Latar belakang keilmuan dan iklim sosial-politik di masa hidupnya mempengaruhi visi dan apresiasi Al-Ghazali terhadap umat Islam. Ia memiliki pengertian mendalam terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka, berikut keanekaragaman unsur yang membentuk komunitas muslim. Ia berpendapat bahwa kebenaran-an-kebenaran tertentu dari orde teologi atau mistik tidak dapat dengan begitu saja dibentangkan di depan massa yang awam. (Ia membagi manusia menjadi dua golongan: kaum awam, yakni orang-orang yang berpikir sederhana dan hanya bisa menangkap yang tersurat saja, dan kaum khawash, yakni orang-orang yang dapat berpikir mendalam dan bisa menangkap yang tersirat).
Ia memahami bahwa Islam tidak dapat dipuaskan dengan moralisme yuridis para ahli fikih, meskipun ia sendiri sangat menyukainya. Sikap batin yang penuh semangat harus menjadi penerang dalam mempelajari hukum itu. Dalam pandangannya, pokok-pokok ajaran sufi tidak bisa tinggal menjadi privilese bagi sekelompok kecil kaum intelektual atau aristokrat rohani saja. Seluruh kehidupan harus diliputi kehadiran Tuhan dan hasrat untuk melayani-Nya.
Al-Ghazali berusaha menyatukan orientasi eksoteris (lahir) dan esitoris (batin) agama Islam. Orientasi pertama diwakili para ahli fikih, yang biasanya bertalian erat dengan susunan mapan kekuasaan politik. Sedangkan orientasi kedua s diwakili kaum sufi, yang merupakan suatu bentuk populisme keagamaan dan sering tampil sebagai pengimbang sistem kekuasaan. Al-Ghazali mengkritik secara tajam keabsahan kebanyakan ahli fikih, dan menegaskan kembali supremasi kehidupan spiritual syariah dan menghidupkan kembali di dalam kerangka ajaran-ajaran spiritual yang termuat di dalamnya. Sebaliknya, ia mengkritik kaum sufi yang meremehkan dan meniadakan perintah-perintah syariah. Usaha rekonsiliasi yang dilakukan ilmuwan ini membawa hasil yang besar. Pemulihan keseimbangan dan keselarasan antara kedua orientasi itu dipaparkan dalam karya tersohornya, Ihya Ulumiddin. Pada masa Al-Ghazali dan juga masa sebelumnya sufisme terlibat konflik yang tajam dengan kaum literalisme yang diwakili para ahli fikih
Melalui pemikirannya, syariah dan tasawuf mengalami perpaduan. Hubungan aling menunjang. Ajaran sufi yang terpadu secara baik dengan syariah diakui sebagai absah (mu’tabarah), sedangkan yang tidak memenuhi kriteria itu dinyatakan sebagai tidak absah (ghair mu’tabarah). Sejak itu, sufisme diterima cukup luas, dan bermunculanlah banyak ajaran tasawuf dan tarekat di kalangan kaum Sunni.
Dengan demikian Al-Ghazali telah menyumbangkan pemikiran cemerlang dan amat penting kepada tasawuf. Ia telah memadu sufisme dan membuatnya dapat diterima oleh ajaran resmi. Sejak itu orang dapat mencintai Tuhan tanpa harus memberikan alasan atau menyembunyikan diri sendiri.
Keberhasilan Al-Ghazali memadukan orientasi eksoteris dan esoteris agama Islam telah menempatkannya sebagai seorang pemikir kelas dunia. Al-Ghazali, bagaimanapun, adalah seorang pemikir besar bidang tasawuf, filsafat, dan fikih. Selama hidupnya ia telah melahirkan tak kurang 100 buku, yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Para orientalis pun tertarik untuk mempelajari, mengkritik, dan menerjemahkan buku-bukunya. Buku Ihya Ulumiddin, sebuah karya monumental yang dia tulis selama ia mengurung diri di Masjid Damaskus pada kurun pengembaraan tasawufnya (1095-1105 M), bahkan memiliki pengaruh yang menjangkau kaum muslimin di seluruh dunia, dan masih terasa hingga sekarang.
NU, Yahudi, Katolik, Eropa
Di negeri ini, ormas Islam terbesar NU telah menetapkan ajaran tasawuf Al-Ghazali sebagai pedoman ajaran Ahlus Sunnah wal-Jamaah. Di samping itu, Buya Hamka dalam meletakkan dasar-dasar sufisme baru tampaknya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali. Dalam bukunya Tasauf Moderen terdapat alur pikiran yang memberi apresiasi wajar kepada penghayatan esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisme itu harus tetap dikendalikan oleh ajaran-ajaran standar syariah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemikiran tasawuf Buya Hamka masih tetap dalam garis kontinuitas dengan pemikiran Al-Ghazali. Hanya saja, Hamka menghendaki suatu penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tanpa pengasingan diri (uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat.
Sementara itu, pengaruh Al-Ghazali juga menitis dalam pemikiran Yahudi, dan tampil dalam pribadi filosof Yahudi terbesar, Musa Ibn Maimum (Moses the Maimonides). Karya-karya pentingnya dalam sejarah perkembangan filsafat Yahudi itu dapat sepenuhnya dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-Ghazali.
Di kalangan Kristen abad pertengahan, pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat Bonaventura. Seperti halnya The Maimonides, Bonaventura pun dapat dipandang sebagai “titisan” dari Al-Ghazali. Lebih jauh lagi, pandangan-pandangan tasawuf Al-Ghazali juga memperoleh salurannya dalam mistisisme Kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiskan.
Menurut Shorter Encyclopaedia of Islam susunan H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Al-Ghazali telah berjasa membawa filsafat ke alam terbuka dan menghilangkan “glamoritas atau keagungan misteri” yang melingkupinya. Berkat Al-Ghazali, orang jadi paham bahwa filsafat tak lebih adalah olah pikir (thinking), sedang para filosof beserta segenap sistem mereka bisa dimengerti oleh setiap orang yang cerdas. Tak lebih.
Selanjutnya, Al-Ghazali juga disebut secara tidak langsung telah mendorong pencarian dan kehidupan intelektual yang bebas. Lebih dari itu, pengaruh tidak langsung dari ulama ini cukup terasa pada pemikiran Eropa, termasuk yang paling modern. Pengaruh tidak langsung itu mengalir melalui Pugio Fidei dari Ramon Martin dan menjalar pada Thomas Aquinas dan Blaise Pascal. Aquinas adalah teolog Italia (1224-1274 M) yang, melalui karya-karyanya Summa Theologiae dan Summa Contra Gentiles, telah menyistematisasi teologi Katolik Roma. Sedang Pascal (1623-1662 M) adalah ilmuwan Prancis ahli matematika, fisika, dan filsafat agama. Dialah pendiri teori probabilitas, dan ide-idenya mengenai agama-dalam (inner-religion) mempengaruhi Jean-Jacques Rousseau, Henri Bergson, dan kaum eksistensialis.
Penulis: Dr. Syaifullah, M.Ag., kini ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Bengkulu. Sumber Panji Masyarakat, 18 Agustus 1997. (Artikel ditulis saat penulis menjadi peserta Program Pascasarjana (S3) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)