Minangkabau pastilah sesuatu yang menggelitik. Di saat-saat kebudayaan Jawa semakin memperlihatkan pengaruh nasionalnya, ia secara diam-diam tampil di tangga kedua – meninggalkan kebudayaan-kebudayaan Sunda, Batak, Melayu dan Aceh di belakangnya. Padahal dilihat dari jumlah penduduknya, pendukung kebudayaan Minang ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan pendukung kebudayaan Sunda, misalnya. Apalagi pendukung kebudayaan Jawa.
Tidaklah terlalu perlu mencari letak kekuatan Minangkabau. Semua orang bisa mempunyai pandangan tersendiri. Dan semua pandangan itu, hampir pasti tidak akan sepenuhnya salah.
Toh demi kepentingan kolonialisme, seorang pejabat Belanda di tahun 1869 berusaha menemukan kekuatan itu. Ia melihat surau – yang bertebaran di ranah Minang – dengan kaum ulama yang memiliki pengaruh lintas wilayah, melampaui kekuasaan para penghulu. Ia, karenanya, tidak bisa memanfaatkan para penghulu untuk kepentingan kolonialismenya – seperti yang sangat berhasil dilaksanakan di Jawa.
Dengan kata lain, di balik surau-surau dan ulama-ulama itu, sang pejabat, Verkerk Pistorious, melihat kekuatan Islam. Tapi di atas semua itu, ia melihat Islam sebagai kekuatan yang mengancam. Maka, dengan gelisah, ia berkata, “Kita duduk di atas vulkano pengikut Muhammad.”
Ucapan di atas dikutip oleh Taufik Abdullah (sejarawan asal Minang, lulusan Universitas Cornell; Red). Dan dengan itu, cerita tentang kekuatan Minang belumlah berakhir. Sebab begitu kapitalisasi Barat melanda daerah-daerah Minang, mereka menyambutnya dengan begitu hangat. Kapitalisasi perkebunan, bukan hanya telah menghancurkan corak pandangan sawah, melainkan juga “inti kebudayaan,” ujar Geertz (antropolog yang masyhur dengan karyanya Religion of Java, Red). Yang berubah sesungguhnya bukanlah aspek fisik, melainkan “sistem dari segala pranata, praktik dan ide yang relevan yang Sali ng berhubungan.”
Minang menyambut kapitalisme dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan para petani Jawa. Jika petani Jawa terseret dalam arus kapitalisme perkebunan hanya sebagai kuli dan, paling banter, mandor, maka petani Minang berkembang menjadi kapitalis-kapitalis itu sendiri – walau dalam skala kecil. Mereka bukanlah opbjek yang pasif. Mereka adalah subjek yang aktif, mereka tidak menghindari kapitalisasi, tetapi memanfaatkan perubahan-perubahan itu dengan baik. Kendati tidak menjadi raja yang besar, mereka cenderung memilih menjadi “raja-raja” kecil – daripada hanya sekadar pengikut yang pasif.
Kekuatan Minang mungkin terletak pada kemampuan melihat manfaat perubahan secara dini. Perubahan bukanlah sesuatu yang harus dielakkan. Tetapi dimanfaatkan.
Dan Minang, dibandingkan Aceh, misalnya, selalu beruntung. Tradisi memanfaatkan perubahan itu hingga kini tetap dipertahankan.
Oh Minang.
Penulis: Fachry Ali, peneliti, dan pengamat sosial politik dan budaya. Sumber: Panji Masyarakat, 11 Juni 1987.