Dunia pesantren sedang dirundung duka. Duka ini pasti dirasakan oleh insan yang punya suasana batin yang sama. Sedih, marah, serasa tak percaya dengan kenyataan yang telah terjadi di tempat yang dipandang paling selamat untuk menyelamatkan generasi muda.
Terakhir -semoga menjadi yang terakhir- tindakan kekerasan di kalangan santri yang mengakibatkan hilangnya nyawa terjadi di pesantren yang menjadi icon pesantren modern di negeri ini. Gontor.
Gontor telah melakukan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan ini. Salah seorang alumninya menulis, “Bagi para pemimpin Gontor, lebih baik kehilangan nama baik pesantren yang telah dibangun selama 96 tahun daripada kehilangan seorang santri yang meninggal dunia”. Semoga Gontor dan pesantren-pesantren lainnya dapat melalui ujian ini.
Kekerasan tidak boleh terjadi di mana-mana. Sejatinya tidak ada pesantren yang melegalkan tindakan kekerasan. Baik dalam upaya menerapkan disiplin atau sebagai sanksi atas sebuah pelanggaran yang telah ditetapkan. Namun, ibarat rumah besar yang dihuni oleh banyak orang, pesantren punya tantangan tersendiri jika tidak mau disebut sebagai sebuah ancaman. Meskipun ancaman itu sendiri ada di mana-mana. Seperti halnya sekolah-sekolah berasrama yang bukan pesantren juga punya ancaman yang sama. Ancaman itu adalah gesekan antar penghuni yang ada di dalamnya karena persoalan pribadi, kelompok, atau gesekan karena disebabkan oleh sikap yang berlebihan dari seorang senior kepada juniornya.
Kita tahu, kemajemukan ada di pesantren. Beragam watak dan perangai santri berkumpul di dalam pesantren. Santri-santri hadir di pesantren bukan sejak mereka lahir. Mereka hadir di pesantren setelah melewati banyak pengalaman positif dan negatif di luar tembok pesantren. Apalagi orang tua zaman sekarang kadang mengelus dada, mengerut dahi, mendidik anak-anaknya di rumah. Tantangan orang tua luar biasa berat. Sehingga kadang kita menemukan motivasi orang tua memasukan anak ke pesantren supaya aman dari pengaruh negatif pergaulan dan lingkungan yang ada di rumah.
Namun demikian, pesantren juga harus sadar diri saat mau dan menerima santri untuk belajar di dalamnya. Apakah sanggup untuk memenuhi semua unsur pendidikan yang ada dalam diri anak manusia yaitu menyentuh semua aspek akal, fisik, dan ruhaninya. Dan yang paling penting adalah menggantikan peran dan fungsi orang tua untuk mengarahkan, mengawasi, dan membimbing para santri dengan sebaik-baiknya?
Gesekan atau bentrokan antar santri karena sebab-sebab yang beragam harus mampu diantisipasi agar gesekan-gesekan itu tidak berujung kepada tindakan kekerasan fisik yang melukai apalagi sampai menghilangkan nyawa. Karena itu ada beberapa gagasan yang barangkali bisa diambil oleh pesantren untuk menghalau ancaman kekerasan antara lain;
Pertama. Membatasi Peran Senior. Senioritas ada di mana-mana. Tak terkecuali di dunia pendidikan termasuk pesantren. Sering kita dengar kasus-kasus kekerasan fisik yang dilakukan seorang senior kepada juniornya. Ironisnya, perilaku kekerasan itu menular. Kala junior beranjak senior kerap melakukan hal yang sama. Kadang seperti hukum rimba.
Di pesantren santri-santri senior mendapat tugas membantu guru untuk membimbing dan mengawasi adik-adik kelasnya. Sebagai bentuk pendidikan kepemimpinan dan melatih kedewasaan. Namun, memberikan peran yang besar kepada senior santri tanpa pengawasan guru bisa mengakibatkan hal-hal buruk terjadi. Pasalnya emosi mereka belum matang dan stabil. Karena itu memberikan kepercayaan kepada santri senior harus dibarengi dengan pengawasan yang seimbang.
Kedua. Membangun komunikasi antar santri, pesantren, dan orang tua. Tentunya komunikasi yang efektif dan terarah agar orang tua juga turut bertanggung jawab terhadap anaknya yang sedang belajar di pesantren. Tidak serta merta menyerah pasrah kepada pesantren untuk mendidik anaknya. Orang tua dapat membantu pesantren dengan cara melibatkan diri secara tidak langsung. Yang paling sederhana adalah menjenguk anak di pesantren. Menjenguk anak di pesantren adalah bentuk komunikasi yang efektif untuk mengetahui perkembangan anak serta menyelipkan sejumput nasihat dan motivasi agar anak berperilaku baik, sabar, dan punya rasa hormat terhadap orang lain. Komunikasi dari hati ke hati saat menjenguk anak di pesantren adalah bentuk menanamkan nilai-nilai kebaikan agar anak tidak terjerumus ke dalam perilaku kekerasan. Menjenguk anak di pesantren juga membantu tugas-tugas guru dan jangan dikira tidak punya pengaruh besar terhadap kejiwaan anak. Tentunya penjengukan dengan porsi dan durasi yang wajar yaitu tidak sering-sering menjenguk anak di pesantren. Dan pesantren harus memfasilitasi dan mengatur penjengukan itu agar tujuannya dapat tercapai.
Kedua. Pengetahuan dan Manajemen Pengawasan. Pesantren dengan jumlah santri ratusan sampai ribuan tidak bisa dikendalikan sembarangan. Ia harus benar-benar diatur dengan baik, tersistem, terstruktur dan bisa dievaluasi. Siapa melakukan apa harus jelas tugas pokok dan fungsinya. Karena kehidupan santri selama 24 jam maka manajemen pengawasan harus proporsional dan tidak menguras energi dan pikiran guru yang bertugas.
Petugas guru atau pengawas harus dibekali pengetahuan disiplin ilmu yang benar bagaimana melakukan penyuluhan dan bimbingan. Dalam hal ini pesantren dapat melakukan kerjasama dengan lembaga atau instansi terkait yang dapat membantu dalam mengatasi problematika kehidupan berasrama. Pesantren harus punya pikiran terbuka atau bersikap inklusif terhadap masukan dan saran dari pihak luar. Karena semua ada ilmunya dan tidak semua orang memahami semua ilmu.
Ketiga. Menggunakan Payung Hukum. Masa depan pesantren di negeri ini semakin kuat karena memiliki payung hukum dalam bentuk pengakuan negara yang termaktub dalam Undang-Undang No 18 Tahun 2019. Legalitas ini harus dipatuhi dan diimplementasikan karena membantu pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajarannya. Pesantren diarahkan kembali kepada tujuan pokok dan fungsinya. Undang-Undang tersebut mengajak masyarakat pesantren untuk kembali kepada khittah yaitu tujuan dan arah pendidikannya, sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Fungsi pendidikan adalah proses pengkajian dan pendalaman Ilmu-ilmu keislaman sebagai jalan untuk menghasilkan akhlak mulia. Dan tentunya dibarengi dengan keteladanan ucapan, tindakan para kiai dan guru yang menjadi panutan santri. Sehingga standarisasi mutu pesantren sebagaimana amanat Undang-Undang dapat terwujud yaitu menjadi tempat yang nyaman, bersih, sehat, dan aman. Sudah bukan zamannya pesantren menutup diri. Ia harus menjadi lembaga profesional dan akuntabel. Karena pesantren mengandung kebaikan-kebaikan yang diajarakan agama, tapi kebaikan yang tidak dilakukan dengan sistematis dengan semangat keterbukaan pikiran, perasaan, wawasan, akan dikalahkan oleh kebatilan yang tersistem. Mari kita bantu pesantren.