Bintang Zaman

Roger Garaudy (2): Ketika Agama Menjadi Candu Masyarakat

Written by Panji Masyarakat

Bicara tentang agama, Garaudy telah menelusuri berbagai metodologi yang digunakan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial. Ia mengkaji pendekatan Freud dan kawan-kawan yang melihat agama sebagai fenomena kejiwaan. Ia juga mengkaji pendekatan Durkheim dan kawan-kawan yang melihat agama sebagai fenomena masyarakat.

Garaudy mendapat manfaat dari kedua pendekatan itu, namun ia juga melihat kekurangan-kekurangannya. Ia mengkritik aliran Freud dan Durkheim karena keduanya dia lihat telah menciutkan manusia yang multidimensional  ini menjadi satu atau dua dimensi saja: dimensi jiwa dan dimensi sosial. Begitulah mereka memandang manusia. Menurut Garaudy, manusia adalah fenomena unik yang harus dilihat dari seluruh dimensinya. Ahli-ahli bidang humaniora dan kajian sosial tidak pernah meneliti kemungkinan adanya wahyu ilahi yang transenden atas manusia. Bagi mereka, agama adalah pantulan dari manusia itu sendiri yang mem-punyai jiwa dan lingkungan sosial. Bahkan dalam aliran yang ekstrem, tuhan dari agama adalah manusia itu sendiri. Agama adalah rintihan dari jiwa yang tertindih akibat pengalaman hidup atau pantulan kekuatan dalam masyarakat yang memaksakan dirinya. Pendekatan semacam ini menurut Garaudy tidak akan pernah sampai kepada hakikat agama, karena dari semula sang ahli telah menolak kemungkinan adanya .wahyu dari. Tuhan yang berada di atas manusia dan seluruh alam.

Garaudy melihat bahwa pengkajian agama-agama tidak mungkin berhasil hanya dengan mengandalkan pendekatan eksternal semata, dengan melihat agama dari “luar” sebagai gejala kejiwaan dan soaial. Untuk mendapatkan akses yang lebih dalam, pengkaji harus masuk ke dalam agama yang ia kaji berdasarkan asumsi kemungkinan adanya wahyu Ilahi. Pengkaji harus dapat memahami makna sesungguhnya dari agama bagi para pemeluknya: apakah agama membawa orang pada suatu yang positif untuk kehidupan manusia, yang memecahkan problem-problem mereka, atau membawa pada suatu yang negatif, yang menjauhkan mereka dari problem-problem hidup. Dari sini Garaudy membangun kesimpulan bahwa agama-agama itu pada hakikatnya dapat digolongkan menjadi dua jenis semata: agama opium dan agama pembebasan.

Dengan masuk ke dalam agama, tidak berarti bahwa pengkaji harus beriman terlebih dulu dan menerima segala ajarannya tanpa selidik. Yang dia kehendaki adalah pengkajian tanpa prasangka, hal yang selalu menyertai pikiran kritis dan analisis ilmiah. Pengkajian dengan metode ilmu-ilmu humaniora dan sosial jadi cacat karena beranjak dari asumsi bahwa agama ciptaan manusia. Bila purbasangka itu dihilangkan  dan sang pengkaji (siap) menerima kemungkinan  adanya wahyu, maka peneliti agama akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengetahui hakikat agama yang ia teliti.

Garaudy meletakkan tiga ciri agama sebagai candu masyarakat. Pertama, agama tersebut lari dari problem kehidupan dan konflik sejarah. Ia memandang dunia sebagai neraka untuk orang beriman. Kekayaan, nikmat hidup, kekuasaan, dan segala yang berbau materi adalah untuk dihindari sehingga seseorang dapat memurnikan jiwanya. Kedua, manusia mencari agama dan Tuhan dalam keadaan lemah, bodoh, dan goncang. Yaitu, ketika agama sebagai hakikat yang mutlak memasuki dunia nisbi yang bukan bidangnya.

Gejala itu juga tampak dalam sejarah Kristen sewaktu ia mengambil filsafat Aristoteles untuk mempertahankan trinitas dan memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dikosongkan untuk ilmu. Gereja, misalnya, memberikan jawaban-jawaban dalam bidang kosmologi dan biologi. Ia pernah menggambarkan bumi sebagai statis dan  menjadi pusat alam semesta. Ia sampai melaksanakan hukuman mati kepada kaum ilmuwan untuk mempertahankan pendapatnya. Ketiga, ketika agama mengambil bentuk ideologis dan aliran resmi negara sehingga berfungsi mempertahankan kekuasaan dan tidak dapat menerima pendapat yang berbeda, walaupun berdasarkan argumentasi yang benar. Politik keagamaan seperti ini sering memberikan ciri kekudusan kepada dirinya dan memandang bahwa pemahamannya sendirilah yang benar, sementara yang lain salah.

Bersambung

Penulis: Prof.  Dr. Rifyal Ka’bah, M.A.  (1950-2013). Hakim Agung RI (2000-2013),   ahli hukum Islam, mengajar di beberapa perguruan tinggi.  Sumber: Panji Masyarakat 4 Agustus 1997. Tulisan ini dimuat ketika Rifyal Ka’bah menempuh pendidikan S3 Ilmu Hukum di Universitas Indonesia.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda