Ads
Bintang Zaman

Hasan Al-Basri (1): Tak Tahan Jadi Pegawai Pemerintah

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Dialah yang paling mencorong di antara bintang-bintang: dari segi ilmu dan ketakwaannya, dari zuhud dan wara’-nya, dari kesalehan dan kebaikannya, dari segi fikih dan makrifatnya. Di majelisnya duduk bermacam-macam orang. Ada yang datang untuk belajar hadis, ada yang mendalami ilmu tafsir, ada yang berkumpul untuk mendengarkan uraiannya mengenai halal dan haram, ada yang meminta fatwa, ada yang menimba ilmu, ada yang bermaksud mendengarkan wejangan. Dia lautan nan dalam dan lampu yang bersinar terang.” Itu penilaian Tsabit ibn Qurrah tentang Hasan Al-Bashri.

Ulama yang satu ini memang bukan main. Manakala namanya disebut, tergambar sosok yang bersih, putih, dalam, sedalam lautan biru. “Dia sangat yakin akan apa yang diucapkannya dan melakukan apa yang jadi kepercayaannya. Setiap perkataannya keluar dari lubuk hatinya. Setiap ia mengingat sahabat Nabi Muhammad SAW, atau menjelaskan akhirat, air mata hadirin akan bercucuran, dan hati mereka tergerak. Ia sudah merasakan nikmatnya iman,” ujar Tsabit lagi. Kalimat-kalimat di atas itu, dan penuturan di bawah ini, kecuali beberapa tambahan, dituliskan oleh Asep Usman Ismail.

Hasan Al-Bashri, yang namanya banyak dipakai sebagai nama orang kita, lahir di Madinah, pada tahun 21 H/642 M atau 10 tahun setelah Nabi s.a.w. wafat. Ayahnya bernama Fairuz, penduduk daerah Maisan, selatan Basrah, Irak, atau di antara Basrah dan Wasith. Kini berada dalam wilayah Iran. Kawasan Basrah dan Kufah masuk ke dalam pangkuan Islam di masa pemerintahan Umar ibn Al-Khattab. Fairuz sendiri, sebagai pemuda, termasuk tawanan perang yang diboyong kaum muslimin ke Madinah. Menurut satu riwayat, pemuda itu kemudian dibeli dan dimerdekakan oleh Rubai’ah bint  Nadhar, bibi Anas ibn Malik r.a. yang pelayan Nabi dan salah seorang pemuka sahabat. Pemuda Fairuz kemudian mempersunting gadis Bani  Salamah dari kalangan Anshar.  Dari pernikahan inilah lahir si Hasan.

Lahir dan tumbuh di Madinah, Hasan tidak sedikit pun tersentuh budaya Persia, meski darah Persia mengalir di tubuhnya. Bahasa Arabnya sangat bagus. Ia pun mahir dalam retorika serta memiliki naluri bersyair yang kuat. Ia sejak kecil mengikuti alur tradisi pendidikan bangsa Arab, tinggal di perkampungan Wadil Qura agar bisa menyerap budaya Arab yang asli.

Barulah pada tahun 38 H/659 M, dalam usia 17 tahun, pemuda Hasan Al-Bashri melihat kota leluhurnya, Basrah, ketika mereka pindah ke sana. Itu sebenarnya masa-masa genting dalam permusuhan antara Ali r.a. dan Mu’awiah r.a., dua tahun sebelum Ali dibunuh Ibn Muljam yang sebenarnya juga bermaksud membunuh Mu’awiah dan Amr ibn Ash sekaligus. Sesudah itu Hasan mengikuti dinas militer Bani Umaiyah dan bergabung dalam kesatuan yang bertugas di Iran Selatan. Lalu diangkat menjadi sekretaris pribadi Badi’ ibn Ziad Al-Haritsi, gubernur Khurasan. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi hakim untuk wilayah Khurasan. Menurut sejarawan Ibn Said, ia menolak gaji pemerintah atas jabatan hakim ini.

Tetapi tidak lama. Dalam usia muda, ia sudah mengundurkan diri. Ia ternyata tidak tahan dalam birokrasi, dan memilih menjadi pendidik di Masjid Agung Basrah. Ilmunya yang luas, sikapnya yang lurus, akhlaknya yang mulia, tutur bahasanya yang bagus, menyebabkan ia disegani sesama ulama maupun para birokrat. Ia pun tampil sebagai ahli ibadah yang menghabiskan waktunya di siang hari untuk mengajar, menulis, dan memberi nasihat.

Bersambung

Penulis: Prof. Dr. Asep Usman Ismail, Guru Besar Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Catatan Redaksi: Asep menulis artikel ini  sewaktu menjadi mahasiswa Program Pascasarjana lAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta). Sumber : Panji Masyarakat,  23 Juni 1997.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda