Ads
Aktualita

Kolom Arsul Sani: Catatan Azyumardi Azra untuk Kita

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Menjelang akhir tahun lalu, saya minta Prof. Azyumardi Azra menulis prolog atau  kata pengantar untuk buku kedua selama saya bertugas jadi anggota DPR: Catatan dari Senayan 2, Relasi Islam dan Negara Perjalanan Indonesia. Melebihi  ekspektasi saya, Prof. Azra bukan hanya menulis 4-5 paragraf atau 2-3 halaman ketik, melainkan cukup panjang, disertai beberapa catatan yang relevan  dengan situasi kekinian di Tanah Air. Di akhir paragraf tulisannya, dia berpesan: “Kita berharap semoga masih terus ada buku selanjutnya mengalir dari pemikiran dan aktivisme Pak Arsul. Pemikiran dan buku Pak Arsul  sangat penting untuk ikut meningkatkan literasi politik anak bangsa, khususnya generasi milenial, terutama terkait subyek Islam dan negara-bangsa Indonesia.”

Itulah paragraf terakhir Prof Azyumardi Azra yang ditulis untuk saya, karena sudah tertutup kemungkinan bagi saya untuk meminta kata pengantar atau sekadar endorsment untuk buku selanjutnya (insya Allah sedang saya persiapkan) sebagaimana yang dia harapkan. Sebab, Ahad siang 17 September lalu saya beroleh kabar, guru besar sejarah peradaban Islam yang telah menulis puluhan judul buku ini  berpulang ke Rahmatullah. Kita semua tentu kehilangan sosok cendekiawan dan scholar  Muslim kaliber dunia, yang dengan tulisan-tulisan dan aktivismenya telah menginspirasi kita, utamanya tentang Islam yang damai, moderat, toleran, dan rahmatan lil ‘alamin.

Tetapi Prof. Azra tidak hanya mengirimkan tulisan. Ia juga hadir dan berbicara dalam dua acara peluncuran dan bedah buku. Tak hanya mengulang apa yang sudah dia sampaikan dalam kata pengantarnya. Ia juga mengelaborasi mengenai kegagalan sejumlah negara Muslim yang keukeuh ingin mendirikan negara Islam, misalnya dengan menegakkan khilafah. Ia juga merekomendasikan buku saya sebagai bacaan wajib mahasiswa FISIP yang mempelajari politik Islam. Menurutnya, , buku-buku tentang politik Islam atau fiqh siyasah yang dirujuk adalah karya-karya ulama Timur Tengah, yang sudah tidak kontekstual dengan tuntutan zaman. Buku semacam Relasi Islam dan Negara, Pengalaman Indonesia sejatinya menjadi referensi siapa pun dan di mana pun yang ingin mempelajari fiqh siyasah. Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang hubungan Islam dengan negara, tidak Timur Tengah oriented, atau hanya mengandalkan pemikiran-pemikiran politik Sayid Qutb, Abul A’la Maududi, Hasan Al-Banna, Hizbut Tahrir dst. dsb. Prof. Azra sendiri, kita ketahui, telah menjadi semacam juru bicara Islam Asia Tenggara, yang ingin mengenalkan wajah Islam di kawasan ini, terutama ke dunia Barat, bahwa Islam itu identik dengan Timur Tengah.

Maka, tidak mengherankan ketika Prof. Azra mengawali tulisannya ia menyinggung soal  tema lomba penulisan artikel yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang jadi kontroversi di masyarakat waktu itu.  Kompetisi dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional ini mengambil tema: (1) Hormat bendera menurut hukum Islam; dan (2) Menyanyikan lagu kebangsaan menurut hukum Islam.  Dikatakan,  pengusungan tema semacam ini menunjukkan kedangkalan BPIP dalam memahami Islam dan Pancasila, yang sedikit banyak mencerminkan Islamofobia.  “Tema itu cenderung menuduh kaum Muslimin atau hukum Islam seolah-olah melarang hormat bendera atau juga mengharamkan menyanyikan lagu kebangsaan.” ungkapnya. . Selain itu, tema tersebut berpotensi memecah belah bangsa memperhadapkan dua simbol NKRI dengan hukum Islam. “Padahal sejak Sumpah Pemuda 1928, masa pergerakan nasional dan kemudian kemerdekaan tidak ada kalangan umat Islam yang menolak bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya.”

Prof. Azra mengakui, bahwa di masa globalisasi dan trans-nasional ini terdapat  segelintir kaum muslimin—sebenarnya juga ada di kalangan umat lain—yang ‘mengharamkan’ hormat bendera yang biasa diikuti dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Misalnya saat upacara bendera pada setiap hari Senin atau tanggal 17 setiap bulan di sekolah atau instansi pemerintah. Alasan mereka, menghormati simbol negara merusak keimanan atau kredo; mereka berpendapat, hanya Tuhan yang patut dihormati. Dia menegaskan, sikap keagamaan seperti itu bukan kecenderungan arus utama (mainstream) umat Islam Indonesia. Bahkan itu merupakan  sikap keagamaan menyempal (splinter) dari arus utama Islam dan Muslimin Indonesia. “Siapa pun atau lembaga apa pun seharusnya tidak gegabah menggebyah-uyah atau jumping into generalization atas gejala kasuistik terpencil segelintir kecil orang yang dapat mendiskreditkan arus utama wasathiyah Islam dan kaum muslimin Indonesia,” tulisnya.  Bukankah  ormas-ormas Islam mainstream seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan banyak lagi ormas lain di seluruh pelosok Indonesia tidak pernah mengeluarkan wacana—apalagi fatwa—yang melarang umat Islam tanah air ini menghormati bendera merah putih dan menyanyikan Indonesia Raya?

Kasus lomba BPIP itu, menurut Prof. Azra, menunjukkan bahwa  diskursus tentang hubungan Islam dan negara dapat terus menghangat. “Bahkan bisa menjadi persoalan tak berkesudahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air jika ada orang atau pihak yang masih saja mengungkitnya. Oleh karena itu, sepatutnya terus pula dicermati, khususnya oleh pemikir dan aktivis Muslim.”

Pancasila dan Islam

Salah satu tema substantif dalam buku saya adalah soal Pancasila. Terkait tema ini, Prof. Azra melengkapinya dengan catatan berikut ini, yang menurut saya sangat relevan ketika orang membincangkan kepemimpinan nasional. Terutama menjelang pilpres seperti sekarang. Kita kutipkan:

“Saat ini dan ke depan negara Indonesia memerlukan kepemimpinan berbasis Pancasila, dalam rangka mengatasi permasalahan bangsa yang akut, seperti korupsi, tata kelola pemerintahan yang kurang efektif serta penegakan hukum yang kurang adil. Pemimpin yang dibutuhkan tak hanya pandai berteori, tetapi juga mempraktikkan kelima Pancasila dalam  kerjanya. Berbagai kasus menunjukkan, perilaku eksekutif, legislatif, dan yudikatif sangat jauh dari kepemimpinan Pancasila. Tegasnya, kita membutuhkan pemimpin beradab, yang ketika tergoda berbuat kejahatan, dia dibendung dan dihalangi norma Pancasila.

Tidak hanya pada aspek formal. Kepemimpinan berbasis Pancasila juga penting diimplementasikan dalam kepemimpinan informal seperti dalam kepemimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas), lembaga pendidikan dan sebagainya.

Intelektual bangsa harus bisa merumuskan cara agar Pancasila bisa diaktualisasikan tidak hanya sebagai pemanis bibir. Pancasila harus dihidupkan di tengah masyarakat melalui pendidikan karakter baik formal maupun informal. Generasi penerus bangsa harus dibentuk karakternya agar menjadi calon pemimpin yang beradab. Pemimpin seperti itu tentu , bisa dibentuk oleh sistem pendidikan.

Terakhir adalah soal moderatisme, yang juga mendapat perhatian Arsul dalam catatannya. Saya rasa, kita  perlu menumbuhkan kembali nilai toleransi, yang sempat rusak pasca Pilpres 2019. Untuk menangkal konflik antaragama, dialog antaragama saja tidak cukup. Kita harus menumbuhkan konsep dan praktik multikulturalisme pada para pemimpin Muslim dan pemimpin agama lain untuk saling menghargai, baik dengan Muslim maupun dengan non-Muslim dan juga harus menghormati budaya lokal. Dalam bidang pendidikan, perlu adanya penanaman toleransi antar umat beragama mulai dari para pengajar yang selanjutnya meneruskannya pada anak didik mereka,

Hubungan agama dan politik harus dilihat lebih cermat, karena tensi terlihat dalam Pilpres 2019, terbelah antara kaum Muslim moderat NU dan  Muhammadyah bersama minoritas mendukung Jokowi-Ma’ruf  yang berhadapan dengan kaum Muslim agak ke kanan mendukung Prabowo-Sandiaga. Oleh sebab itu, penting untuk mengingatkan kembali agar para pemimpin umat dapat senantiasa menghadirkan contoh nyata Islam yang mampu mejadi pelopor toleransi di tengah ratusan etnis yang sangat heterogen, lewat Islam yang fleksibel atau Islam yang rileks. Islam Indonesia dikenal sebagai the smiling and colorful Islam, Islam yang penuh senyuman, yang penuh warna dan kedamaian.

Selain itu, kita  perlu mengembangkan sistem politik dengan memadukan antara prinsip demokrasi universal dan kontekstualisasi yang relevan dengan nilai-nilai bangsa agar demokrasi tidak terkesan sebagai sesuatu yang asing. Sehingga demokrasi tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang asing dan bersumber dari Barat.“

Terima kasih Prof. Azyumardi Azra atas pencerahan yang Anda berikan. Semoga Allah memberikan tempat yang terbaik untuk Anda. Al-Fatihah.

Penulis : Arsul Sani, politikus Partai Persatuan Pembangunan, anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR 2019=2024

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda