa pun menyisir tepian laut, sesuai dengan perintah Allah. Singkat kata, bertemulah ia dengan hamba saleh tersebut. “Bolehkah aku ikut kamu dan belajar tentang ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” tanya Musa.
“Kamu tidak akan sanggup bersabar denganku,” jawab orang itu. “Bagaimana kamu bisa bersabar atas sesuatu yang kamu tidak cukup tahu tentangnya?”
“Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar. Aku berjanji tidak akan menentangmu, tentang apa pun.”
“Baiklah, kamu boleh ikut aku. Tapi, jangan sekali-kali bertanya ten-tang apa pun sebelum aku sendiri menjelaskannya.” Musa mengiyakan.
Mereka pun pergi bersama, naik perahu. Tiba-tiba Khidhir berulah. Ia merusak dan melubangi perahu yang sedang berlayar itu. Musa langsung protes. “Apa-apaan ini? Kamu ingin semua penumpangnya tenggelam apa? Ah, kamu telah berbuat kesalahan besar.”
“Bukankah aku sudah bilang, kamu tidak akan tahan bersamaku,” tukas Khidhir.
“Oh ya.” Musa baru tersadar. “Tapi, tolong jangan hukum aku gara-gara kelupaanku ini,” katanya.
Mereka kini berjalan kaki setelah turun dari kapal. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan seorang bocah yang manis. Sekonyong-konyong, tas! Khidhir membunuh anak itu. Bukan main marahnya Musa. Beraninya orang berbuat kejahatan di depan seorang utusan Allah—ya dia sendiri.
“Mengapa kau bunuh dia, seorang bocah yang suci, tanpa dosa? Dia kan tidak membunuh siapa-siapa? Ah, kamu telah berbuat munkar,” Musa meradang.
“He, bukankah aku dulu sudah bilang, kamu tidak akan sanggup bersabar bersamaku?” kata Khidhir.
Sekali lagi, Musa dibuat tersadar. “Begini saja,” katanya kemudian. “Kalau aku, setelah ini, masih bertanya lagi tentang sesuatu kepadamu, kamu boleh meninggalkanku. Kamu sudah cukup memberiku toleransi.”
Mereka berangkat lagi, dan tibalah mereka di sebuah desa , Kedua musafir ini minta sesuap makanan kepada penduduk desa. Tapi, alamak, tak seorang pun mau memberi mereka makan. Kikir benar mereka.
Lalu mereka menemukan sebuah dinding yang mau roboh. Khidhir, tanpa diminta, lalu memperbaikinya. Tak waras orang ini, begitu kira-kira yang ada di benak Musa yang masih jengkel dengan penolakan penduduk desa. “Kalau kau mau, kamu kan bisa minta upah?” tanyanya.
Sekarang tidak ada ampun lagi. “Inilah saatnya kita berpisah,” kata Khidhir. “Tapi, akan aku jelaskan lebih dulu padamu maksud di balik tindakan-tindakan yang telah membuat kamu tidak sabar.”
“Begini,” Khidhir mulai memberi kuliah. “Kapal (yang kita tumpangi dulu) itu milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Kebetulan, di belakang mereka ada raja yang zalim. Ia selalu merampas setiap kapal milik rakyat yang bagus-bagus. Biar tidak dirampas, aku buat cacat dia.
Adapun bocah yang kita temui dulu, kedua orang tuanya mukmin yang baik. Aku khawatir, kelak ia akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan dan kekufuran. Makanya dia aku bunuh agar kedua orang tuanya mendapat ganti anak yang lebih suci lagi.
Sekarang soal dinding. Bangunan ini milik dua bocah yatim yang tinggal di kota, anak seorang saleh. Di bawahnya ada harta simpanan mereka. Kalau ini sampai roboh, harta mereka akan kelihatan. Tuhan menghendaki bocah itu tumbuh besar dan nanti bisa mengambil harta tersebut, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Semua ini kulakukan bukan atas kehendakku sendiri.”
Kisah perjalanan kedua musafir itu agaknya memberi pelajaran tentang rahasia kehidupan, yang nota bene memantulkan rahasia Ilahi. Betapa sering kita, seperti halnya Musa, protes kala merasakan ketidakadilan. Kita menjadi masygul manakala kesedihan dan kesulitan mendera kita. Kita pun kerap terperangah kala tiba-tiba meraih kesenangan dan keuntungan.
Kehidupan ibarat telaga Ilahi yang sangat luas dan dalam. Terkadang, akal saja tak cukup. Perlu mata hati untuk menembusnya. Bahkan, seorang Musa pun, yang telah berdialog dengan Allah, perlu belajar dari seorang bijak untuk mengasah mata hatinya, guna menyelami keda-laman telaga Ilahi tadi.
Sumber: Panji Masyarakat, 7 Juli 1997