Syahdan, Allah bermaksud menurunkan azab kepada kaum Nabi Nuh a.s. yang tak juga mau beriman dan tetap saja bergelimang dengan dosa dan kezaliman, meski tablig telah digelarnya cukup lama. Allah akan mengirim air bah yang mahadahsyat, yang akan menenggelamkan mereka semua, kecuali yang beriman kepada Nabi Nuh. Untuk itu, Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh agar membikin perahu besar untuk menyelamatkan diri bersama keluarga dan kaumnya yang beriman.
Ketika air bah itu akhirnya tiba, naiklah mereka semua yang beriman ke atas perahu. Tapi, anak Nabi Nuh bernama Kana’an tidak mau ikut perahu ayahnya. Ia memilih lari ke puncak gunung bersama orang-orang kafir lainnya yang melecehkan perahu sang Nabi.
“Wahai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah kamu bersama-sama orang-orang yang tidak beriman,” ajak Nabi Nuh.
“Aku akan berlindung ke gunung, yang akan menyelamatkan aku dari air bah,” jawab anaknya ketus.
“Tidak akan ada yang bisa menyelamatkan di hari ini dari ketentuan Allah, kecuali orang yang dikasihi-Nya,” Nabi Nuh tetap mengingatkan.
Dasar koppig, Kana’an tetap tak mengindahkan nasihat ayahnya. Air bah terus meninggi dan me-ninggi, dan terus mengejarnya hingga ke puncak gunung. Anak semata wayang itu pun digulung air bersama istri Nabi Nuh yang juga menyebal.
Orang boleh berusaha, kata orang bijak, tapi Tuhan yang menentukan. Nabi Nuh telah berupa-ya, namun ujung kehidupan anaknya ternyata menyimpang dari skenarionya. Betapa berat ini dirasakan olehnya, seorang utusan yang membawa misi menggiring umat ke jalan Allah. Nabi Nuh dilanda gundah gulana. “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku itu adalah darah dagingku dan bagian dari keluargaku,” demikian beliau bermunajat kepada Allah. Beliau seperti hendak memohonkan ampun buat anaknya itu.
Tidak, kata Allah. “Wahai Nuh, sungguh dia bukan (lagi) termasuk keluargamu karena ia telah berbuat hal yang tidak saleh. Janganlah kamu meminta sesuatu yang kamu tidak cukup tahu tentangnya.”
Cerita Nabi Nuh itu mengingatkan kita bahwa anak dari orang saleh tidak otomatis akan menjadi seperti orangtuanya. Nabi Muhammad s.a.w. pernah memperingatkan putrinya, Fatimah, bahwa jika ia mencuri, beliau akan memotong tangannya. Kesalehan, sebagaimana halnya kemuliaan seseorang, memang tidak diperoleh melalui keturunan tetapi merupakan sesuatu yang harus dicapai.
Dan anak adalah sebuah pergulatan yang mahaberat, sebuah fitnah, sebuah ujian dari Tuhan—untuk menguji kadar kesabaran, kadar keimanan, dan kadar tanggung jawab kita guna mengantar anak ke jalan Allah. “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci,” kata Nabi Muhammad SAW.
Luqman, seorang yang saleh, sangat menyadari tanggung jawab itu. Al-Qur’an telah menjadikannya sebagai teladan tentang orangtua yang baik dan bijak. Tak kurang, Al-Qur’an merekam wejangan-wejangannya kepada anaknya. “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu perbuatan zalim yang besar,” katanya. “Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (orang lain) mengerjakan yang baik, dan cegahlah (mereka) dari perbuatan munkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.”
Begitulah seharusnya orangtua: senantiasa mengarahkan anaknya, terus-menerus. Ia mesti mengamati segala perkembangan anaknya, dan mengingatkannya di mana perlu. Sebuah komunikasi yang intens seharusnya berlangsung antara orangtua dan anaknya—dan-itu selayaknya dilangsungkan dengan bobot kasih sayang. Kata-kata Luqman yang dimulai dengan panggilan “wahai anakku” menyiratkan kemesraan hubungan dan kedekatan hati. Sebuah nilai yang tampaknya sedikit demi sedikit mulai terkikis, tergusur oleh roda-roda kehidupan modern yang kian “ganas” dan kian tak menyisakan waktu. Tapi, justru, keteladanan Luqman itu makin mendapatkan tempatnya yang terhormat di tengah kehidupan modern yang kian kompleks dan makin membendakan manusia, mengikis sisi-sisi kemanusiaannya. Salat sebagai bekal dan nilai-nilai amar makruf nahi munkar rasanya justru semakin relevan kini buat-buat anak-anak yang—di tengah dunia yang kian cepat berubah—bakal menghadapi situasi yang berbeda, tak terbayangkan.
Nabi Ibrahim a.s., sebelum meninggal, menyempatkan diri untuk memberikan wasiat iman kepada anak-anaknya. “Wahai anak-anakku, sungguh Allah telah memilihkan agama untuk kalian. Maka, janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam, ber-serah diri kepada Allah,” katanya.
Nabi Ibrahim memang teladan. Ia adalah contoh tentang orangtua yang sangat paham betapa anak hanyalah titipan. Anak adalah milik Tuhan dan mesti dipersembahkan sepenuhnya untuk (jalan) Allah. Maka, ketika Allah memerintahkannya agar menyembelih anaknya, Ismail, yang sangat disayanginya, yang telah ditunggu-tunggu sejak lama, ia tak ragu untuk melaksanakan perintah itu. Ia merelakannya untuk (diambil) Allah. Subhanallah.
Penulis: Dr. Idris Thaha, M.Si, dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sumber: Panji Masyarakat, 18 Agustus 1997.