Ads
Bintang Zaman

Hasan Al-Bashri (2): Pelopor Oposisi Moral

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Mu’awiah ibn Abi Sufyan, pendiri Dinasti Bani Umayah di Damaskus, menurunkan kekuasaan dengan cara yang “kurang terpuji”. Ia praktis meniadakan syura, mekanisme musyawarah, dan mengubah mekanisme suksesi terbuka dengan sistem pengangkatan keturunan, meski mengenai masalah itu Nabi tidak pernah memberikan ketentuan.

Puncak rekayasa politik Mu’awiah terjadi ketika ia mengumumkan pengangkatan anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota. Banyak yang tidak setuju. Bukan karena usianya yang masih muda, melainkan karena akhlaknya yang sepengetahuan orang-orang kurang terpuji. Di masa Yazid inilah terjadi tragedi yang sangat melukai hati kaum muslimin. Yakni peristiwa Karbala, pembantaian (dengan memenggal kepala) Husain ibn Ali, r.a., cucu Rasulullah SAW, dan hampir seluruh keluarganya.

Tetapi terdapat sebuah kenyataan menarik sehubungan dengan itu. Abdullah ibn Ja’far ibn Abi Thalib, kemenakan Ali ibn Abi Thalib, lawan Mu’awiah, menamai salah seorang putranya dengan Mu’awiah. Harap diketahui, Mu’awiah bersama Ali termasuk penulis wahyu terpenting di masa hidup Nabi, selain dikenal pandai membujuk hati orang banyak. Lalu, Mu’awiah yang anak kemenakan Ali itu menamai putranya dengan Yazid. Itu konon setelah ia mendengar bahwa (almarhum) Yazid sebenarnya orang baik sebagaimana kesaksian Muhammad (ibnul) Hanafiah, adik Husain ibn Ali r.a.

Dalam kenyataan, memang, pembunuhan itu sama sekali tak diinginkan Yazid. Yang diperintahkannya ialah “menyelamatkan cucu Rasulullah dari meneruskan agitasinya yang berbahaya”. Yazid, karena itu, memberikan penghormatan tinggi kepada sisa yang selamat dari pembantaian Karbala, dan dengan murah hati menyediakan segala keperluan mereka, termasuk pengawalan untuk kembali ke Madinah. Tentang ini, untuk bahan-bahan pengecekan yang mudah diperoleh, bisa dibaca misalnya Dairatul Ma’arifil Islamiyah, di samping Shorter Encyclopaedia of Islam Gibb dan Kramers, atau Al-Khuthuthul ‘Aridhah Sayyid Muhibbuddin Al-Khathib.

Betapapun, situasi politik waktu itu telah mendorong lahirnya tiga model bentuk oposisi terhadap Dinasti Bani Umayah.

Pertama, oposisi intelektual. Model ini dipelopori tak lain oleh Muhammad ibnul-Hanafiah, berpusat di Madinah. Hanafiah adalah putra Ali dari istri kedua. (Putra-putra Ali yang lain, sesudah wafatnya Fatimah, antara lain yang diberinya nama-nama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Sedangkan Umm Kultsum dikawinkan ayahnya dengan Umar ibnul-Khattab r.a.). Hanafiah, betapapun, menyerang landasan teologis dan ideologis rezim Bani Umayah, yang berpendapat bahwa terpilihnya Yazid menjadi khalifah bukan kehendak mereka, melainkan kehendak Allah. Pandangan seperti itu melahirkan aliran Jabariah dan Murji’ah. Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai pilihan bebas, melainkan seperti wayang. Sedangkan Murji’ah menunda penilaian dan pertanggungjawaban perbuatan manusia hingga di akhirat kelak.

Kedua, oposisi militer. Ini dipelopori Abdullah ibnuz-Zubair, berpusat di Mekah. Abdullah, kemenakan Aisyah, sudah menguasai seluruh wilayah Hijaz, Yaman, dan Mesir. Kekuatan Abdullah baru dapat dihancurkan secara militer oleh Abdul Malik ibn Marwan pada 72 H/692 M, setelah 12 tahun bertahan sebagai oposan yang tangguh. Dan waktu itulah terjadi dua hal yang sangat memalukan. Pertama, peperangan di sekitar Masjidil Haram, pertahanan terakhir Abdullah, yang menyebabkan robohnya sebagian Ka’bah dan pecahnya Hajar Aswad. Kedua, sebelum Mekah, peperangan di Madinah, yang dilaksanakan dengan pembebasan tentara selama tiga hari tiga malam untuk melakukan apa saja, termasuk perkosaan. Ini adalah bala tentara yang direkrut dari penduduk Arabia Utara dan Asia Tengah, yang baru saja masuk Islam dan belum tahu ba-bi-bu agama ini.

Ketiga, oposisi moral. Ini bertujuan untuk mengembalikan kondisi negara ke landasan moral agama, tanpa sedikit pun kepentingan kekuasaan. Tokohnya tak lain Hasan Al-Bashri. Ulama ini pernah menulis surat kepada Khalifah Abdul Malik ibn Marwan, menuntut agar rakyat diberi kebebasan untuk melakukan apa yang mereka anggap baik, sehingga dengan begitu ada tempat bagi tanggung jawab moral. Surat itu bernada menggugat praktik-praktik zalim penguasa Bani Umayah. Meski begitu, sang pengirim dibiarkan bebas, mengingat wibawa serta pengaruhnya yang amat besar di masyarakat luas.

Semboyan Al-Bashri, dalam menghadapi kezaliman penguasa, sangat dikenal:  “Tidak akan pernah masuk Istana dan tidak akan pernah menerima orang Istana”. Tekad ini kemudian dianut banyak kaum sufi, belakangan. Ia pernah ditanya: “Mengapa Anda tidak mendekati Istana, padahal dengan cara itu Anda bisa melakukan amar makruf dan nahi munkar?” Jawabnya: “Tidak sepantasnya orang mukmin merendahkan dirinya di depan penguasa. Pedang mereka mendahului lidah kita. Kita bicara dengan lidah, mereka bicara dengan senjata. Mereka tidak menghadapi argumen kita dengan argumen, melainkan dengan kekuasaan, penindasan, dan penyiksaan.”

Bersambung

Penulis: Prof. Dr. Asep Usman Ismail, Guru Besar Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Catatan Redaksi: Asep menulis artikel ini  sewaktu menjadi mahasiswa Program Pascasarjana lAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta). Sumber:  Panji Masyarakat,  23 Juni 1997.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda