Sayang, memang, modernitas itu bangkit dari peradaban Eropa yang sekuler. Kalau saja ia lahir dari lingkungan agama, “tidak akan bank-bank didirikan untuk selalu mengelabui orang miskin.”
Namun dosa agama sendiri sudah tercetak dalam buku sejarah. Sebagai sistem hidup yang bergantung pada “roh” dan “keabadian”, pengingkarannya kepada tubuh atau materi menyebabkan tidak ada yang bisa diharapkan dari agama kecuali sebuah dunia yang mandek. Agama-agama India sering dianggap subjek yang cocok untuk penilaian itu. Juga Gereja di Abad Tengah.
Meski begitu, tanpa mengingat Konghucu maupun Zen Budhisme Jepang, orang bisa menoleh kepada Islam dan Kristen. Pada Islam, etos kerja dari agama yang kitab sucinya penuh ungkapan sekitar bisnis ini, yang ayat terpanjangnya bicara tentang pencatatan utang-piutang, yang oleh Clifford Geertz misalnya dilihat contoh pelahirannya sebagai semangat kewirausahaan kaum santri kita, akhirnya bukan yang menjadi tulang punggung rnodernisme yang memang tidak lahir di wilayahnya yang, pada akhir kejayaannya, dirundung perpecahan yang parah.
Tidak seperti protestantisme. Namun mengapa protestantisme, yang menurut Weber telah mempromosikan etika kerja dengan semangat yang cocok untuk pengembangan kapitalisme industri, akhirnya praktis tertinggal dalam kebangkitan modernisme yang melanda seluruh bumi?
Agama, juga Protestan, menolak ikut dalam pengembangan sistem moneter modern, dalam riwayat penjadian bank dengan prinsip bunganya. Dibutuhkan waktu yang cukup lama sebelum kalangan kristiani tidak lagi merasakan lembaga keuangan yang lahir dari meja para saudagar uang Yahudi ini sebagai benar-benar lawan. Sikap yang sama diambil kalangan Islam dalam waktu lebih belakangan, dengan di sana-sani, dan dengan setengah hati, usaha pembenaran kepada lembaga yang setengahnya dianggap “darurat”.
Dalam kenyataan, Eropa memang tidak pernah mengenal suatu bisnis yang ada hubungannya dengan moral, sedikitnya seperti yang dikenal agama. Benar bahwa pada masanya dilakukan koreksi di negara-negara kapitalis, seperti yang dicerminkan oleh pemilikan saham publik, pembatasan gerak para pengusaha raksasa, serta pemberian jaminan kaum duafa, seperti yang dijabarkan lewat ide welfare state. Tetapi bank, sang sokoguru, tidaklah lahir oleh kemauan penyantunan si miskin atau kesadaran dari humanisme mana pun, kecuali moral dalam pengertian di sekitar profesionalisme.
Adalah kalangan Islam, dan hanya mereka, yang mengklaim sebagai mempunyai ide alternatif tentang bisnis yang juga tindakan moral. Dalam penubuhannya sebagai lembaga keuangan (sebuah bank bebas rente yang mendasarkan diri pada sistem bagi hasil), ia merupakan kritik terhadap bank konvensional—tidak hanya dari segi teoretis tentang uang sebagai alat tukar ataukah komoditas; atau tentang perlakuan .tidak adil kepada pemilik modal skill dibanding pemilik modal uang. Tetapi juga pada kebijaksanaan yang merugikan mereka yang lemah: prinsip ‘bunga berbunga’; atau ukuran pembiayaan berdasarkan kelayakan kredit dan bukan kelayakan usaha, yang menyebabkan bukan kaum miskin dalam kenyataannya yang terutama memanfaatkan bank, dan bukan negara miskin dari semata-mata pinjaman negara kaya. (Bukankah selalu ada, antara lain, penjadwalan kembali pembayaran utang antarnegara?)
Prinsip bagi hasil, dalam pada itu, menjadikan sebuah bank transparan: deposan akan selalu mengecek keuntungan lembaga itu. Sementara itu bank-bank konvensional bersaing dengan suku bunga yang tinggi dan berbagai hadiah, termasuk bila bank justru dalam keadaan keropos. Dan tiba-tiba saja sebuah bank terdengar collapse. Lalu sebuah lagi, lalu yang lain lagi. Kasus Bank Summa, Bank Perniagaan, yang melibatkan para pejabat BI, bahkan kasus semua bank yang ditimpa musibah besar, disebabkan oleh keserbatertutupan yang memungkinkan terjadinya—tanpa lebih dulu diketahui para nasabah, juga pers, yang tak lagi punya peran, investigasi–kolusi, alokasi dana yang awut-awutan, dan khususnya perampasan hak nasabah kecil, seperti untuk sektor KUK.
Sayang, memang, modernitas lahir dari Eropa yang tanpa agama. Namun masalah sebenarnya memang bukan model. Bukan bank syariah, misalnya saja, yang wujud fixed-nya di dunia belum lagi 25 tahun, dengan keadaan menghadapi banyak “ancaman”—seperti dalam hal penggunaan agunan, maupun kontrol yang mahal terhadap proyek nasabah tem-pat ia praktis terlibat. Masalah sebenarnya adalah tiadanya moral agama, yang seperti tak digantikan moral yang lain—’ juga moral profesional kapitalis yang konsisten. Ini adalah negeri yang, dengan kapitalismenya yang tak diakui, dengan kebijaksanaan investasinya yang tak urung membentuk perilaku menekan buruh dan memanjakan orang kaya, dan dengan cirinya sebagai soft country, tempat loyalitas menggantikan prestasi dan, agaknya, kejujuran, seperti kehilangan pegangan. Dan orang pun, dengan setelan keren, kembali ke mentalitas bocah gelandangan yang berebut sisa-sisa turis. Masalahnya berhubungan dengan sesuatu yang dasar, dan yang tampak makin parah, yang mendekam dalam diri mereka. Atau, jangan-jangan, dalam diri kita semua.
Penulis: Syu’bah Asa. Sumber: Panji Masyarakat, 28 April 1997