Ads
Cakrawala

Refleksi 70 Tahun YPI Al-Azhar

Avatar photo
Ditulis oleh Fuad Nasar

Siapa tidak kenal Sekolah Islam Al-Azhar. Jenjang pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar biasa disingkat YPI Al-Azhar telah berusia 70 tahun. Bermula dari pengajian anak-anak di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan meningkat menjadi Madrasah Diniyah (sore) tahun 1963 yang kemudian menjadi Pendidikan Islam Al-Azhar (PIA).

Sekolah Islam Al-Azhar dengan sayap pendidikannya telah berkembang menjadi sekolah favorit di Tanah Air. Sekolah TK, SD, SMP dan SMA dengan brand Al-Azhar telah hadir di sejumlah wilayah di luar DKI Jakarta. Ada yang dikelola langsung oleh YPI Al-Azhar dan ada yang afiliasi bekerjasama dengan YPI Al-Azhar sesuai standar yang ditetapkan YPI Al-Azhar pusat.

YPI Al-Azhar didirikan di Jakarta pada tanggal 7 April 1952. YPI Al-Azhar membangun dan melayani  umat melalui peran sentral masjid dan pendidikan yang modern, berkualitas dan inklusif. Kehadiran YPI Al-Azhar telah menjawab kebutuhan pendidikan kalangan menengah muslim perkotaan. Penggunaan kata “pesantren” dalam nama YPI memberi makna inklusif pesantren yang tidak terikat dengan suatu bentuk dan pola pendidikan tertentu. Mohammad Natsir mengatakan tiga pilar yaitu Masjid, Pesantren dan Kampus harus bersinergi untuk kebangkitan umat. Tiga pilar tersebut tidak terpisahkan dari sejarah Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. 

Dalam jejak sejarah YPI Al-Azhar tidak dapat dilupakan jasa Walikota Jakarta Raya periode 1951 – 1953 (setingkat gubernur) Sjamsuridjal, seorang kader Masyumi, memberikan tanah untuk tempat ibadah bagi umat Islam seluas 43.775 M2 terletak di Blok K-1 Persil no 2 Jalan Sisingamangaraja Kota Satelit Kebayoran Baru. Lokasi  yang dipilih selaras dengan pengembangan wilayah ibukota.

Pengurus YPI Al-Azhar yang dibentuk tahun 1952, di antaranya K.H. Abdullah Salim dan K.H. Ghazali Sjahlan yang dikenal sebagai  tokoh dakwah Muhammadiyah meminta pendapat Buya Hamka; manakah yang harus dibangun terlebih dahulu, gedung sekolah atau masjid, mengingat dana saat itu sangat terbatas?

Sebagaimana ditulis Ghazali Sjahlan dalam buku Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka (1978), Buya Hamka ketika itu menyarankan, “Bangunlah masjid lebih dahulu. Tapi bangunan masjid itu hendaklah sedemikian rupa, dilengkapi ruangan-ruangan kantor, aula untuk rapat dan kuliah. Sementara bangunan gedung sekolah dan lain-lain belum terwujud, dapatlah ruangan itu dimanfaatkan sebagai penarik sumbangan hartawan dan umat untuk pembangunan pesantren atau sekolah secara berangsur-angsur.” Saran Hamka dilaksanakan sepenuhnya oleh Pengurus YPI Al-Azhar.

Saran Buya Prof. Dr. Hamka tepat sekali. Di atas lahan tersebut sejak tahun 1953 dibangun Masjid Agung yang besar, megah dan indah atas bantuan pemerintah dan swadaya umat Islam. Pada tahun 1961 diberi nama Masjid Agung Al-Azhar oleh Rektor Universitas Al-Azhar Mesir Prof. Dr. Syaikh Mahmoud Syaltout yang mengunjungi Masjid Agung di Kebayoran Baru dalam lawatannya ke Indonesia.

Kesaksian Hariri Hady, salah satu Pendiri dan Pengurus YPI Al-Azhar yang paling muda usianya kala itu masih kuliah di UI, dalam buku Setengah Abad Al-Azhar (Badruzzaman Busyairi, 2002) menarik disimak, “Bapak-bapak para pendiri Yayasan diberi kemampuan untuk melihat jauh ke depan, dan memilih lokasi lahan yang strategis bagi pusat dakwah di kemudian hari. Perlu saya sampaikan di sini bahwa pada masa itu umat Islam tidak memiliki masjid yang memadai yang terletak di pinggir jalan besar. Semua masjid di masa itu, terletak dalam gang-gang kecil dan becek, di perkampungan. Satu-satunya masjid besar yang terletak di pinggir jalan besar, seingat saya, hanyalah Masjid Tanah Abang.”

Pengabdian ikhlas Buya Prof. Dr. Hamka yang merintis dan menggerakkan fungsi peribadatan, dakwah, sosial dan pendidikan umat menjadi kenangan abadi bagi jemaah Masjid Agung Al-Azhar dan aktivis YISC Al-Azhar era tahun 1970-an yang mengalaminya. Perjuangan dakwah Buya Prof. Dr. Hamka sebagai Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar memberi warna, identitas dan corak perkembangan Masjid Agung Al-Azhar hingga kini. Buya Hamka memberi nama Tafsir Al-Quran yang disusunnya sebanyak 30 jilid ialah Tafsir Al-Azhar. Buya Hamka mengemban amanah sebagai Ketua Umum YPI Al-Azhar setelah meninggalnya H. Anwar Tjokroaminoto tahun 1975 dan memimpin YPI Al-Azhar sampai wafat pada 24 Juli 1981 bertepatan dengan 22 Ramadhan 1401 H.

Salah satu ruangan lantai bawah Masjid Agung Al-Azhar pernah menjadi kantor dan alamat redaksi majalah Panji Masyarakat  yang legendaris di bawah pimpinan Buya Hamka. Peredarannya di masa itu menjangkau seluruh Indonesia. Di tempat yang sama pernah berkantor redaksi majalah Gema Islam sebagai pengganti Panji Masyarakat yang dibreidel/dilarang terbit oleh pemerintah karena menyiarkan tulisan Bung Hatta yang mengkritisi politik rezim Orde Lama. Dalam masa transisi Orde Lama ke Orde Baru pasca peristiwa G-30-S/PKI yang ditandai bangkitnya Angkatan “66, Masjid Agung Al-Azhar menjadi salah satu tempat konsolidasi umat dan Angkatan ’66.

Masjid Agung Al-Azhar merupakan masjid pelopor yang melahirkan lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA, hingga Universitas. Selain lembaga pendidikan, di lingkungan Masjid Agung Al-Azhar juga dibentuk Kursus Mubaligh, organisasi pemuda-remaja masjid pertama di Indonesia yakni Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar,  lembaga zakat & wakaf, Biro Haji, dan lainnya yang semua menggunakan brand Al-Azhar.

Milad ke-70 YPI Al-Azhar adalah momentum terbaik untuk memperbarui tekad dan pengabdian keluarga besar YPI Al-Azhar dan segenap komunitas di dalamnya. YPI Al-Azhar dengan tekadnya untuk terus berkidmat membangun dan melayani umat telah turut membentuk peradaban Islam kontemporer khususnya di bidang pendidikan dan dakwah islamiyah dalam arti luas.

Sekolah-sekolah Islam yang bernaung atau berafiliasi di bawah YPI Al-Azhar di Jakarta dan kota-kota lainnya menjadi icon mobilitas vertikal umat Islam dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki keunggulan. Menurut data yang saya peroleh, Sekolah Islam Al-Azhar sampai sekarang tersebar di 22 provinsi dan dalam lima tahun terakhir berjumlah 204 sekolah mulai dari jenjang TK, SD, SMP dan SMA serta satu Universitas Islam Al-Azhar Indonesia (UAI). Potret kemajuan gemilang YPI Al-Azhar membuktikan bahwa umat Islam mampu mengelola institusi pendidikan yang bermutu, sejajar dengan institusi pendidikan milik golongan lain.

Hemat saya, di tengah arus industrialisasi dan liberalisasi pendidikan, YPI Al-Azhar diharapkan menjadi tanggul penyeimbang dengan kepentingan perjuangan dakwah kultural umat Islam dalam mengisi pembangunan negara. YPI Al-Azhar diharapkan tidak sekedar dapat dibanggakan, tetapi menjadi kebanggaan umat Islam dan bangsa Indonesia.  

Selain gembira dan mensyukuri kemajuan institusi pendidikan bermutu untuk kalangan menengah, seperti YPI Al-Azhar, tidak dapat diabaikan realita masih banyak anak bangsa, sebagian besar anak-anak muslim, karena kemiskinan dan ketiadaan biaya tidak bisa menikmati pendidikan yang layak sebagai bekal menghadapi masa depan. Umat Islam yang tergolong mapan perlu membuktikan keberpihakan dan membantu sesama muslim yang tergolong mustad’afin. Upaya-upaya YPI Al-Azhar di bidang pendidikan dan non-pendidikan perlu dikembangkan berbasis kebutuhan umat dengan tata kelola yang baik.

Semoga para Pengurus YPI Al-Azhar dan komunitas Al-Azhar senantiasa diberi kekuatan dan hidayah oleh Allah SWT dalam mengemban amanah umat dan menunaikan amanah sejarah sesuai khittahnya.

Penulis adalah Anggota Dewan Pengawas IKA YISC Al-Azhar Jakarta.

Tentang Penulis

Avatar photo

Fuad Nasar

Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kementerian Agama RI, pernah menjabat Sesditjen Bimas Islam.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading