Ads
Tafsir

Ketika Jibril Memeluk Muhammad (1)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Ketika Jibril memeluk Muhammad s.a.w., mendekap beliau demikian kuat, apa sebenarnya yang terjadi?

Jibril adalah makhluk cahaya. Ada beberapa hadis, seperti yang terdapat dalam Bukhari, yang memuat penuturan Aisyah maupun Ibn Mas’ud, r.a., mengenai Pertemuan Nabi s.a.w. dengan Jibril dalam wujud aslinya. Nabi s.a.w. melihat Jibril,” kata Ibn Masud “Padanya terdapat enam ratus sayap.” “Beliau melihat Jibril,” kata Aisyah pula. “Tidak pernah beliau melihatnya dalam wujudnya yang asli kecuali dua kali, sekali di Sidratil Muntaha dan sekali di Jiad. Padanya terdapat enam ratus sayap. Ia memenuhi (seluruh) ufuk.” Diriwayatkan juga, tidak seorang pun di antara para nabi pernah melihat Jibril dalam wujud aslinya kecuali Muhammad s.a.w. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, IV, 28).

Dalam Al-Qur’an, kedua pertemuan Nabi itu dilukiskan dalam Surah An-Najm (Bintang) berikut ini:

“Demi bintang ketika melesat turun Tidaklah sesat sahabat kamu (Muhammad itu), tiada pula melanggar batasan Tidak bicara atas maunya Melainkan ia wahyu yang diwahyukan Diajarkan kepadanya oleh (malaikat) yang kuat perkasa dan cendekia. Maka ia pun menjelma dengan sempurna. Sedangkan ia di ufuk tertinggi Lalu mendekat, dan makin dekat Maka adalah jarak dua ujung busur atau lebih dekat lagi Maka ia (Ia) wahyukan kepada hamba-Nya apa yang Ia wahyukan Tiada kalbu berdusta atas apa yang dilihatnya. Akankah kamu membantah dia untuk yang disaksikannya? Sedangkan ia melihatnya di lain kesempatan Di Sidrah yang Penghabisan Di sana surga tempat kediaman Ketika Sidrah di liput suatu liputan Tiada berpaling pandangan, tidak pula menembus batasan Sungguh ia telah melihat sebagian tanda Tuhannya yang paling besar.” (Q. 53:1-18)

Maka adalah bukit-bukit padas di sekitar Makkah. Inilah tempat yang selalu dikunjungi Muhammad s.a.w. sejak sebelum penurunan wahyu pertama, sejak Allah membuat beliau suka menyepi. Di situ pulalah wahyu itu turun, di pucuk bukit Hira. Dan itulah wahyu iqra yang terkenal (Q. 96:1-5).

Tetapi sesudah itu firman terputus. Lama. Bahkan menurut riwayat yang dipilih Imam Ahmad, sampai tiga tahun (Rasyid Ridha, Al-Manar, XI, -183). Masa itu, rupanya, sebuah proses peralihan yang dimaksudkan Allah yang Agung untuk memperkuat pribadi Muhammad s.a.w. sedang berlangsung. Tapi, di masa itu pula tumbuh kerinduan kepada pengalaman ilahiat itu, kerinduan yang sering membawa beliau kembali ke bukit-bukit sekitar Makkah. Bahkan membuat beliau, berkali-kali, ingin melemparkan diri ke bawah dari tebing tempat berdiri. Sampai kemudian mulai terdengar panggilan itu: “Ya, Muhammad. Engkau Rasul Allah, dan akulah Jibril.”

Malaikat itu datang dari titik horison di sebelah timur, kemudian “memenuhi ufuk timur karena kebesarannya”, seperti dikatakan Razi (Al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil, XV, 226), kemudian menutupi seluruh langit dari timur ke barat (Al-Khazin, Lubabut Ta’wil, III). Itulah Jibril dalam wujudnya yang asli, dengan enam ratus sayapnya yang dari cahaya dan yang saling melemparkan kilau, sebuah keindahan agung yang membuat Nabi tercegak dalam kekaguman yang menggetarkan. Sampai kemudian seorang utusan Khadijah r.a., istri beliau, yang disuruh mencari, menemukan beliau dan menemani pulang (Ibn Hisyam, As-Siratun Nabawiyah, I, 253). Dan di rumah, beliau minta Khadijah r.a. menyelubunginya dengan kain. Maka turunlan firman Al-Muddatstsir, Q. 74:1-7 (As-Suyuthi, Al-Itqan, I, 25).

Dan itulah yang dimaksudkan dalam bagian pertama Surah An-Najm (Bintang) di muka. Adapun bagian kedua, penuturan di sekitar Sidrah yang Penghabisan (Sidratul Muntaha, ‘pohon bidara’ yang tidak mungkin lagi dilewati), adalah penampakan Jibril dalam rupa aslinya kepada Nabi s.a.w., dalam pengalaman mikraj.

Yaitu ketika Sidrah diliput oleh suatu liputan dan yang dimaksudkan adalah para malaikat dan arwah (dari para syuhada) yang menutupnya dan meliputi sekelilingnya (Al-Qasimi, XV, 231). Sedangkan Abdallah Yousuf Ali menafsirkan Sidrah dalam keadaan “shrouded in mystery unspeakable” (Yousuf Ali, The Glorious Kur’an, 1445).

Yang tidak digambarkan dalam ayat-ayat di atas adalah proses pewahyuan itu sendiri. Tidak juga di dalam Hadis. Karena pewahyuan tidak terjadi seketika itu juga, di perbukitan padas, melainkan di kamar, agak sukar membayangkan Jibril menyusul ke kamar tetap dalam wujud aslinya yang besar. Tidak juga, layaknya, dalam wujud sebuah sosok yang lain. Maka jadilah pewahyuan Surah Muddatstsir ini berbeda, sepintas lalu dengan pada wahyu pertama di Hira.

Di Hira, seperti yang juga dituturkan Aisyah r.a. (riwayat Buhari dan Muslim), juga riwayat Thabari, malaikat itu datang dan meminta Rasulullah membaca. Ketika beliau, menjawab, “Aku bukan orang yang membaca” (dalam riwayat Ibn Ishaq: “Apa yang kubaca?”), Jibril mendekap beliau demikian rupa. Tiga kali mendekapnya, melepaskannya, mendekapnya lagi, melepaskannya lagi, hal yang membuat beliau merasa kehilangan seluruh daya, sebelum akhirnya Jibril membacakan ayat-ayat iqra itu (Q. 96:1-5).

Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa. Sumber: Panji Masyarakat, 19 Mei 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda