Ads
Cakrawala

Perkara Niat

Ditulis oleh Abdul Rahman Mamun

Hampir semua kita yang muslim, barangkali amat akrab dengan kata-kata “perbuatan itu tergantung dari niatnya”, innamaal a’malu binniyyat. Sering kali ada yang menggunakan ungkapan yang sebenarnya potongan hadis ini sebagai bahan berkelit bila suatu kali melakukan sesuatu yang tak semestinya. Hadis Nabi SAW  tentang niat ini dalam sejarahnya bermula dari kisah seorang sahabat yang ketika berhijrah dari Mekah ke Madinah dia bermaksud sekaligus mengawini perempuan yang juga mengikuti hijrah.

Hadis ini diriwayatkan dari Humaidi Abdullah ibn Zubair, dia meriwayatkan dari Sufyan dari Yahya ibn Said Al-Anshari dari Muhammad ibn Ibrahim At-Taimiy, dia mendengar dari Alqamah ibn Waqas Al-Lainiy, dikatakan bahwa dia mendengar Umar ibn Khattab r.a. di atas mimbar mengatakan: Aku mendengar Rasulullah SAW  bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah untuk keuntungan duniawi atau untuk seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya bernilai seperti apa yang dihijrahinya.”

Menurut para ulama hadis, riwayat ini termasuk dalam kategori mutawatir maknawi. Yang meriwayatkannya saja adalah keenam periwayat termasyhur (Al-A’immatus-sittah: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Di beberapa kitab hadis, misalnya dalam Shahih Bukhari, Riyadhus Shalihin sampai kitab kecil Ar-ba’in Nawawiyah (kumpulan 40 hadis) yang biasa diajarkan kepada santri pemula di pesantren, hadis tentang niat tersebut selalu ditempatkan pada halaman pertama atau sebagai hadis dengan nomor urut satu.

Tak salah memang kalau niat itu dianggap hal yang paling penting. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibn Hanbal menyebutnya, “niat merupakan sepertiga ilmu”. Para ulama fikih bahkan selalu menempatkan niat sebagai rukun pertama dalam setiap ibadah. Secara khusus Imam Syafi’i menyatakan bahwa persoalan niat tersebut terkait dengan 70 bab fikih. Ini berarti bila tanpa niat yang benar maka ke-70 bab fikih yang dikerjakan itu menjadi tidak sah.

Niat itu letaknya di dalam hati, meski untuk ibadah tertentu ada yang dianjurkan untuk diucapkan. Secara bahasa bisa diartikan sebagai al-qasdu (maksud), al-‘azimah (keinginan), al-iradah (kehendak), al-himmah (keinginan kuat, semacam cita-cita). Sedangkan syarah penjelasan hadis tersebut dalam konteks fikih, innamal a’malu binniyyat memang dimaknai sebagai innama tashihhul a’malu biniyyat, sesungguhnya sahnya suatu amal bergantung kepada niatnya. Meski begitu bukan berarti bahwa niat ini dimaksudkan hanya untuk ibadah mahdhah, seperti salat dan puasa. Namun niat juga amat menentukan bagi keabsahan beberapa jenis muamalah dalam hubungan antar manusia. Contohnya, kalau kita menikah, mewakafkan sesuatu, atau menghibahkannya, menuntut ilmu atau mengajarkannya.

Dituturkan oleh Jalaluddin As-Suyuti, ulama fikih kenamaan di masa lalu, bahwa fungsi niat itu ada empat. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dan amal adat sehari-hari. Kedua, untuk membedakan kualitas sebagian ibadah dan ibadah lainnya. Ketiga, untuk membedakan antara ibadah mahdhah (khusus) dan ibadah ghairu mahdhah (umum). Dan keempat, untuk membedakan apakah perbuatan itu dilaksanakan semata-mata karena Allah SWT  atau tidak.

Pada yang terakhir inilah fungsi niat bisa menjadikan segala aspek kehidupan yang melingkupi hidup kita dari pagi hingga pagi kembali menjadi bernilai ibadah, bahkan untuk amal yang tergolong mubah dan sehari-hari pun seperti makan, minum, berpakaian, sampai tidur. Atau bekerja mencari rezeki dalam berbagai profesi, meraih karier, bertransaksi, belanja. Juga niat dalam berpolitik.

Seorang sahabat, Sa’ad ibn Abi Waqqash r.a. mengisahkan, “Suatu ketika saya menderita sakit keras pada waktu melaksanakan haji wada’. Kemudian Rasulullah SAW  datang berbesuk ke tempatku. Saya bertanya, “Ya Rasulullah, penyakitku ini agak berat, dan saya seorang berharta, sementara ahli warisku tidak ada kecuali seorang putriku. Bolehkah aku sedekahkan dua per tiga duri hartaku?” Nabi menjawab, “Tidak.” Saya tanya lagi, “Separo?” “Tidak!” jawab beliau lagi. Saya bertanya lagi, “Sepertiga ya Rasulullah?” Rasulullah SAW  mengatakan, “Sepertiga itu cukup banyak dan besar. Sesungguhnya jika kau meninggalkan ahli warismu kaya-kaya, lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka miskin, sehingga terpaksa meminta-minta kepada orang lain. Dan sesungguhnya tidaklah kamu membelanjakan hartamu dan kauniatkan untuk keridhaan Allah SWT, kecuali pasti kamu mendapat pahala dari-Nya, bahkan belanja yang kamu berikan untuk istrimu.”…(HR Bukhari, Muslim)

Apa yang disebutkan dalam kisah Sa’ad ini menunjukkan bahwa amal perbuatan yang biasa saja, seperti belanja untuk anak, istri, bahkan dalam perkembangannya bisa meraih karier di kantor atau pekerjaan apa pun, bila diniatkan untuk meraih keridhaan Allah SWT  maka tentu akan bernilai ibadah pula. Di sinilah makna ikhlas itu sesungguhnya memiliki keterkaitan erat dengan sebuah niat.

Sumber: Panji Masyarakat, 2 Juni 1997

Tentang Penulis

Abdul Rahman Mamun

Penulis, dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina dan communication strategist. Komisioner dan Ketua KIP (Komisi Informasi Pusat) RI periode 2009-2013. Meraih gelar S2 Magister Ilmu Politik di FISIP UI sebagai Lulusan Terbaik. Lulus S1 Teknik Sipil UGM dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mengawali karir sebagai wartawan dan Redaktur Pelaksana Majalah Panji Masyarakat, jurnalis MetroTV dan producer ANTV, menjadi CEO Magnitude Indonesia, konsultan keterbukaan informasi dan strategi komunikasi, Direktur Utama dan Wakil Pemimpin Umum Panji Masyarakat. Menulis buku, artikel media, jurnal ilmiah dan pembicara di berbagai forum.

Tinggalkan Komentar Anda