Bintang Zaman

Al-Ghazali (1):  Berkelana di Samudera Kebimbangan

Written by Panji Masyarakat

Seorang kiai berpengaruh di Jawa Timur mengajar kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Gha-zali. Sudah bertahun-tahun, tapi belum juga khatam. Kitab setebal empat jilid itu belum ter-kunyah habis. Maklum, ibarat makanan, kitab itu betul-betul dinikmati oleh sang kiai sepuh itu. Dikunyahnya sedikit-sedikit. Setiap kali membaca satu atau beberapa kalimat, ia berhenti, dan menangis. Lantas, mengalirlah cerita panjang lebar atau wejangan yang bersangkut paut dengan bacaannya itu.

Imam Ghazali, di kalangan pesantren, atau perguruan-perguruan  Islam lainnya, adalah tokoh pujaan, tokoh agung. Kitab-kitabnya di bidang fikih dan tasawuf dilahap habis, tak ubahnya makanan yang lezat. Dan Ihya Ulumiddin adalah karyanya yang paling di-]agungkan. Belum sempurna otoritas keulamaan  seorang santri jika ia belum per-nah mempelajarinya. Kenyataannya, itulah karya monumental dalam sejarah umat Islam. Sebuah karya yang telah berhasil mengawinkan, de-ngan begitu harmonis, “kekakuan” tradisi fikih dan “kelenturan” tradisi tasawuf.

Tapi, justru dalam kenyataan seperti itu, Ghazali menjadi to-koh kontroversial di kalangan intelektual modern. Sementara kalangan modernis menuduh Ghazali sebagai biang kemunduran  dunia Islam karena serangannya terhadap filsafat. Melalui bukunya Tahafutul Falasifah (Kerancuan Para Filosof) ia menyerang filsafat menyangkut tiga soal: paham keabadian alam, premis bahwa Tuhan hanya mengetahui  yang universal tanpa mengetahui yang partikular,  dan kebangkitan jasmani. Ia menuduh para filosof menganut dua yang pertama dan mengingkari yang ke-tiga sehingga mereka dianggap telah keluar dari jalan yang benar.

Karena serangan tersebut, Al-Ghazali dinilai membunuh tradisi pemikiran spekulatif-rasional Islam yang dikembangkan para filosof. Ia telah mematikan kreativitas berpikir yang sangat diperlukan bagi kemajuan peradaban  Islam. Akibatnya adalah keruntuhan dunia Islam yang sampai sekarang masih belum terlihat dengan pasti kesudahannya. Yang tampak hanyalah indikasi-indikasi sampingan yang masih belum mapan benar. Akan halnya kitab Tahafut, khususnya menyangkut tiga soal tadi, telah mendapat serangan tajam dari Ibnu Rusyd melalui bukunya Tahafutut Tahafut (Kekacauan dari Kekacauan).

Namun, tidak sedikit pula ilmuwan yang mengaguminya.  Ia dipandang sebagai salah satu keagungan dunia Islam yang terbesar sehingga digelari huijatul Islam (argumen Islam). Ketokohan Al-Ghazali tidak saja diakui kalangan santri dan sarjana muslim, tapi juga ilmuwan Barat semisal Cyrill Glasse yang berpendapat, peradaban  Islam mencapai kematangannya seperti sekarang ini berkat Al-Ghazali.

Kritik dan pujian yang diberikan kepada tokoh ini sebenarnya sah-sah saja. Meskipun ia dikecam sebagai sumber melemahnya orientasi ilmiah dunia Islam, ada pikiran-pikirannya yang masih relevan dengan persoalan zaman kita sekarang.

Skeptis

Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Ath-Thusi Al-Ghazali. Ia dilahirkan di Ghazalah,  sebuah desa kecil di daerah Thus di Khurasan, Iran, pada 1058 M dan meninggal di kota Thus pada 19 Desember 1111 M. Thus waktu itu merupakan pusat pengetahuan Islam dan dikenal sebagai tempat kelahiran banyak ilmuwan, di antaranya Al-Hujwiri (w. 1071 M), Firdausi (w. 1025 M), dan Nizhamul Mulk (w. 1092 M). Al-Ghazali sendiri dibesarkan dalam suasana yang akrab dengan kegiatan ajar-mengajar ilmu-ilmu agama dan ba-hasa Arab, seperti halnya ilmuwan-ilmuwan dunia Islam lainnya pada waktu itu.

Pendidikan Al-Ghazali dimulai dengan mempelajari Al-Quran dan hadis, mendengarkan kisah tentang para ahli hikmah, dan menghafal puisi cinta mistis. Kemudian ia dikirim ke sebuah madrasah, tempat pertama kali ia mempelajari fikih dari Ahmad Ar-Radzkami. Belum cukup lima belas tahun usianya, ia melanjutkan studi fikihnya ke Jurjan di Mazardaran di bawah bimbingan Abu Na-shr Al-Ismaili. Setelah itu ia berangkat ke Naisabur untuk mendalami studi fikih dan ilmu kalam (ushuluddin) di Madrasah Nizhamiyah, di bawah didikan Al-Juwaini.

Al-Juwaini memainkan peran menonjol dalam pemilsafatan kalam Asy’ariyah, dan pemilsafatan itu mempengaruhi visi dan perlakuan Al-Ghazali terhadap kalam sebagai suatu disiplin ilmu. Di samping kalam, selama di Nisafur ia juga diperkenalkan dengan sufisme. Ia mempelajari teori dan praktek sufisme di bawah bimbingan Al-Farmadzi.

Perkenalannya d engan klaim-klaim metodologis kaum mutakallimun (ahli ilmu kalam), filosof, dan sufi menimbulkan krisis kepribadian intelektual pada dirinya. Krisis itu tampaknya bersifat epistimologis karena pada dasarnya ia berusaha mencari tempat yang tepat bagi daya-daya kognitif dalam skema total pengetahuan. Secara khusus itu adalah krisis dalam menetapkan hubungan yang tepat antara akal dan intuisi intelektual. Ia dibingungkan oleh pertentangan antara keandalan akal di satu pihak dan keandalan pengalaman supranasional di lain pihak. Dengan begitu ia pun tiba pada keraguan akan keandalan data indrawi dan data rasional dari kategori kebenaran-kebenaran dharuriyat. Sebenarnya, semenjak dini sikap skeptis sudah muncul pada dirinya. Meski ia tumbuh dan dididik di ka-langan sufi, bahkan mempraktikkan ajaran mereka, ia tidak memperlihatkan keterkesanannya. Ia justru ber-payah-payah meneliti kerumitan ajaran ilmu kalam dan fikih.  Skeptisisme ini mencapai puncaknya ketika ia ber-ada di Baghdad sebagai guru besar pada Madrasah Nizhamiyah. Hidupnya pun terguncang oleh keraguan yang meliputi dirinya itu.

Keraguan mula-mula tertuju pada ajaran ilmu kalam seperti yang dia peroleh dari Al-Juwaini. Ia menemukan banyak sekali kontradiksi pada berbagai aliran. Ia jadi bertanya-tanya, mana di antara aliran-aliran ini yang benar, seperti dia ungkapkan dalam bukunya Al-Munqidh minadh-Dhalal. Ia pun mulai tidak percaya pada pengetahuan yang dia peroleh dari pancaindra, yang dia dapati sering berbohong. Lalu ia beralih pada akal sebagai sandaran. Pada kurun 1090-1094 ia mencemplungkan dirinya  untuk mempelajari berbagai aliran pemikiran yang berkembang di sekitar dirinya. Tak terkecuali filsafat. Tapi,  kembali ia dibuat kecewa. Pengembaraan spiritual yang cukup panjang melalui bahtera keraguan ini pada akhirnya mengantarkan dirinya kembali ke pangkuan tasawuf. Inilah ajaran yang telah menghilangkan rasa syak pada dirinya. Pengetahuan (tasawuf) yang dia peroleh melalui kedalaman kalbu membuatnya yakin, ia sudah berada di jalan yang benar untuk menemukan kebenaran.

Dalam kegalauan intelektual dan pergumulannya dengan berbagai kecenderungan intelektual itu, Al-Ghazali akhirnya memilih jalan sufi. Itulah jalan vang ditempuhnya hingga akhir hayat. Tapi, untuk sampai pada pilihan itu, ia menempuh jalan yang penuh duri sampai-sampai kehilangan keseimbangan dalam pengembaraan spiritualnya. Ia sendiri bercerita, bertahun-tahun ia melatih diri dan meninggalkan kesenangan duniawi, semata-mata mengabdi kepada Allah. Kedalaman pengalaman mistiknya akhirnya mengantarkan dia kepada suatu keberhasilan dalam mengawinkan prinsip-prinsip filsafat dan mistik dalam sistem teologi. Ia berhasil menemukan sintesis antara unsur-unsur yang bertentangan dalam khazanah intelektual Skolastik Islam.

Iklim Sosial-Politik

 Al-Ghazali hidup pada zaman yang ditandai dengan kekacauan spritual di dunia Islam dan kekacauan politik dalam Dinasti Abbasiyah. Tiga tahun sebelum kelahirannya, dominasi raja-raja Buwaihi yang Syi’i atas para khalifah Abbasiyah yang Sunni di Bagdad telah berakhir.

Pada abad keempat Hijriyah, Dinasti Abbasiyah melemah. Maka, mulai tahun 344 H (955 M) para khalifah Dinasti Abbasiyah dipereteli kekuasaan dunianya oleh raja-raja Bani Buwaihi, yang berkedudukan di Syam. Khalifah hanya menjadi simbol dengan diberi gaji dan pangkat yang menyerupai pangkat agama, tapi tanpa kekuasaan mengatur negeri. Semuanya dipegang oleh raja-raja Buwaihi.

Daulah Buwaihi kemudian digantikan Daulah Bani Saljuk (Turki) yang bermazhab Sunni. Karena bermazhab Sunni, semula kehadiran mereka di panggung kekuasaan diharapkan akan mengembalikan hegemoni politik khalifah-khalifah Bagdad yang telah lama hilang. Namun dalam kenyataannya, mereka tetap tidak membuka kurungan sangkar emas bagi para khalifah.

Penguasa-penguasa Saljuk menganut mazhab Syafi’i dalam bidang fikih dan aliran Asy’ariyah dalam bidang teologi sehingga Al-Ghazali dapat menikmati segala kehormatan di bawah kepemimpinan mereka. Keilmuan Al-Ghazali mendapat dukungan penuh Nizhamul Mulk, seorang wazir (perdana menteri) Daulah Bani Saljuk pada masa pemerintahan Alp Arselan dan Malik Syah. Pada masa Nizhamul Mulk inilah aliran Asy’ariyah dijadikan sebagai teologi resmi Daulah Bani Saljuk setelah sebelumnya dikutuk secara resmi (bersama-sama dengan sistem Syi’ah). Untuk itulah Nizhamul Mulk mendirikan madrasah Nizhamiyah di banyak tempat.

Mula-mula Nizhamul Mulk, yang telah mendengar keulamaan Al-Ghazali, mengundangnya ke Muaskar, kota tempat perdana menteri, pembesar-pembesar kerajaan, dan kaum.ulama serta intelektual ternama tinggal. Kebetulan, guru Al-Ghazali di Naisabur, Al-Juwaini, baru saja wafat (1085). Di tempatnya yang baru ini, Al-Ghazali menghadiri berbagai pertemuan ilmiah yang digelar secara rutin di istana Nizhamul Mulk.

Sang Perdana Menteri semakin terpikat saja melihat kepandaian Al-Ghazali. Maka, diangkatlah dia jadi guru besar di Madrasah Nizamiyah di Bagdad. Tapi, itu hanya berlangsung lima tahun (1090-1095 M). Al-Ghazali mengundurkan diri dan berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya, menjalani hidup sebagai seorang sufi—dan menjadi orang tak dikenal. Keluarganya pun ditinggalkannya, setelah diberi uang yang cukup, tentu saja.

Bersambung

Penulis: Dr. Syaifullah, M.Ag., kini ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Bengkulu. Sumber Panji Masyarakat, 18 Agustus 1997.  (Artikel ini  ditulis saat penulis   menjadi peserta program pascasarjana (S3) Syarif Hidayatullah Jakarta)

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda