Ads
Cakrawala

Kolom Emha Ainun Nadjib: Ilmuwan Kok Percaya Tuhan

man in black hoodie riding trike
Ditulis oleh Panji Masyarakat

Di tengah bergaul dan berdiskusi dengan kelompok mahasiswa Islam Indonesia di Berlin Barat, pernah saya menyimpulkan suatu kesan …. “di tengah alam pikiran mereka ini, saya tidak memperoleh kenikmatan mengenyam pemikiran Islam yang progresif dan kosmopolit, sebagai layaknya muncul dari seorang Muslim yang tatanan nilai Islam dalam dirinya diuji oleh realitas modern Eropa Barat. Bahkan saya berjumpa dengan aspirasi-aspirasi pesantren abad silam di Indonesia….”

Dorongan dari kesan ini adalah kecenderungan mengkoloni diri pada kelompok tersebut karena, barangkali, ketidakmampuan mereka mengantisipasi kukuhnya sekularisme di lingkungan mereka. Mereka lantas bikin ‘negara kecil’ tersendiri, lingkungan pergaulan dan disiplin nilai mereka sendiri. Bukan saja karena begitu banyak hal yang ‘haram’ dan ‘makruh’ di sekeliling mereka, tapi lebih memprihatinkan lagi karena pemahaman keislaman kelompok ini memang tidak cukup siap menjawab tantangan yang muncul setiap saat.

Seperti juga gejala normal di Tanah Air, komunitas mereka akhirnya bersibuk pada pegangan-pegangan keagamaan pada seginya yang formalistik. Militansi mereka muncul untuk memprotes ayam yang disembelih dengan mesin dan tanpa bismillah – atau bahwa mencium bendera itu haram.  Biasalah, masalah dasar fikih. Tentu saja, wallahi, itu amat penting daan fundamental. Tetapi usaha kemajuan umat Islam dewasa ini membutuhkan suatu pembagian kerja, di mana dibutuhkan juga para pemikir yang dengan menggunakan Islam sebagai metodologi: menakar kompleksitas problem manusia abad ini secara lebih luas, tidak stereotip, dan mengetahui kaitan-kaitan internasional dari kehidupan yang sudah tidak sederhana lagi.

Bagaimana proses pendewasaan keislaman dalam kelompok tersebut, merupakan topik tersendiri. Yang penting di sini ialah dorongan lain yang kemudian saya lihat merupakan penyebab dari kecenderungan “pesantren abad silam’ itu.

Sekolah di luar negeri, apalagi di Eropa atau Amerika, sungguh merupakan luxury, kemewahan, untuk psikologi inferior warisan kolonial bangsa kita. Menjadi intelektual itu suatu elite, dan toga keilmiahan, sebagai status quo, musti dihias sedemikian rupa. Putra putri kita yang sekolah di luar negeri, mungkin secaraa bawah sadar, mungkin sibuk dengan hiasan toga itu. Sementara kita di Tanah Air pun senantiasa berharap-harap cemas akan datangnya seorang putra pilihan yang membawa pelita baru, dalam segala arti dan kemungkinan.

Yang sering kurang kita sadari ialah jarak antara impian kita dan yang diperoleh putra-putri kita itu ternyata cukup jauh. Secara keseluruhan saya menyaksikan bahwa pendekar-pendekar muda di Tanah Air sendiri banyak yang jauh melampaui mereka sebagai ‘matahari esok pagi’ kita. Baik dalam soal pemahaman terhadap masalah-masalah kemasyarakatan maupun di dalam kedewasaan dan kesiapan ‘naik ring’.

Khusus ingin saya tulis di sini ialah salah satu model hiasan toga keilmiahan. Ini adalah cermin betapa cukup banyak anak muda kita tidak cukup siap menampung, menginternalisasi, memilah dan memilih secara adil, objektif dan mendasar – segala curahan ilmu, fenomena, atau apa pun yang masuk ke otak dan hati mereka. Anda bisa menduga, di tempat seperti Berlin, pengaruh pikiran-pikiran Marxis pasti besar. Tidak saja pada soal tata politik-ekonomi suatu negara dan masyarakat, tapi juga variabel-variabel lainnya.

Anda tentu saja tidak bisa berkata bahwa dipengaruhi oleh Marxisme itu adalah suatu ‘dosa’, seperti juga pertumbuhan ekonomi kapitalistik-liberal di Tanah Air ini sah dan halal seperti banyak dipikirkan orang. Apalagi pada dasarnya mereka itu menginginkan Indonesia yang lebih baik, dan tawaran sosialisme amat memukau mereka meskipun tak bisa mereka rumuskan dan buktikan bagaimana itu.

Yang saya persoalkan bukan Marx atau Adan Smith. Tetapi betapa semerawutnya cara putra-putri kita itu  menyerap ide-ide. 

Bukan saja karena mereka tak melengkapi wawasannya dengan tawaran ide-ide lain, sebutlah umpamanya Islam. Lebih dari itu mereka juga lebih banyak asyik dengan apa yang saya sebut hiasan toga. Mitos ’agama itu racun’ amat merasuk. Dengan gagah perkasa mereka bilang ’Tuhan sudah mati’. Agama itu cuma fenomena sosial, atau bikin-bikinan saja. Di dalam pergaulan sehari-hari ada semacam hukum di antara mereka: kalau Anda masih percaya pada adanya Tuhan, Anda tidak ilmiah, anda belum intelektual 100%. Kalau Anda berpikir agak kurang rasional, Anda akan disebut ’religius’. Maka Anda perlu disembuhkan dengan penalaran yang membuang agama.

Ungkapan saya bisa disangka sebagai ’sakit hati seorang muslim’. Tapi sebenarnya ini hanya rasa aman. Sebab konklusi-konklusi mereka tentang agama tidak berdasar penghayatan mereka atas agama. Islam begitu rupa dibenci, bukan karena nilai-nilainya, melainkan karena kelakuan orang ini dan itu yang kebetulan beragama Islam. Artinya, sikap yang tidak ilmiah.

Gejala semacam ini juga bukan tak bisa dijumpai di Indonesia sendiri, tapi juga apa yang saya saksikan di Berlin serta beberapa tempat lain di Eropa adalah suatu perbesaran yang mencemaskan. Tarafnya sudah sampai mengejek dan menghina. Di dalam diskusi politik, forum akan mengharuskan marxisme-sosiahsme bagi Indonesia, sementara kalangan Islam yang memimpikan tatanan Islam dianggap dosa dan musuh. Di saat yang sama mereka menyebut alternatif untuk Indonesia ialah pluralisme. Alhasil serba semrawut dan harus dilihat sebagai obrolan para kusir andong.

Tiba-tiba saya melihat suasana seperti ini sungguh traumatik bagi kelompok muslim yang saya sebut di atas. Tentu saja mereka lantas memisahkan diri — padahal kelompok umum mahasiswa Indonesia keseluruhan itu sendiri sudah merupakan kolonisasi tersendiri yang integritasnya kecil terradap kehidupan masyarakat setempat. °

Saya lantas bisa lebih memahami gejala itu. Tetapi harapan yang muncul ialah keinginan agar kelompok muslimin itu bersedia melihat kecenderungan itu sebagai rahmat, meskipun berupa tantangan. Tidak saja untuk makin memperdalam Islam karena selama ini mereka tidak siap merumuskan jawaban-jawaban Islam bagi problem Indonesia, tetapi juga harus disyukuri bahwa mereka bisa tahu kelak kecenderungan itu akan dibawa pulang ke Indonesia dan akan menjadi tantangan di masa datang.

Cuma sayang seribu sayang mayoritas anggota  kelompok ini adalah mahasiswa-mahasiswa teknik atau bidang-bidang teknokrasi lain,yang lebih banyak menyiapkan diri untuk pulang ke tanah air menjadi engineer atau teknokrat. Padahal Islam dan rakyat Indonesia membutuhkan sesuatu yang lebih mendasar.

Sumber: Panji Masyarakat, No. 455/21 Januari 1999

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda