Sebuah riwayat dari Dukain ibn Sa’ad Ad-Darimi (wafat 101 H/ 720 M), seorang penyair kenamaan yang hidup sezaman dengan Umar ibn Abdul Aziz, khalifah yang adil, alim, dan sederhana. Dukain mengisahkan: ketika Umar ibn Abdul Aziz menjadi gubernur Hijaz, yang berkedudukan di Kota Madinah, aku mengunjunginya dan membawakan syair-syairku. Sebagai hadiah, aku diberi 15 ekor unta.
Sebelum pulang ke Najed, kampungku—tentu saja bersama unta-unta itu—aku menemui Pak Gubernur dalam sebuah forum untuk berpamitan. Ada dua orang yang tak kukenal di sana. Begitu aku hendak meninggalkan majelis, Umar berpaling kepadaku sembari mengatakan, “Wahai Dukain, sesungguhnya aku punya ambisi besar. Bila kaudengar aku lebih jaya dari keadaanku sekarang, datanglah, aku akan memberimu hadiah.”
Aku katakan, “Datangkanlah saksi untuk janji Anda itu.”
“Allah SWT adalah saksi yang paling baik.”
“Saya ingin saksi dari makhluk-Nya.”
“Baiklah, kedua orang itu sebagai saksi.”
Aku hampiri salah seorang di antaranya dan kutanyakan, “Demi ayah bundaku, siapakah Anda sebenarnya?”
“Aku Salim ibn Abdullah ibn Umar ibn Khattab.”
Aku katakan kepada Umar ibn Abdul Aziz, “Saya setuju dan percaya orang ini sebagai saksi.”
Lalu orang tua yang satunya kutanyai juga.
“Siapakah Anda?”
“Abu Yahya, pembantu gubernur”
“Saksi ini dari keluarganya, saya setuju.”
Aku pun pulang.
Waktu berlalu cepat. Pada satu saat ketika berada di Gurun Falaj, daerah Yamamah, aku mendengar berita tentang wafatnya Amirul Mukminin, Sulaiman ibn Abdul Malik ibn Marwan (memerintah 97- 99 H). Aku tanya pada pembawa berita, “Siapakah penggantinya?”
“Umar ibn Abdul Aziz.”
Serta-merta aku berkemas untuk menuju Syam. Di Damaskus, aku bertemu dengan Jarir yang baru kembali dari tempat Khalifah. Setelah menyalaminya, aku tanyakan, “Dari mana engkau, wahai Abu Hazrah?”
“Dari Khalifah yang pemurah kepada fakir miskin dan menolak para penyair. Sebaiknya Anda pulang saja, sebab itu lebih baik bagi Anda.”
“Saya punya kepentingan pribadi yang lain dari kepentingan kalian.”
“Kalau begitu terserah kehendak Anda.”
Aku lalu terus menuju kediaman Khalifah. Ternyata beliau sedang berada di serambi, dikerumuni anak-anak yatim, para janda, dan orang-orang teraniaya. Lantaran tak bisa menerobos kerumunan itu aku pun angkat suara dengan syairku,
“Wahai Umar nan bijak dan dermawan Umar nan sarat pemberian. Aku seorang penggores kalam dari Darim. Menagih utang saudara muda yang bijak.”
Abu Yahya, sang pembantu Umar, meneliti aku dengan cermat, kemudian berpaling kepada Amirul Mukminin seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya adalah saksi dari orang dusun ini.”
“Aku tahu itu.”
Beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Mendekatlah ke mari, wahai Dukain.”
Aku mendekatinya, lalu beliau berkata lagi, “Ingatkah engkau pada kata-kataku sewaktu berada di Madinah, bahwa aku punya ambisi besar dan menginginkan hal yang lebih besar dari yang sudah kumiliki.”
“Benar, ya Amirul Mukminin.”
“Sekarang aku telah mendapatkan yang tertinggi di dunia, yaitu kerajaan. Maka hatiku menginginkan sesuatu yang tertinggi di akhirat, yaitu surga dan berusaha meraih ridha Allah s.w.t. Bila para raja menggunakan kerajaannya sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan dunia, maka aku akan menjadikannya jalan untuk mencapai kehormatan di akhirat.”
Beliau melanjutkan, “Wahai Dukain, aku tak pernah menggelapkan harta kaum muslimin walau satu dinar atau satu dirham pun sejak berkuasa di sini. Yang kumiliki tak lebih 1.000 dirham saja. Eng-kau boleh mengambil separonya, dan tinggalkan sisanya untukku.” Maka aku ambil apa yang diberikannya untukku. Dan demi Allah, belum pernah aku melihat uang yang begitu penuh berkah seperti ini.
****
Kalau kita mengingat janji-janji dari para pemimpin kita yang bertebaran di musim kampanye — mulai dari calon anggota legislatif, baik daerah maupun pusat, sampai calon bupati/wali kota, calon gubernur dan calon presiden — rasanya jauh benar jarak antara zaman sekarang dan zaman Umar ibn Abdul Aziz menjadi khalifah. Tak hanya dalam arti ruang dan waktu, namun juga jarak psikis. Itu baru dalam hal menepati janji, belum lagi yang lainnya.
Mungkin saja lantaran di zaman ini ketika seseorang mengucap-kan janji hanya dengan mulutnya semata sehingga betapa mudahnya janji itu dilontarkan. Tapi bagaimana kalau seseorang harus berjanji sambil menyeiringkan perkataan dan kata hati atau pikirannya? Barangkali tak akan seringan itu. Pada kenyataannya, menepati janji memang tak semudah mengucapkannya. Ada ungkapan dalam bahasa Arab: Al-wa’du dainun. Janji adalah utang. Itulah sebabnya mengapa kita wajib menunaikannya.
Apa yang diucapkan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz pada akhir kisah itu benar. Mungkin lantaran dia tahu betul hadis riwayat Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Baihaqi dalam kitab As-Si’ib, dari Ubadah ibn Shamit ini.
Rasulullah SAW bersabda, “Berikan kepadaku enam jaminan niscaya aku jamin kalian dapat meraih surga, yaitu: jujurlah kalian jika bicara, tepatilah jika kalian berjanji, tunaikanlah jika kalian mendapat amanat, pelihara kehormatan kalian, tutuplah pandangan kalian, dan tahanlah tangan-tangan kalian.”
Sebaliknya dalam Al-Qur’an bisa ditemukan di mana letaknya orang-orang yang mengingkari janji-janjinya. Dalam Surah Al-Munafiqun (Q.S. 63: 1-8) disebutkan, ada tiga tanda-tanda orang munafik. Yaitu kalau berbicara dia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan dalam bersikap dia sombong.
Sayang sekali, bila kita suka mengumbar janji namun kita tak pernah serius memenuhinya atau bahkan mengabaikannya. Sebab, apa boleh buat, kita bakal mengantongi predikat—setidaknya sepertiga—munafik. Begitu pula dengan janji-janji politik, yang antara lain dimaksudkan untuk memikat suara pemilih itu.
Editor: A. Suryana Sudrajat. Sumber: Panji Masyarakat, 26 Mei 1997.