Ads
Bintang Zaman

Muhammad, Sang Pemimpin (2)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Piagam Madinah

Keberhasilan misi hijrah ditandai dengan ikatan tali persaudaraan (muakhah) antara kaum pendatang (Muhajirin) dan penduduk asli (Anshar). Bukan pekerjaan mudah mempersatukan dua komunitas dengan latar belakang sosiokultural yang berbeda. Muhammad Hussein Haekal menyatakan, yang dilakukan Muhammad s.a.w. merupakan langkah politik yang sangat bijak dan berwawasan jauh ke depan. Dengan berbagai kebijaksanaan beliau, umat Islam selamat dari jebakan-jebakan provokasi dan agitasi politik Yahudi yang bermaksud menjatuhkan umat Islam ke dalam konflik antarfaksi, seperti antara suku-suku Aus dan Khazraj atau Muhajirin dan Anshar. (Haekal, 198). 

Namun Nabi s.a.w. berhasil memformulasikan suatu perjanjian damai dan penuh toleransi antara umat Islam dan umat Yahudi. Dan itulah ‘Piagam Madinah’. 

Dalam versi Montgomery Watt, konstitusi Madinah itu dipecah-pecah menjadi 47 pasal. Demikian juga yang dilakukan Munawir Sjadzali. Kalau mau jujur, sungguh piagam ini merupakan hasil praktek politik yang sangat menakjubkan sepanjang sejarah. Haekal menyatakan, fase sejarah yang dialami Rasul Muhammad ini tidak pernah dialami utusan Tuhan mana pun, tidak terkecuali Musa atau lebih-lebih Isa. Nabi-nabi terdahulu terbatas misinya hanya pada menjalankan dakwah agama—dengan jalan khutbah, debat, dan mukjizat. Sebaliknya dalam metode dakwah Muhammad s.a.w., beliau terus mengawal misi. Muhammad adalah seorang Rasul, negarawan, pejuang, penakluk, dan diplomat. Ia merupakan figur manusia paripurna yang sesungguhnya. 

Unsur Demokrasi

Para teoretikus politik kontemporer meragukan apakah dalam kepemimpinan Nabi terdapat unsur-unsur demokrasi. Sebenarnya tidak terlalu adil menyorot pola kepemimpinan Nabi melalui  perspektif modern. Namun kalangan teoretisi politik Islam, khu-susnya kaum pembaru, meyakini bahwa konsep kepemimpinan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kompatibel dengan konsep demokrasi modern. Dalam Al-Qur’an dikenal konsep syura. Lebih jauh, dalam beberapa kasus berikut kita bisa memberikan penilaian apakah kepemimpinan Nabi sesuai dengan konsep demokrasi modern. 

Baik sebagai pribadi maupun, apalagi, sebagai rasul Allah, Muhammad s.a.w. suka bermusyawarah. Sebagai pribadi, beliau orang yang tidak egosentris dan sangat toleran kepada kepentingan orang lain, dan sebagai utusan Tuhan beliau menjalankan perintah Quran untuk bermusyawarah. Tetapi pola musyawarah yang dilaku-kan Nabi tidak selalu monoton. Kadang kala dengan cara melemparkan persoalan ke forum yang besar, ada kalanya  hanya untuk kalangan sahabat terkemuka, terkadang pula hanya dengan orang-orang yang dianggap ahli dalam bidang tertentu. Mengingat kedudukan beliau sebagai utusan Allah, Nabi tidak selalu menerima usulan, karena di samping itu beliau juga menerima wahyu. Bahkan tidak jarang Nabi mengambil keputusan yang berlainan dengan kehendak para sahabat—dan ternyata justru Tuhan menghendaki pendapat yang beliau tolak. 

Menjelang Perang Badar, misalnya, Nabi memutuskan posisi pasukan muslimin di dekat sebuah mata air. Lalu datang Hubab bin Munzhir, menanyakan apakah keputusan beliau berdasarkan wahyu. Nabi menjawab, tidak. Hubab lalu mengusulkan tempat pasukan muslim dialihkan ke mata air yang paling depan. Lalu, “Kita bawa tempat air yang banyak, diisi penuh, lalu semua mata air ditutup”—dengan perhitungan, kalau dipukul mun-dur, pasukan Islam purya cadangan air, sementara pihak musuh tidak. Saran Hubab diterima dengan baik. 

Sikap demokratis Nabi bahkan dilakukan dengan pihak lawan. Perjanjian Hudaibiah (nama tempat di luar Mekah) terjadi pada tahun 7 Hijriah, ketika Nabi dan umat Islam di Madinah hendak menunaikan ibadah umrah di Mekah tetapi dihalang-halangi oleh pihak Quraisy. Padahal Nabi tidak bermaksud apa pun selain murni ibadah —dalam pakaian ihram, dan tanpa senjata. 

Dalam perundingan, Nabi mengakomodasi keberatan-keberatan yang diajukan utusan pihak Quraisy Mekah yang bernama Suhail bin Amr. Suhail minta agar kata-kata yang ditulis Ali r.a., “Dengan nama Allah, Maha-pengasih, Mahapenyayang (Bismillallirrahmanirrahim)” diganti dengan “Dengan nama-Mu ya Allah (Bismikallahumma)” , karena dalarn masyarakat Suhail tidak dikenal konsep ar-rahman ar-rahim. Suhail juga tidak mau menerima kata Muhammad Rasulullah. Katanya, kalau ia menerima Muhammad sebagai utusan Allah, mengapa ia memeranginya? Usulan itu diterima. 

Juga dalam memperlakukan laki-laki maupun perempuan. Bagi beliau, pria dan wanita sama-sama memiliki hak untuk diperlakukan setara. Kaum perempuan pada masa Nabi bebas melakukan aktivitas belajar. Pendek kata perempuan pada saat itu bisa ikut serta dalam peristiwa-peristiwa penting. Ruth Roded, dalam Kembang Peradaban, meneliti aktivitas kaum perempuan pada masa awal Islam dan menyatakan bahwa sekitar 1.200 perempuan bertemu dengan Nabi dan mereka meriwayatkan hadis beliau. 

Kehidupan antaragama pada masa Nabi juga mendapat perhatian. Terhadap orang yang berbeda pendapat, Nabi secara penuh menjamin keberadaannya sesuai dengan Konstitusi Madinah. Di situ dinyatakan: 

Wa anna yahuuda banii ‘aufin ummatun ma’ al mukminiin. Lil-vahuudi diinuhum zvalil-muslimiina diinuhum… Wa arina li-yahuuda banii saa’idah wa yahuuda jusymin wa yahuuda banil aus wa yahuuda banii tsa’labah wa li-jafnah wa li-banii syutaibah mitsla maa li-yahuuda banii ‘Auf.” (Bahwa kaum Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan kaum mukmin. Bagi orang Yahudi agama mereka, bagi kaum muslimin agama mereka. Bahwa bagi Yahudi Bani Sa’idah dan Yahudi Jusymin dan Yahudi Bani Aus dan Yahudi Bani Tsalabah dan bagi Jafnah dan  Bani Syutaibah ketentuan yang sama dengan pada Yahudi Bani Auf). 

Konstitusi ini jelas sangat sesuai dengan tuntutan demkrasi modern (yang mencakup penduduk etnis yang menurut ukuran kita adalah “nonpri”) yang membebaskan orang memeluk agama dan beribadah turut kepercayaan masing-masing. 

Robert N. Bellah bahkan mengatakan, konsep kepemimpinan Muhammad s.a.w. merupakan yang palng demokratis sepanjang sejarah. Toh, banyak teoretikus modern yang menyerang Islam sebagai agama yang tidak mungkin bisa berdampingan atau menerima konsep demokrasi. Mereka menyatakan, kalau Islam nyerap demokrasi, ia harus rela menerima kehendak rakyat di atas hukum, termasuk syariah. 

Pernyataan itu salah, menurut Abdul Wahab Al-Affandi, karena yang paling penting, dalam negara demokrasi adalah diselesaikannya segala persoalan yang muncul secara bijak dengan jalan damai. Karena itu demokrasi menjadi hal yang signifikan dan relevan untuk negara Islam mana pun dan kapan pun. 

Prinsip demokrasi yang seperti itu sekaligus membantah  Maududi dan Sayyid Quthb yang menolak bercampur tangan dengan komunitas yang belum menggunakan syariah. Bagi keduanya, masyarakat prasyariah bukan menjadi urusan umat Islam. Padahal, justru dengan  demokrasi bisa dilakukan pendekatan persuasif untuk membimbing masyarakat menuju nilai Islam. Cuma, dalam demokrasi aspirasi komunitas merupakan elemen  yang tidak bisa diganggu gugat. Dengan kata lain, komunitas punya hak untuk memikirkan dan memperdebatkan syariah. 

Untuk itu Abdul Wahab Al-Affandi, seraya mengacu Konstitusi Madinah, mensyaratkan setidaknya empat yang harus diperhatikan umat Islam dalam menjunjung tinggi negara Islam. Pertama, negara harus independen dan mandiri. Islam harus menjauhkan diri dari agresif dan kacau. Negara juga harus menjauhkan . dari tekanan konsumerisme yang mereduksi sebab masyarakat kita menjadi semata-mata makhluk pengabdi  kenikmatan. 

Kedua, negara harus mempunyai cara pandang ke luar (outward looking) yang menegaskan jati dirinya dan menjadi pusat dunia global. Ketiga, komunitas negara harus bersifat plural. Kepercayaan kepada pluralisme ini penting sebagai sarana untuk mengakomodasi nonmuslim. Komunitas Islam tidak seharusnya merendahkan komunitas lain yang dalam jajaran warga kelas dua (dzimmy). Ini bisa didapatkan jika dikembalikan semuanya kepada model negara Madinah yang pernah didirikan Nabi. 

Pada masa ini, tampaknya kita tidak mungkin kembali ke masa kenabian. Biar bagaimanapun pengalaman tidak akan bisa diulang, apa lagi pengalaman yang melibatkan orang suci (ma’shum). Yang maksimal bagi kita adalah menjadikan pengalaman Nabi sebagai inspirasi bagi terciptanya tata nan kenegaraan yang dijiwai etika dan moral Islam.  

Penulis: Dr. Syafiq Hasyim, kini dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Universitas Islam Internasional Indonesia. Artikel yang dimuat Panji Masyarakat edisi 21 Juli 1997 ini ditulis ketika Syafiq bekerja sebagai  anggota staf peneliti pada Perhimpunan Pengembanaan Pesantren dan Masyartikat (P3M) Jakarta.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda