Ads
Pengalaman Religius

Puspo Wardhoyo (1): Dari Solo Hijrah ke Medan

Avatar photo
Ditulis oleh Asih Arimurti

Pada suatu hari saya kedatangan seorang kawan yang tengah pulang ke Solo (Jawa Tengah). Selama bertahun-tahun merantau di Medan, dia menuturkan kesuksesannya sebagai penjual bakso. Dia katakan, prospek bisnis rumah makan di Medan itu sangat bagus, belum banyak saingan. Dengan entengnya dia juga bilang bahwa Medan itu kan tidak jauh. Lebih dekat daripada ke Semarang. Perjalanan hanya ditempuh  3,5 jam (dengan perjalanan udara, tentu saja – red). Kenapa saya tidak ke sana saja, demikian dia memotivasi saya.

Waktu itu baru saja saya merintis usaha kaki lima dengan jualan ayam goreng daerah Kleco, Solo. Ya, pada tahun 1986. Sebelumnya, selama tiga tahun, saya menjalani profesi sebagai guru . Saya mengajar seni rupa di SMA Negeri 1 Blabak, Magelang. Tetapi ternyata kecintaan saya  kepada dunia pendidikan ternyata tidak berkembang. Bahkan saya merasa kurang berbakat jadi guru. Mengajar tidak cocok dengan panggilan jiwa saya.

Di samping itu, terus terang, saya mulai itung-itung, apakah penghasilan sebagai guru yang statis itu kelak bala; mencukupi kebutuhan hidup keluarga saya? Hati kecil saya jadi gelisah.

Saya berpikir, ada benarnya juga kata teman saya itu. Seperti tersugesti, diam-diam saya berusaha mengambil peluang sebagaimana dikatakan teman saya itu. Bahkan dengan risiko apa pun. Perhitungan saya begini: kalau terus berada di Solo rasanya saya jauh lebih sulit berkembang. Maklum Solo adalah kota kecil, dengan persaingan bisnis sangat ketat. Saat itu sudah banyak rumah makan ayam goreng maupun ayam bakar yang sudah tenar. Kalau saya bergerak di bidang yang sama, mungkin saya akan kalah. Apalagi modal saya kecil. Begitu pikir saya waktu itu.

Dengan berbekal uang seadanya, akhirnya saya putuskan untuk berangkat ke Medan. Karena modal tidak cukup, , maka saya berusaha cari modal dulu di Jakarta. Tapi saya berprinsip tidak akan minta-minta ke siapa pun. Nah, kebetulan pada suatu hari saya membaca sebuah pengumuman di koran tentang lowongan menjadi guru di Perguruan Wahidin, Bagansiapiapi, Sumatera Utara.

Pada tahun 1989 saya pun berangkat ke sana. Alhamdulillah, setelah lewat serangkaian tes, saya diterima. Meski saya harus kembali menjadi guru, kali ini saya niati dalam rangka mencari modal. Saya mengajar di perguruan tersebut selama dua tahun, hingga 1991. Di sekolah ini pula saya bertemu Rini Purwanti, istri pertama dan ibu dari tiga anak saya. (Puspo memilik empat istri, dan sering mengampanyekan poligami agar orang, kata dia, tidak tergelincir pada perbuatan zina – red).

Dari hasil kerja selama dua tahun sebagai guru, terkumpullah uang sebanyak Rp2.400.000. Dengan sejumlah uang itu, kami akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Medan, untuk memulai usaha. Usaha kami adalah jualan ayam bakar kaki lima di wilayah Padang Golf Polonia, Medan.

Karena usaha ayam bakar itu berkembang menjadi demikian populer, lalu saya dirikan PT Sarana Bakar Digdaya, sebagai pengelola Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo. Kini (tahun 2003, red) telah berdiri 17 outlet ABWS di berbagai kota besar di Indonesia, yang dikelola dengan sistem waralaba (franchise).

Bersambung

Ditulis bersama Akmal Stanzah (almarhum). Sumber: Majalah Panjimas, 6-19 Februari 2003       

Tentang Penulis

Avatar photo

Asih Arimurti

Wartawan Majalah Panji Masyarakat

Tinggalkan Komentar Anda