Ads
Tafsir

Ketika Jibril Memeluk Muhammad (2)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Tidak diterangkan, malaikat itu datang dalam wujud yang bagaimana. Nabi sendiri tidak menyebut “seorang laki-laki”, melainkan “dia” (riwayat Bukhari), atau “Jibril” (riwayat Ibn Ishaq). Hanya saja, hal yang memberi kesan bahwa yang terjadi di dalam gua adalah adegan antara dua makhluk yang (waktu itu) kasat mata ialah adanya dialog itu. Dalam penuturan Ubaid, riwayat Ibn Ishaq, bahkan Jibril mempertunjukkan sebuah wadah dari sejenis kain beledu yang bertuliskan huruf-huruf, lalu meminta Nabi membaca (Ibn Hisyam, I, 252). Dialog maupun peragaan itu menunjuk kepada dua tubuh terpisah, dan, akibatnya, pagutan keras Jibril kepada Nabi terbayang sebagai semata aktivitas fisik. 

Padahal, seperti juga terhadap pewahyuan Muddatstsir, kita tak tahu. Dalam riwayat Thabari, juga Ibn Hisyam, untuk pagutan kuat itu kata yang dipakai dalam hadis bukan fa-ghaththani, melainkan fa-ghat-tani, dan ghatta adalah menahan nafas (orang) alias mencekal nafas (Ibn Hisyam, ibid.). Dengan singkat, Nabi s.a.w. merasa didekap kuat tiga kali dan diminta menirukan bacaan, tapi, ya, di manakah itu terjadi? Di luar tubuh? Di dalamnya? Rasyid Ridha menyimpulkan hikmah dekapan dahsyat malaikat itu sebagai dimaksudkan untuk “menguatkan ruhani Nabi s.a.w., sehingga mampu bersambung dengan (dunia) malaikat dan memperoleh pemahaman” (Al-Manar, XI,181). Tapi kita sebenarnya tak tahu, apakah itu dekapan fisik.

Memang, berbeda dengan wahyu kedua, yang tidak diterangkan dalam hadis tentang wahyu pertama ini justru prolognya. Ada, memang, yang menganggap ayat-ayat Surah Bintang di muka sebagai penuturan prolog itu. Tapi andaipun itu benar (dan terasa logis: gua itu di puncak gunung, sebuah ceruk sempit yang hanya memberikan rasa enak kalau Anda duduk bersila, dan itu berarti persis di depan pintu, langsung menentang langit, dan dari sanalah malaikat itu datang), toh, seperti halnya di kamar Nabi, ukuran ruang itu tak memungkinkan tubuh asli Jibril menciptakan adegan mendekap Rasulullah itu kecuali kalau ukuran tubuh tidak termasuk dalam pengertian ‘bentuk asli’. 

Ada pernyataan Ibn Khuldun yang dikutip Rasyid Ridha, tentang terjadinya, dalam suatu keadaan, “perpindahan malaikat dari wujud ruhani yang mutlak ke wujud manusia yang jasmani” (Al-Manar, XI, 179). Tapi Rasyid bukan sedang berbicara tentang pewahyuan Hira. Demikian juga agaknya Ibn Khaldun. Sejalan dengan itu bisa diingat bahwa dalam sunnatullah yang umum, penampakan seorang malaikat dalam wujud manusia tidak berhubungan dengan wahyu langsung (direct revelation) alias wahyu yang bisa dibaca (wahyun matluw). 

Misalnya, para malaikat menampakkan diri sebagai laki-laki normal di mata Ibrahim (Q. 11: 69-76), Luth (Q. 11:77-81), dan (hanya seorang, Jibril) di hadapan Maryam (Q. 19:17-26). Dalam kesemuanya itu terdapat penyampaian pesan Tuhan lewat dialog, tetapi bukan wahyu matluw.

Kehidupan kerasulan Nabi s.a.w. sendiri bahkan terhitung yang paling penuh dengan kedatangan Jibril tak ada seorang nabi yang menyamai beliau. Jibril a.s. muncul dalam aneka kesempatan. Sebagai laki-laki yang bertanya tentang iman, islam, dan ihsan, serta tanda-tanda kiamat. Sebagai tamu yang menitipkan salam untuk Khadijah r.a. Juga untuk Aisyah r.a. Jibril bahkan datang sekali setiap bulan untuk mentadaruskan Qur’an dengan Nabi; dan di tahun beliau wafat, ketika seluruh pewahyuan sudah` dirampungkan, ia datang dua kali. Semuanya bisa dicek pada Bukhari dan Muslim. 

Tetapi, juga, dalam semua kesempatan itu tidak ada wahyu matluw. Biasanya Jibril datang kepada Nabi dalam rupa Dihyah Al-Kalbi, laki-laki yang terkenal paling cantik di antara semua sahabat (dan di belakang hari ditunjuk Nabi sebagai utusan yang mengantarkan surat beliau kepada Heraklius, kaisar Bizantium). Ini sendiri menunjukkan suasana yang relatif lebih santai. 

Sementara itu semua hadis tentang pewahyuan menggambarkan suatu proses yang bisa diwakili kata-kata Ibn Abbas r.a.: “Dahulu Rasulullah s.a.w. menerima wahyu dengan sangat berat.” Atau kata-kata Aisyah r.a., “Saya sendiri pernah melihat beliau dalam keadaan turun wahyu di hari yang luar biasa dingin, dan dahi beliau bersimbah peluh.” Atau penuturan Zaid ibn Tsabit r.a., yang suatu kali duduk (bersila) di sebelah Nabi, ketika tiba-tiba ia merasakan pahanya seperti hampir pecah ditindih paha Nabi s.a.w. yang tiba-tiba mengalami pewahyuan. 

Atau pengakuan seorang sahabat yang suatu kali tidak bisa menahan diri untuk sedikit menyingkapkan serban yang hampir selalu dipakai Nabi menutupi kepala dan wajah beliau di saat pewahyuan, dan mendapati wajah Nabi yang mulia dalam keadaan luar biasa merah padam. Semua hadis itu rekaman Bukhari, dan sebagiannya juga Muslim. Atau seperti yang dituliskan Ibnul Qaiyim dalam Zadul Ma’ad, “Sampai-sampai unta beliau merebahkan diri ke tanah bersama penumpangnya, kalau beliau kebetulan sedang berkendara (dan turun wahyu).”

Tetapi, memang, penafsiran tentang penampakan Jibril di gua Hira lebih sebagai bukan dalam wujud manusia itu (wallahu a’lam) hanya akan menjadi sah jika penuturan Nabi menurut Aisyah (riwayat Bukhari dan Muslim) yang berbunyi “Kadang-kadang ia (malaikat) menjelma di hadapanku sebagai laki-laki, lalu ia bicara kepadaku dan aku pun mengumpulkan apa yang dia ucapkan,” tidak kita pahami sebagai berhubungan dengan wahyu Al-Qur’an. 

Melainkan wahyu dalam pengertian luas, sebagai bimbingan maupun pesan ketuhanan yang disampaikan “seorang laki-laki”, dari mulai kepada Ibrahim, Maryam, sampai Nabi s.a.w., meski pertanyaan yang mendasari keterangan Nabi itu memang menunjuk pada wahyu Qur’ani. Dengan kata lain, pertanyaan khaashsh dengan jawaban ‘aamm

Jadi, kalau memang begitu duduk perkara, menjadi sinkronlah pewahyuan Hira itu dengan pewahyuan setelah penampakan Jibril dalam bentuk asli di perbukitan padas itu. Keduanya lebih menunjuk sesuatu yang spirit suatu “kemenyatuan”, meskipun bukan “kesatuan”. Dan menjadi sinkron pula dengan yang digambarkan Nabi mengenai jenis pewahyuan yang beliau kalimatkan dengan: “Kadang-kadang ia (wahyu) datang kepadaku seperti denting-dentang lonceng, dan itulah yang paling berat yang aku terima. Lalu ia lingsir daripadaku, sedangkan aku sudah mengumpulkan apa yang diucapkannya” (Bukhari dan Muslim). 

Menerangkan hadis di atas, kata Rasyid Ridha: “Yang lebih dekat ke pemahaman, hal itu disebabkan adanya malaikat, walaupun beliau tidak melihat seorang pun dari mereka (malaikat) ketika beliau mendengarnya” (ibid., 179). 

Apakah, kemudian, yang terjadi, ketika Jibril a.s. memeluk kuat Muhammad s.a.w:, di gua di pucuk bukit itu? Itulah saat ketika bumi dan langit bertemu. Ketika dunia manusia dan dunia malaikat menyatu. Dari situlah anugerah agung turun, berupa wahyu. Dan Allah lebih tahu. 

Penulis: Syu’bah Asa. Sumber: Panji Masyarakat, 19 Mei 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda