Ads
Pengalaman Religius

Puspo Wardhoyo (3): Poligami Pintu Pembuka Rezeki

Avatar photo
Ditulis oleh Asih Arimurti

Pandangan hidup saya sederhana Saja. Yaitu, bahwa hidup itu sesugguhnya bisnis, dan bisnis adalah ibadah. Jadi, hidup adalah ibadah. Ketiganya, walaupun berbeda istilah, bagi saya maknanya sama, tidak bisa dipisah-pisahkan. Bagi saya, sukses ABWS tidak lepas dari kehendak Allah. Saya memahami bahwa hal terpenting dalam menjalankan roda perniagaan-Nya adalah bagaimana suatu pekerjaan justru dapat menyelamatkan diri kita dari siksa api neraka. Karena itu, staf dan karyawan ABWS harus memandang bekerja adalah beribadah. Untuk itu, di setiap outlet mesti tersedia sarana peribadatan berupa musala agar para staf dan karyawan bisa menjalankan kewajiban agama menegakkan salat secara terus-menerus. Sebagai pemilik merek ABWS, saya melakukan standardisasi ukuran sukses insan ABWS ditentukan seberapa dia bertindak profesional dan islami dalam rangka menghindari azab yang pedih (kelak di akhirat—red) dan juga bermanfaat bagi keluarga, masyarakat. Bagi saya, ukuran keberhasilan itu harus mencakup sukses dunia dan akhirat.

Selain sering diidentikkan dengan Ayam Bakar Wong Solo, orang mengenal saya sebagai orang yang suka berbicara soal poligami. Saya memang  selalu rileks mengatakan  hidup berpoligami. Tidak salah, memang, karena saya melaksanakannya.

Selama tujuh tahun terakhir ini saya hidup berpoligami. Kini (2003, red), saya suami dari empat orang istri. Saya menikah pertama kali pada 1989 dengan Rini Purwanti, SE, yang kini tinggal di Medan. Setelah menikah, kami memutuskan mundur dari sekolah tempat kami mengajar. Dengan modal seadanya dari menjadi guru selama dua  tahun saya membuka usaha jualan ayam bakar. Rini sendiri mendaftarkan diri sebagai tenaga pengajar di Politeknik Universitas Sumatera Utara, dan diterima. Hidup kami cukup berbahagia, apalagi beberapa tahun kemudian lahir dari rahim Rini, lahir tiga orang anak, yakni Syafiatul Ghina, Muhammad Ibnu Bakar dan Syafiatul Zahro.

Setelah beberapa ujian berat berlalu, ketekunan yang saya jalani mulai menemui  hasil. Bisnis saya berkembang pesat. Seiring dengan keberhasilan itu, saya mengingini satu orang istri lagi. Pada 1996, saya menikahi Supiyanti. Jadilah dia istri yang kedua. Saya dikaruniai seorang putra, Muhammad Abu Bakar.  Setahun kemudian, pada 1997 saya mempersunting Anisa Nasuton, SE, alumni Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Dan pada 1999 saya kembali melangsungkan pernikahan dengan Intan Ratih Tri Laksmi, SH. Tapi pada waktu itu dilakukan dengan siri dan baru dicatatkan secara resmi di kantor urusan agama beberapa bulan berikutnya. Intan kini (2003, red)  tengah hamil tua. Tapi beberapa tahun sebelumnya telah lahir dari rahimnya seorang putra, Muhammad Abu Bakar Ash-Shidiq.

Saya sadar sepenuhnya menjalani hidup berumah tangga dengan banyak istri. Ada beberapa alasan. Pertama karena ajaran Islam membolehkan kaum laki-laki menikahi lebih dari satu istri. Jujur saja, salah satu puncak kesuksesan saya dengan berpoligami ini. Lalu, saya memahami bahwa orang yang mampu, tidak hanya dalam materi, di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawaban, untuk apa kepemimpinannya selama di dunia? Kalau cuma satu istri, ya mubazir rasanya. Bukankah kita harus berbagi kepada orang lain? Jadi bukan lantaran semata saya mampu dari segi materi tetapi lebih kepada kebutuhan bersama. Terus terang, saya memang membutuhkan itu, demikian juga, saya lihat, istri-istri saya menginginkan kebersamaan.

Saya berkeyakinan, selama ada kesepakatan bersama, insya Allah rasa keadilan itu akan tercipta.  Adil menurut pemahaman agama ‘kan jangan sampai kita condong kepada salah satu istri, yang menyebabkan istri yang lain terlunta-lunta, Adapun wujud keadilan yang senantiasa harus di upayakan oleh suami antara nafkah, hari gilir dan kebutuhan tempat tinggal. Kalau sudah terpenuhi, mau apalagi?

Poligami yang telah saya jalani ini mungkin merupakan contoh sebuah pengamalan dari pelaksanaan ajaran Islam, paling tidak seperti yang saya pahami.  Sampai saat ini saya yakin bahwa poligami telah menjadi jawaban atas pertanyaan “Dapatkah manusia selain Nabi melakukan poligami yang dimaksudkan oleh Allah SWT?” Harus saya akui, poligami yang saya jalani lebih sebagai pengamalan dari keyakinan saya sebagai seorang muslim. Kebetulan saya mendapat karunia dari Allah, dan merasa terpanggil untuk melaksanakan kewajiban sebagai laki-laki yang memiliki banyak kemampuan, baik harta, kesehatan dan keberanian untuk berbuat lebih, dengan memiliki empat istri. Sebenarnya, keberhasilan yang saya  lakukan itu telah membuktikan bahwa poligami merupakan kunci pembuka pintu rezeki dan pembawa rahmat.

Bersambung

Ditulis bersama Akmal Stanzah (almarhum). Sumber: Majalah Panjimas, 6-19 Februari 2003

Tentang Penulis

Avatar photo

Asih Arimurti

Wartawan Majalah Panji Masyarakat

Tinggalkan Komentar Anda