Sejarah banyak mencatat berbagai kerajaan yang rajanya tidak seenaknya. Dia tidak menjadi penguasa tunggal. Dia tidak juga menyusun sekelompok kekuatan yang tiran. Beberapa raja justru mengandalkan perwakilan rakyat. Pemerintahan didukung oleh wakil-wakil rakyat. Pemerintahan itulah yang menjalankan kekuasaan negara sehari-hari. Raja tetap dihormati, tidak sekadar sebagai simbol atau bahkan boneka. Contoh itu dapat dilihat pada kerajaan Inggris dan Thailand. Di Thailand malah bila terjadi bentrok antarmiliter, mereka mengadu kepada raja dan menunggu keputusannya. Apa pun putusan raja, akan dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Di zaman Nusantara dulu, raja sangat dihormati oleh rakyatnya. Apa yang dititahkan raja, hampir-hampir berlaku sebagai hukum. Apa kehendak raja dipenuhi oleh rakyat. Raja dilayani oleh rakyatnya. Tapi, ada juga raja yang lalim dan di sekitarnya penuh intrik.
Beberapa kerajaan yang baik zaman Nusantara dulu itu sangat memperhatikan wakil-wakil rakyat. Wakil rakyat bisa dari kalangan biasa, juga bisa datang dari alim ulama dan bangsawan. Mereka mendengar suara rak-yat, kemudian disampaikan kepada raja.
Di zaman Nusantara sekarang, orang-orang yang punya hak pilih berbondong-bondong ke suatu tempat sederhana. Itulah bilik pemungutan suara. Biasanya dindingnya dibuat dari kayu lapis atau bahkan bambu anyaman. Di bagian depannya ada tirai kain tipis (kadang lusuh) yang berkibar-kibar. Dengan menyibak tirai, seseorang masuk. Tiga langkah pendek yang kemudian dia lakukan: membuka kertas suara, mengambil pencoblos, dan mencoblos gambar pilihannya.
Tiga langkah tersebut dapat dilakukan hanya dalam tiga detik atau dalam satu tarikan nafas. Tiga detik itulah yang sangat menentukan siklus politik lima tahunan. Sebuah pilihan telah dilakukan. Pada hakikatnya, putaran lima tahunan tidak hanya berakhir di dalam bilik. Putaran masih akan berlangsung terus, tidak berhenti, kecuali sistem diubah.
Mengubah sistem tidaklah mudah. Harus ada kesepakatan nasional melalui wakil-wakil rakyat. Sebelum itu, seyogianya diperoleh jawaban apakah sistem lama sudah tertinggal zaman? Apakah sistem baru akan maksimal mengakomodasi keterwakilan rakyat? Keterwakilan rakyat yang maksimal menunjukkan rakyat mempunyai kekuasaan, termasuk di dalamnya untuk mengontrol.
Yang penting bukan keterwakilan rakyat secara fisik. Suara hati rakyatlah yang penting untuk didengar dan diperjuangkan. Suara hati jauh ada di dalam, acap kali tidak terdengar karena tidak disuarakan. Diam adalah bagian suara hati itu.
Dalam mencoba mendengar suara hati, sudahkah kita memba-yangkan pelaksanaan pemilu di dusun-dusun terpencil? Bisa jadi itu di gunung-gunung maupun di pulau-pulau yang sepi. Apakah kesadaran politik saudara-saudara kita tersebut sudah sungguh-sungguh benar? Mungkin kekhawatiran orang-orang kota berlebihan. Apakah tidak mungkin kesadaran itu muncul karena keterpaksaan atau karena ketakacuhan?
Pada waktu pemilu diselenggarakan pertama kali, banyak partai politik ikut serta. Partai pemerintah—dikatakan demikian karena anggotanya kebanyakan pegawai negeri—tidak menang. PNI, partai tersebut, di urutan kedua, dikalahkan oleh Masyumi. NU berada di urutan ketiga. Kemudian menyusul PKI. Tidak ada partai pemerintah dalam pengertian partai yang menguasai sepenuhnya kabinet. Kabinet parlementer disusun beberapa partai dalam koalisi.
Pelaksanaan dan penghitungan suara pemilu berlangsung tertib. Kuncinya adalah panitia pemilu tidak hanya aparat pemerintah, tapi juga datang dari peserta pemilu. Dalam penghitungan suara misalnya, terjadi saling mengawasi, yang dampaknya positif. Tidak terjadi manipulasi penghitungan suara pe-milih.
Itulah pemilu yang menarik. Pemilu berikutnya berjarak belasan tahun kemudian. Sampai pemilu yang sekarang, pelaksananya adalah aparat pemerintah. Keempat partai pemenang Pemilu 1955 tersebut kini sudah tiada dengan berbagai alasan. Kalau mereka masih ada, barangkali yang pertama-tama dituntut adalah pelaksanaan pemilu dilakukan bersama-sama. Tentu saja termasuk penghitungan suaranya.
Masuk ke dalam bilik dan melakukan aktivitas demokratis dalam tiga detik bukanlah segala-galanya. Pemilu memang bukan segala-galanya. Itu juga bukan tanda-tanda sebuah pesta telah dilakukan. Dia boleh dianggap pesta manakala suasana senang melingkupinya. Manakala matahari muram, langit redup, dan angin berembus kencang, dia bukan pesta tapi suatu keprihatinan.
Ternyata keterwakilan rakyat tidak semudah masuk ke dalam bilik yang tirainya berkibar-kibar. Tidak juga semudah pencoblosan itu sendiri. Diperlukan pemikiran yang arif.
Apakah raja masih pemimpin negara ataukah pemimpin pemerintahan? Sudah seharusnya raja disembah. Raja yang sebenarnya adalah rakyat. Merekalah raja yang sebenarnya raja, yang harus dilayani, harus ditaati, yang kata-katanya patut dijadikan hukum.
Dan tirai kain tipis (kadang lusuh) di pintu bilik pemungutan suara itu berkibar pelan, pelan sekali.
Penulis: S. Sinansari-ecip, sastrawan, pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Panji Masyarakat. Sumber: Panji Masyarakat, 26 Mei 1997.