Syahdan, Khalifah Al-Manshur dari Dinasti Abbasiyah datang ke Mekah untuk berhaji. Ketika mengelilingi Ka’bah pada dini hari, ia mendengar doa seorang pentawaf yang sangat mengusik hati-nya. “Ya Allah, saya mengadu kepada-Mu atas merajalelanya kezaliman dan kerusakan di bumi ini serta apa yang telah menghalangi penguasa dari kebenaran berupa kezaliman dan ketamakan.” Berulang-ulang.
Selesai tawaf Al-Manshur duduk di satu sudut di luar masjid. Dia minta orang tadi dipanggil menghadapnya. Maka terjadilah dialog berikut.
“Apa maksudmu dengan merajalelanya kezaliman dan kerusakan di muka bumi?”
“Amirul Mukminin, kalau Tuan menjamin keamanan saya, saya akan bercerita dari akar-akarnya. Kalau tidak, aku tak hendak bercerita banyak.”
“Jangan khawatir, kamu aman.”
“Orang yang telah kerasukan sifat tamak sehingga antara dia dan kebenaran serta kemauan untuk memperbaiki keadaan yang penuh kezaliman dan kerusakan di muka bumi ini terdapat dinding penyekat, tak lain, adalah Tuan.”
“Bagaimana mungkin aku kerasukan sifat tamak sementara yang putih dan kuning di tanganku, yang manis dan asam ada di genggamanku?”
“Eh, adakah orang lain yang bisa menandingi ketamakan Paduka? Allah telah menguasakan urusan kaum muslimin dan harta mereka kepada Paduka, tapi Paduka telah melalaikan urusan mereka. Paduka justru lebih tertarik untuk mengumpulkan harta, dan Paduka menciptakan dinding penyekat antara Paduka dan mereka, serta pintu dari besi. Kemudian Paduka mengurung diri di dalam dinding itu, dan mengutus para gubernur untuk mengumpulkan uang. Paduka merekrut para pembantu dan menteri yang bila Paduka sedang lupa tak mau mengingatkan Paduka, dan bila Paduka sedang ingat, mereka tak mau menolong Paduka. Paduka juga menitahkan agar orang-orang tak boleh masuk menemui Paduka kecuali sejumlah kecil orang yang telah Paduka tentukan namanya. Paduka tak pernah memerintahkan orang agar menghubungi orang teraniaya, orang yang kelaparan, orang yang telanjang tak punya pakaian, orang yang lemah dan fakir miskin. Padahal, setiap orang punya hak atas harta yang telah Paduka kumpulkan.”
Laki-laki itu terus bicara. “Mula-mula orang membawa hadiah-hadiah kepada para gubernur Paduka agar mereka tidak berbuat zalim kepada rakyat banyak. Tapi kemudian, orang-orang yang menggenggam kekuasaan dan harta berlimpah melakukan hal itu agar mereka bisa menindas orang yang di bawah mereka sehingga negara ini penuh dengan kezaliman dan kerusakan. Justru orang-orang ini lalu Paduka tarik sebagai sekutu-sekutu Paduka, dan Paduka lupa.” Belum cukup rupanya, dan dia pun berkisah.
“Saya pernah pergi ke Cina, Paduka. Di sana ada raja, dan saya pernah mendatanginya sekali. Suatu kali ia mendapat musibah sehingga pendengarannya hilang dan ia menangis. ‘Mengapa Paduka menangis, padahal kami tidak pernah melihat Paduka menangis?’ tanya para pembantunya. ‘Saya menangis bukan karena musibah yang menimpa saya. Saya menangis demi orang teraniaya yang bertertak-teriak di pintu masuk istanaku, tapi saya tidak mendengar mereka. Tapi, kalau pendengaranku benar-benar hilang, penglihatanku tidak.’ lalu menyeru rakyatnya agar tidak mengenakan pakaian merah kecuali orang teraniaya.
Dia ini, wahai Amirul Mukminin, adalah seorang musyrik. Kasih sayangnya terhadap kaum musyrikin (rakyatnya) telah mengalahkan kebakhilannya di kursi kekuasaan. Sedang Paduka adalah seorang yang beriman kepada Allah dan utusan-Nya.
Paduka tidak mengumpulkan uang kecuali untuk salah satu dari tiga tujuan. Kalau Paduka bilang, ‘Saya mengumpulkannya untuk anak saya,’ maka Paduka toh tahu bahwa bayi itu ketika lahir dari rahim ibunya tidak punya apa-apa di bumi ini.
Kalau Paduka bilang, ‘Saya mengumpulkannya untuk membangun kerajaan,’ maka sungguh Allah telah memperlihatkan kepada Paduka cerita-cerita tentang raja-raja sebelum Paduka. Tak pernah mencukupi mereka apa yang telah mereka kumpulkan, berupa emas dan perak serta perlengkapan perang berupa pedang atau kuda-kuda dan tentara.
Jika Paduka bilang, ‘Saya mengumpulkannya untuk mencari sesuatu yang lebih besar daripada tujuan yang berada pada jangkauan kamu,’ maka demi Allah, tidak ada yang di atas Paduka kecuali suatu kedudukan yang tidak bisa dicapai selain dengan amal saleh.
Ya Amirul Mukminin, Paduka menghukum orang yang menentang Paduka dengan hukuman mati, cara yang paling kejam.”
“Tidak,” kata Manshur.
“Jadi,” sambung orang itu, “apa yang akan Paduka perbuat dengan kekuasaan yang telah dianugerahkan Allah kepada Paduka, kekuasaan dunia? Sedang Allah tidak menghukum orang yang durhaka kepadanya dengan membunuhnya melainkan menghukumnya dengan azab neraka selama-lamanya. Apa yang akan Paduka katakan, wahai Amirul Mukminin, jika Allah mencabut kekuasaan dunia dari tangan Paduka dan memanggil Paduka untuk dihisab?”
Mendengar ini, menangislah Khalifah sejadi-jadinya. Bahkan sampai meraung-raung. “Ah, seandainya aku tidak pernah diciptakan, dan aku tidak pernah menjadi sesuatu,” ratapnya. Setelah ia dapat menguasai emosinya, ia bertanya, “Lalu apa yang mesti kuperbuat dengan apa yang telah dianugerahkan kepadaku, sementara aku tidak melihat adanya orang yang jujur? Semuanya pengkhianat.”
“Wahai Amirul Mukminin, ikutilah jejak imam-imam yang alim dan mendapat petunjuk.”
“Siapakah mereka?” tanya Khalifah.
“Ulama.”
“Oh, mereka sudah lari dariku.”
“Mereka lari dari Paduka karena mereka takut bakal ikut menanggung dosa dari apa yang tampak pada kebijakan Paduka melalui para gubernur. Tapi, cobalah buka pintunya, singkapkan tirai, dan menangkanlah orang teraniaya dari orang zalim. Kumpulkanlah yang baik dan manis, lalu bagilah secara benar dan adil. Saya jamin, orang yang telah lari dari Paduka bakal segera datang untuk membantu Paduka demi kemaslahatan urusan Paduka dan rakyat Paduka.”
Sumber: Panji Masyarakat, 14 Juli 1997