Suatu saat Rasulullah SAW berada Shuffah. Sebuah ruang di samping Masjid Nabi, tempat berkumpul sekaligus tempat tinggal sementara sahabat yang tidak mempunyai rumah tanggal. Tempat itu agak sempit. Para sahabat baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin telah berkumpul mengelilingi Rasulullah SAW. Beberapa orang sahabat yang mengikuti perang Badar telah hadir. Kemudian datang pula yang lain. Mereka yang baru datang memberi salam, dan Rasul pun serta sahabat menjawab salam tersebut. Tapi mereka yang datang lebih dahulu (yang sudah duduk) tidak bergeser sedikit pun dari tempat duduknya, sehingga mereka yang baru datang berdiri terus.
Melihat hal itu, Rasulullah saw. merasakan kurang senang karena di antara yang baru datang itu ada sahabat-sahabat yang mendapat penghargaan istimewa dari Allah, yang turut dalam Perang Badar. Akhirnya Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat yang bukan ahli Badar: “Hai Fulan! Berdirilah engkau! Hai Fulan! Berdirilah engkau!” Lalu beliau menyuruh duduk para ahli Badar itu. Tapi yang disuruh berdiri ada yang wajahnya menunjukkan ketidaksenangannya dan orang munafik yang turut hadir ada yang membisikkan celaannya seraya berkata: “Itu perbuatan yang tidak adil, demi Allah! Padahal ada orang yang dari semula sudah duduk karena ingin mendekat dan mendengar, tiba-tiba berdiri dan tempatnya diduduki orang yang baru datang.” Melihat yang demikian Rasulullah SAW bersabda: Dirahmati Allah seseorang yang melapangkan tempat buat saudaranya.” (H.R. Abu Hatim).
Mengiringi peristiwa ini turun ayat yang terjemahannya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu.” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. Al-Mujadilah:11).
Ada dua hal pokok yang terkandung dalam ayat di atas, yaitu mengenai etika dalam sebuah majelis, sikap lapang dada, dan tingginya derajat orang yang beriman dan yang berilmu.
Majelis yang arti harfiahnya adalah tempat duduk, merupakan tempat orang berhimpun atau berkumpul, termasuk majelis dalam rangka pengajaran seperti majelis taklim atau perkuliahan, tukar-menukar gagasan seperti diskusi atau seminar, dan seterusnya. Dalam majelis ilmu, seperti seminar atau simposium, agar kegiatan itu berlangsung lancar, maka siap yang bicara, siapa yang menanggapi, kapan orang harus bicara, sampai tempat duduk pun diatur. Ini yang disebut etika atau sopan santun dalam sebuah majelis. Ketika berada di majelis ilmu, etika dan akhlak tersebut antara lain ditujukan untuk terciptanya ketertiban, kenyamanan, dan ketenangan suasana selama dalam majelis, sehingga dapat mendukung kelancaran kegiatan ilmu pengetahuan. Berarti Islam memang memotivasi kepada manusia untuk giat menuntut ilmu pengetahuan, karena dengan hal itu kedudukan kita akan tinggi dalam pandangan Allah SWT.
Dalam kasus majelisnya Rasulullah SAW, tempat di Shuffah itu tidak luas sehingga jamaah harus berdesak-desakan. Tempat yang tersedia sudah terisi oleh orang yang datang terlebih dahulu, sedangkan orang yang datang belakangan tidak lagi mendapat tempat. Lalu Rasulullah mengimbau agar yang duduk terlebih dahulu melapangkan tempat bagi yang datang kemudian. Namun demikian, seperti yang diisyaratkan ayat itu yang sempit itu bukanlah tempatnya, melainkan hati manusia. Tabiat manusia yang mementingkan diri sendiri membuatnya enggan memberikan tempat kepada orang yang baru datang. Jadi, dalam hal ini “hati” sangat berperan.
Secara lebih luas kelapangan hati dalam majelis itu tidak hanya sekadar kesediaan memberi tempat duduk kepada orang yang lebih layak, tetapi bisa juga berarti keterbukaan dalam menerima gagasan baru, pemikiran baru dan kritik. Seperti kita ketahui, dalam sebuah majelis ilmu lazim terjadi perdebatan yang sengit dan bahkan mengarah kepada suasana yang tegang dan emosional. Dalam suasana seperti itu, maka kita pun untuk berlapang dada. Dan bukankah ilmu pengetahuan hanya bisa berkembang dalam suasana keterbukaan?
Selanjutnya Allah menegaskan, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Artinya ada orang yang akan diangkat derajatnya oleh Allah, yaitu orang yang beriman dan orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat. Orang yang beriman dan orang yang berilmu pengetahuan akan tampak arif bijaksana, jiwa dan matanya akan memancarkan cahaya. Iman dan ilmu akan membuat orang mantap dan agung. Orang yang beriman dan berilmu (tidak terbatas kepada ilmu yang berkaitan dengan ubudiah tapi juga yang dapat memberi manfaat untuk kemaslahatan umat) akan memperoleh derajat yang tinggi baik di dunia maupun di akhirat.
Kita bisa saksikan, orang-orang yang menguasai dunia ini adalah orang-orang yang berilmu. Mereka dengan mudah mengumpulkan harta benda, mempunyai kedudukan, dan dihormati orang. Ini satu petanda Allah meninggikan derajatnya. Menuntut ilmu pengetahuan tentu harus dalam arti yang luas yaitu ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama, karena kedua ilmu tersebut yang dibutuhkan manusia, khususnya umat Islam agar ilmu pengetahuan yang dipelajari dan diperolehnya dapat semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kemudian di akhir ayat dikatakan: “Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Ini berarti bahwa kinerja kita baik proses maupun hasil akhirnya akan senantiasa mendapat penilaian dari Allah.
Sumber: Hamka, Tafsir Al-Azhar