Ads
Tafsir

Tentang Ritus Baca Al-Quran (1)

a man reading quran
Ditulis oleh Panji Masyarakat

Anda barangkali menyimpan kitab Qur’an. Kalau Anda termasuk pembaca Qur’an yang setia, boleh kita mengingat bahwa banyak saudara kita yang menyimpannya tapi hampir tidak pernah membukanya. Dan kalau Anda kebetulan termasuk yang terakhir itu, boleh juga kita ingat bahwa ada sebagian saudara yang memang menyimpan kitab Qur’an bukan untuk dibaca sendiri. Melainkan, misalnya, sebagai persediaan untuk suatu acara keagamaan, dengan memanggil seorang kiai atau ustadz. Atau upacara adat, barangkali, yang ada hubungannya dengan agama. Ia, dengan demikian, memandang Al-Qur’an sebagai sarana ritual.

Namun harus dikatakan bahwa pemakaian Al-Qur’an sebagai sarana ritual memang mewakili aspek terpenting kehidupan kitab suci ini di tangan umatnya. Memang, tidak dalam pengertian ritus sebagai seremoni seperti tersebut itu, terutama. Melainkan ritus dalam pengertian ‘ibadah mahdhah yang memang melekat pada kitab suci ini sendiri.

Al-Qur’an disebut al-qur’an karena ia memang ‘bacaan’, dan ini bacaan dalam konteks ibadah. Seperti yang menjadi jelas lewat perintah, “Wa rattilil qur-aana tartiilaa (Bacalah Quran secara tartil)” (Q.S. 73: 4). Al-Qur’an bukan hanya suatu pedoman hidup yang diturunkan untuk menjadi bahan renungan, ditelaah diam-diam, dan diamalkan. Tapi juga sebuah kitab yang dibaca dengan suara, berdikit-dikit, jelas suku per suku. Dan itulah arti tartil.

Bahkan dua ayat berikut menunjukkan sifat “ketartilan” Qur’an yang sudah melekat sejak penjadiannya lewat proses wahyu. Pertama: “Berkata mereka yang kafir, `Mengapa tidak Al-Qur’an diturunkan kepadanya sekaligus saja?’ Demikian agar Kami teguhkan hatimu dengan itu, dan Kami tartil-kan dia demikian rupa.” (Q.S. 25: 32). Abdullah Yousuf Ali mengartikan “Kami tartilkan dia (Wa rattalnaahu tartiilaa)” itu dengan: “We have rehearsed it (to thee) in slow, well-arranged stages, gradually” (The Glorious Qur’an, 933).

Itu menunjukkan proses pewahyuan yang memang ditempuhkan secara berangsur-angsur, berdikit-dikit, tidak sekaligus. Dan memang inilah kiranya ciri wahyu langsung (direct revelation), wahyu matluw (yang ‘dibacakan’), yang hanya diberikan kepada nabi-nabi yang lebih besar, dan yang berbeda dari pengertian wahyu pada kitab-kitab lama, yang mengesankan sebagai hanya pemberian pesan ketuhanan, betapapun kuatnya, yang paling-paling sebanding dengan yang dalam Islam kita kenal sebagai ‘hadis qudsi’.

Sifat wahyu Qur’an sebagai kalimat-kalimat itu akan lebih jelas dari ayat-ayat kedua berikut ini:

Jangan kamu gerakkan lidah kamu dengan dia untuk bersegera (menguasainya) Pada Kamilah pengumpulannya (dalam dadamu) dan pembacaannya.bMaka bila Kami bacakan dia, ikuti pembacaannya. (Q.S. 75: 16-18)

Ayat-ayat di atas adalah wahyu yang secara unik mengintervensi proses pewahyuan sendiri seperti jelas dari hadis paling tidak yang diriwayatkan Ibn Abbas r.a. dan direkam Bukhari, Nabi s.a.w. dahulu “menerima wahyu dengan sangat berat”. Lalu Ibn Abbas menggerak-gerakkan mulutnya, menirukan Nabi yang menggerak-gerakkan mulut beliau ketika berusaha menangkap kalimat-kalimat yang sedang diwahyukan. Allah kemudian menegur beliau. Lagi, yang unik ialah bahwa teguran itu bukan datang dari malaikat, melainkan dari Tuhan sendiri, dan dengan sendirinya merupakan wahyu. Ini memang bagian dari misteri pewahyuan yang di sana-sini menunjukkan kenyataan “kemenyatuan” yang khas.

Namun poin kita ialah, wahyu dalam pengertian Qur’an adalah kalimat-kalimat sempurna, yang secara redaksional selesai dan siap dibacakan dengan suara. Surah Al-Muzammil, yang, seperti halnya rangkaian ayat di atas, termasuk yang diturunkan di masa-masa awal kerasulan, kemudian akan menunjukkan pemakaian kalimat-kalimat wahyu tersebut di dalam suatu tindak ibadah.

Di situlah Rasulullah diperintahkan melakukan salat malam, dan sekaligus mentartilkan Al-Quran (baca: kalimat-kalimat yang sudah diwahyukan), dengan pemberian catatan bahwa, sesudah itu, “Kami akan memberikan kepadamu sabda yang berat” (Q.S. 73:1-4). Dipahami dari ayat-ayat itu, laku ibadah berupa salat malam dan pembacaan Quran itu akan memperkuat jiwa di masa-masa selanjutnya menghadapi tugas penerimaan wahyu yang berat.

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat.  Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sumber: Panji Masyarakat, 26 Mei 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda