Pengalaman Religius

Puspo Wardhoyo (2): Kalau Mau Sukses, Jangan Tergesa-gesa

Avatar photo
Written by Asih Arimurti

Mengapa ayam bakar? Saya hanya bisa mengatakan, ini berkah. Sebelumnya saya hanya berpengalaman jualan ayam goreng. Ceritanya panjang. Bapak dan Ibu saya juga pedagang ayam di Solo. Saya ingat betul menyaksikan bagaimana saat-saat almarhum orangtua bekerja keras berdagang daging ayam di pasar pada pagi hari. Sementara pada siang sampai malam hari, Bapak-Ibu juga membuka warung nasi di rumah lainnya yang berada di samping tempat tinggal kami. Kebetulan rumah kami dekat kampus UNS Solo. Warung selalu dipenuhi pengunjung dan menjadi idola di kalangan mahasiswa, selain masyarakat setempat. Menurut mereka, selain karena menyediakan berbagai menu siap saji seperti ayam goreng, ayam bakar, ayam garang asem, dan masakan ayam lainnya, juga karena rasanya enak dan harganya murah.

Dari hasil usaha jualan itulah kedua orangtua saya bisa menyekolahkan kedelapan putra-putrinya. Semuanya menyelesaikan sekolah hingga tamat SMA. Empat di antaranya bahkan hingga sampai perguruan tinggi, termasuk saya. Suatu prestasi yang menurut saya patut diacungi jempol. Tetapi, sayangnya, sebagaimana umumnya pandangan orang-orang di Jawa, orangtua saya tidak menginginkan kami menjadi pedagang. Atau lebih tepatnya beliau mengharapkan kami menjadi pegawai negeri. Itu baru belakangan saya menyadari, kenapa kami sebagai anak-anaknya, atau salah satu di antaranya, tidak disuruh untuk membesarkan warung ayam menjadi bisnis rumah makan yang profesional saja? Selama membantu orangtua, semua anak-anaknya membantu mengolah ayam sebelum dimasak, seperti membersihkan, memotong-motong sampai menyediakan bumbu-bumbunya. Pekerjaan seperti itu menjadi aktivitas seluruh anggota keluarga kami sehari-hari.

Saya sendiri terlibat sejak berusia 13 tahun. Pagi-pagi, selesai salat subuh, saya sudah berkecimpung dengan ayam. Setelah semuanya beres, barulah saya pergi ke sekolah. Sepulang sekolah hingga larut malam, saya masih harus membantu di dalam warung. Rutinitas seperti itu terus saya lakukan sampai tamat kuliah. Kadang-kadang, saya merasa iri juga dengan teman-teman yang mempunyai banyak waktu untuk bermain.

Di balik itu semua, sungguh amat saya rasakan manfaatnya, terutama dalam hal menanamkan kedisiplinan diri dalam bekerja, rasa tanggung jawab, selain menumbuhkan jiwa wirausaha saya.

Meski semula seperti tidak menghendaki kami berdagang,  beberapa waktu sebelum meninggal, Bapak pernah berpesan agar saya jualan ayam bakar saja. “Insya Allah sukses,” demikian kata Bapak. Pesan Bapak sempat saya simpan lama. Tetapi, ketika merantau ke Medan menyusul saran seorang teman, saya benar-benar ingat wasiat ini, dan mencoba saya jalani. Alhamdulillah, hasilnya cukup memuaskan.

Meski demikian bukan berarti  saya tidak mengalami berbagai kendala. Meski sudah memiliki pengalaman dari segi pengolahan ayam, sebagai sebuah usaha yang saya jalani sendiri banyak kendala yang saya hadapi. Untungnya, saat itu usaha ayam bakar belum ada di Medan. Saya boleh dibilang yang pertama jualan ayam bakar di sana. Waktu itu saya hanya jualan nasi dan ayam bakar, tidak ada menu lainnya. Saya hanya bisa menjual tiga sampai empat ekor per hari. Dan, semua itu saya kerjakan sendiri karena belum bisa menggaji karyawan. Bahkan istri saya juga tidak terlibat, mungkin merasa malu saat itu. Istri sering membujuk agar saya berhenti jualan. Waktu itu dia juga menganggap pekerjaan itu remeh.

Bukan itu saja. Pernah suatu saat makanan yang sudah saya masak di rumah tumpah di jalan karena licin sehabis hujan. Tapi saya tidak menyerah. Saya pulang dan memasak lagi. Tidak jarang pula, karena hujan seharian tidak berhenti, tidak ada tamu yang datang. Itu semua adalah cerita-cerita pahit. Tetapi, dengan penuh kesabaran, saya terus jualan dan meyakinkan istri bahwa usaha ini insya Allah akan maju. Saya katakan, kalau kita mau sukses, jangan tergesa-gesa untuk menikmati hasilnya. Tetapi, perjuangkan dulu image building tentang usaha kita. Saya memang berambisi untuk memiliki nama, merek atau brand ayam bakar terlebih dahulu. Kalau nama sudah kuat, maka keuntungan akan mengikuti kita. Dalam pepatah Jawa dikatakan, goleko jeneng dhisik banjur jenang (carilah nama dulu, baru kemudian bubur (atau nasi, atau rezeki)  akan menyusul—-red.). Itu filosofi bisnis saya.

Bersambung

Ditulis bersama Akmal Stanzah (almarhum). Sumber: Majalah Panjimas, 6-19 Februari 2003

About the author

Avatar photo

Asih Arimurti

Wartawan Majalah Panji Masyarakat

Tinggalkan Komentar Anda