Mengapa Michael Hart memilih Muhammad s.a.w. sebagai tokoh yang paling tinggi peringkatnya di antara 100 orang paling berpengaruh di dunia? Dalam bukunya yang diberi judul The 100, a Ranking of The Most Influential Persons in History, Hart memberikan beberapa alasan. Antara lain, Muhammad tidak hanya bertindak sebagai pemimpin religius, tetapi juga pemimpin dunia.
Sebenarnya, kehebatan Nabi s.a.w. jauh melebihi kehebatan seperti yang digambarkan oleh Hart. Dilahirkan pada Senin, 12 Rabi’ul Awal Tahun Gajah, menurut riwayat yang dinilai paling kuat, atau Agustus 570 Masehi, menurut Causin de Perceval dalam Essai sur l’ Histoire des Arabes, pada hari ketujuh Bayi Muhammad dihormati sang kakek, Abdul Muththalib, dengan menyembelih unta dan mengundang orang-orang. Mereka bertanya-tanya, mengapa sang cucu dinamakan Muhammad, nama yang tidak biasa. Jawab Kakek, “Aku inginkan dia menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.” (Muhammad Hussein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 47). Tetapi ada juga nama Ahmad—dan ini difirmankan dalam A1-Quran (Q.S. 61:6). Keduanya dari akar kata yang sama. Muhammad adalah isim maf’ul dari hammada, yuhammidu, muhammadan. Artinya, ‘orang terpuji`, sedangkan Ahmad (isim tafdhil) berarti ‘orang paling terpuji’.
Muhammad tumbuh menjadi manusia tanpa cela. Ia berparas manis. Tidak jangkung, tidak juga pendek. Rambutnya tidak terlalu keriting, pun tidak lurus. Dahinya lebar dan rata, alisnya melengkung dan lebat. Matanya tajam dan bulat. Ia kawin dengan Khadijah, janda terhormat dan sangat kaya yang sudah menampik lamaran beberapa pemimpin Quraisy (karena kecurigaan akan niat mereka sehubungan dengan penguasaan harta), setelah Muhammad dengan sukses memasarkan barang dagangan Khadijah di negeri Syam.
Perkawinan Muhammad dengan Khadijah menyebabkan posisi tawar-menawar Muhammad vis a vis kaum Quraisy sedikit naik, menambah kemuliaannya sebagai anggota keluarga yang turun-temurun menguasai pelayanan Ka’bah. Toh, menghadapi kekuatan jaringan peda-gang Quraisy yang sombong secara politis Muhammad tetap marginal. Tanpa kekuatan politik yang riil, ia masih harus menyebarkan agamanya secara sembunyi-sembunyi. Sampai ia, dengan petunjuk Allah, mengambil langkah berhijrah ke Madinah pada 622 Masehi.
Sebuah Eksperimen Besar
Hijrah itu merupakan titik balik. Di Madinah, dalam waktu tidak terlalu lama orang berbondong-bondong membaiat beliau. Tentu, kekuatan politik tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan dibangun secara bertahap, terpenting melalui proses perjan-jian dengan suku demi suku. Salah satu perjanjian itu dikenal sebagai ‘Piagam Madinah’. Ini sebuah tonggak penting dalam rangka mewujudkan suatu badan politik baru yang mungkin bisa disebut Inegara’, yang sekaligus bisa diisi dengan gagasan-gagasan Qur’an.
Lewat penaklukan suku-suku kafir, akhirnya Nabi s.a.w. berhasil membebaskan Mekah pada 630 Masehi. Sama sekali tanpa suatu perlawanan. Hanya dilaporkan tiga orang mati: seorang karena balas dendam, seorang lagi karena kecelakaan onta. Penaklukan demi penakluk-an berikutnya dengan mudah dilalui.
Nabi wafat pada 632 Masehi. Beliau meninggalkan sebuah bangunan besar, yang walaupun masih dalam tahap konsolidasi, secara geopolitik bisa diakui sebagai negara. Bagaimana kita membaca sejarah Nabi di atas dalam kaitan dengan ide tentang negara?
Para cendekiawan Islam terbagi ke dalam tiga kelom-pok. Pertama, yang meyakini bahwa pengalaman Nabi s.a.w. merupakan contoh praktek politik Nabi (sunnah) yang harus dijadikan pedoman. Umat Islam tidak punya alasan untuk mengatakan bahwa Islam tidak mempunyai sistem ketatanegaraan. Islam adalah agama kamil (sempurna) yang sistemnya mencakup seluruh kehidup-an, baik yang sakral maupun yang profan. Sistem ketatanegaraan yang harus diikuti tak lain adalah seperti yang pernah dipraktikkan Rasulullah dan Khalifah Empat. Tokoh-tokoh yang berdiri dalam kelompok ini antara lain Abul A’la Maududi dan Sayyid Quthb.
Maududi, dalam The Islamic Law and Constitution, melontarkan tiga karakteristik pemerintahan Islam. Pertama, dalam sistem pemerintah Islam tidak seorang pun dapat menggugat kedaulatan. Tuhanlah yang punya kedaulatan yang sesungguhnya. Kedua, Tuhan adalah pemberi hukum sejati dan wewenang legislasi mutlak ada pada-Nya. Ketiga, negara harus berlandaskan hukum Tuhan dan Rasul-Nya—harus memosisikan diri sebagai penganjur yang makruf dan pencegah yang mungkar. Untuk semua ini Maududi mengusulkan sistem theo-demokrasi’, atau. ‘demokrasi ilahi’.
Tesis Maududi mengenai negara yang harus menjadi pelaksana amar makruf nahi mungkar itu mengharuskan negara bertindak totaliter, dengan mencampuri urusan pribadi. Tesis ini paling tidak mengasumsikan dua hal. Pertama, penguasa harus seorang diktator yang salih. Kedua, komunitas negara juga harus umat yang salih pula. Di samping tidak sejalan dengan aspek kemerdekaan manusia yang sangat ditekankan Islam, secara praktis tesis Maududi sulit dipraktikkan dalam dunia objektif.
Kedua, kelompok yang memandang pengalaman Nabi di Mekah maupun Madinah bukan sebagai praktik kenegaraan, melainkan semata-mata keagamaan. Mereka mendudukkan Muhammad s.a.w. sebagaimana nabi-nabi terdahulu. Tokoh pemikiran ini adalah Ali Abdul Raziq, waktu itu guru besar Universitas Al-Azhar. Dalam bukunya, Al-Islam wa Ushulul Hukm, dia menyatakan empat tesis yang sangat menghebohkan para ulama Mesir. Pertama, Nabi tidak pernah membangun negara: otoritas beliau murni spiritual. Kedua, Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan definitif: umat Islam bebas memilih sistem pemerintahan apa pun. Ketiga, tipe-tipe pemerintahan setelah Nabi wafat tidak memiliki dasar doktrinal Islam. Keempat, sistem tersebut telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena digunakan untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi.
Akibat fatwa itu, Raziq dicopot dari jabatannya sebagai ‘alim. Kontroversi Raziq diakibatkan: pertama, pernyataan utama dalam bukunya bahwa sistem kekhalifahan bukan merupakan mandat dan secara ketat tidak berdasarkan syariah. Kedua, Islam tidak menentukan norma-norma politik apa pun. (Abdul Wahab Al-Affandi, Masyarakat Tak Bernegara, hlm, 15). Padahal, di Madinah, hakikatnya Rasulullah melakukan tindakan nyata yang tidak semata agamis, tetapi juga politis. Ini terbukti dengan adanya konstitusi maupun wilayah negara.
Ketiga, kelompok yang bisa disebut moderat, yang agaknya juga paling realistis. Menurut mereka, kehidupan Nabi s.a.w. di Mekah dan Madinah tidak mencerminkan sistem ketatanegaraan, tetapi menyediakan seperangkat etika nilai menyangkut tata cara bernegara. Tokoh kelompok ini adalah Muhammad Hussein Haikal. (Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1).
Menurut Haikal, dalam Islam tidak ada sistem pemerintahan yang standar— dilihat dari pengalaman sejarah negara-negara Islam sejak masa Rasulullah sampai ke zaman dinasti. Karena itu umat Islam bebas memilih sistem. Yang penting, dalam sistem itu diguna-kan prinsip-prinsip Islam, seperti persamaan di depan hukum (musawah), musyawarah (syura), dan tata nilai moral Islam. Pendek kata sebuah sistem yang menjamin kebebasan berpendapat, kedaulatan rakyat, dan hak rakyat untuk mengawasi pelaksana pemerintahan.
Bersambung
Penulis: Dr. Syafiq Hasyim, kini dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Universitas Islam Internasional Indonesia. Artikel yang dimuat Panji Masyarakat edisi 21 Juli 1997 ini ditulis ketika Syafiq bekerja sebagai anggota staf peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta.