Ads
Tafsir

Tentang Ritus Baca Al-Qur’an (2)

a woman kneeling on the floor
Ditulis oleh Panji Masyarakat

Arti yang melintas-lintas.

Demikianlah maka pembacaan Qur’an menjadi suatu ibadah di kalangan muslimin. Ayat “Dan bila dibacakan Al-Qur’an, dengarkanlah baik-baik dan diam, agar kamu beroleh rahmat” (Q.S. 7: 204) menunjukkan sosialisasi ibadah itu, yang kemudian menjadi ciri suatu umat yang berbeda dari umat mana pun. (Orang Kristen tidak membaca Bibel sebagai ritus. Juga orang Hindu, dalam hal Weda, kecuali para pendeta). Dan, ritus, alias ibadah mahdhah, di dalam Islam diberi janji baik yang dalam istilah teknis agama disebut ‘pahala.’

Bahkan walaupun si pembaca tidak tahu arti yang dibacanya. Sebab arti ritus pertama kali memang tidak terletak pada makna, melainkan pada persembahan: pembacaan itu sebuah persembahan kepada Tuhan. Dalam hal ini pembacaan Qur’an sama kedudukannya dengan pembacaan lafal-lafal salat.

Salat, sebagaimana juga tartil Qur’an, adalah ibadah yang tidak hanya akan diterima Tuhan kalau yang mengerjakannya tahu arti yang ia baca. Melainkan kalau ibadah itu dikerjakan dengan benar (dalam pandangan fikih), ikhlas karena Allah, dengan kadar kekhusyukan tertentu. Salah satu jalan mencapai kekhusyukan memang pengetahuan akan arti bacaan, kemudian penghayatan mendalam berdasarkan pengertian itu.

Namun tidak selalu. Semua orang Arab tahu arti bacaan salat, tetapi apakah mereka semua khusyuk? Bibi-bibi kita mungkin tidak tahu arti bacaan salat, tapi mereka sembahyang dengan penuh kesenangan dan keridhaan. Rahasianya ialah karena jiwa mereka hadir. “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Dia,” kata Nabi, “dan kalau engkau tidak melihat Dia maka (engkau resapkan benar bahwa) Dia melihat engkau” (riwayat Bukhari).

Dalam hal itu fungsi kata-kata sudah bukan sebagai pembawa makna, melainkan sebagai pengantar jiwa masuk ke dalam penghadapan. Salah satu rahasia mengapa Qur’an dinamakan qur’an hanya kalau ia tetap dalam bahasanya yang asli (dan kalau diterjemahkan maka ia disebut ‘terjemahan Qur’an’, dan bukan Qur’an dalam bahasa anu), adalah karena lafal-lafal itu sudah “disusun” demikian rupa, dengan nilai bunyi, bobot ucapan, dinamika, musikalitas, dan apa pun namanya yang akan menjadi lain sekali dengan jika lafal-lafal itu diterjemahkan. Itu pula salah satu rahasianya mengapa bacaan salat tidak dapat diterjemahkan. Kedua-duanya (berhubungan dengan) ibadah ritual.

Agama-agama India dan Timur lainnya mengenal mantra(m). Kita tidak. Dan mantram, dengan jurusan penggunaan yang sama sekali berbeda, mengandung sebagian fungsi yang sudah kita sebutkan itu. Dalam mantram, arti sama sekali tidak penting. Dalam salat, arti itu bisa tetap ada dalam kesadaran sebagian orang, tetapi nilai salat bukan terutama terletak pada arti.

Salat yang cepat.

Itu bisa lebih kita rasakan bila pembacaan Qur’an, seperti halnya salat, kita kerjakan dengan cepat, yang bisa kita lakukan, meski tartil biasanya diartikan sebagai pembacaan yang pelan. Misalnya kalau kita menghendaki membaca dalam jumlah banyak, pembacaan cepat bisa dilakukan dengan aturan-aturan (tajwiid dan makhraj) yang tetap benar. Di situ arti ayat-ayat akan (bagi yang tahu) melintas-lintas dalam kesadaran kita, dan menambah kekhusyukan kita, tetapi suasana yang melingkupi diri kita kurang lebih bukan suasana kognitif, melainkan suasana kesucian ibadah.

Dalam sebuah salat yang panjang (ukuran salat subuh yang dilakukan Nabi kira-kira sepanjang 60-100 ayat; Abu Bakar r.a. pernah mengimami subuh dengan Surah Al-Baqarah yang 286 ayat, sampai dekat saat matahari terbit), Al-Qur’an biasanya dibaca dengan tenang dan sabar, seperti dilakukan Nabi s.a.w. Tetapi siapa yang mengatakan  bahwa salat yang khusyuk hanya yang dilakukan dengan lambat? Hafshah maupun Aisyah, r.a., menuturkan bahwa Rasul s.a.w. pernah melakukan salat sunat fajar dengan kadar kecepatan yang menyebabkan, kata Aisyah, “sampai-sampai aku ragu apakah beliau membaca Fatihah dalam kedua rakaat itu atau tidak” (riwayat Ahmad dan lain-lain).

Adapun salat sunat yang dilakukan Abu Hurairah r.a., seperti diriwayatkan Al-Baihaqi, dengan jumlah rakaat yang tak terhitung banyaknya, dengan hanya satu kali salam, tidak diterangkan apakah dilakukan dengan cepat. Namun sekiranya salat itu merupakan penggandaan model salat cepat yang dilakukan Nabi s.a.w. pada sunat fajar (menjadi ‘sunat mutlak’ yang “boleh seratus rakaat, boleh seribu atau berapa saja”, kata Imam Nawawi), letak kekhusukannya lebih jelas lagi bukan pada penyadaran arti bacaan. Dan  begitu channel terhubungkan dengan Tuhan,  semua yang lain lenyap.

Itulah ritus. Ini sama sekali bukan ajaran untuk mengabaikan kandungan Qur’an. Ini suatu pemaparan kenyataan tentang aspek Qur’an di dalam maupun di luar salat, yang dalam kenyataan kehidupan umat menandai arti pertama kehadiran kitab suci ini. Sesudah itu datang arti-arti yang lain.

Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat.  Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sumber: Panji Masyarakat, 26 Mei 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading