Ads
Muzakarah

Di Sekitar Nikah Siri

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Saudari Rani Trisnawati, mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung, mengaku bingung melihat beberapa teman baiknya melakukan nikah siri, nikah secara diam-diam. Dia bertanya, apakah nikah siri dibenarkan dalam Islam? Bukankah  nikah seperti itu umumnya tidak menggunakan wali orang tua? Lalu, tanya dia, betulkah kita masih memerlukan wali orang tua walau kita sudah dewasa? Tetapi bukankah nikah siri justru akan merugikan, terutama bagi pihak perempuan?

Jawaban A. Faruq Nasution

Saudari Rani. Kebetulan kami mempunyai catatan tentang masalah kawin siri di beberapa tempat. Lengkap dengan latar belakang, mengapa hal itu sampai dilakukan. Masalahnya tidak sederhana karena pelakunya kebanyakan pelajar atau mahasiswa.

Tapi, sebelumnya, mari kita eja dari segi etimologi bahasa, apa yang dimaksud dengan kawin siri. Siri ber-asal dari kata Arab sirriyun (biasanya dibaca sirri). Artinya, ‘bersifat rahasia’, atau ‘tersembunyi’. Mengapa rahasia? Ya, lantaran pernikahan itu dilangsungkan secara tidak menurut adat yang berlaku, atau tidak menurut hukum negara. Dalam ungkapan lain disebut “perkawinan bawah tangan”.

Ada berbagai motivasi yang melatari dipilihnya perkawinan secara demikian. Misalnya ada keinginan dari seorang suami untuk mempunyai istri kedua, sementara ia tidak memiliki cukup persyaratan seperti yang diatur dalam perundang-undangan kita (Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974).

Di kalangan pelajar atau mahasiswa, menurut catatan kami, perkawinan itu dipilih dengan maksud baik: agar mereka terhindar dari dosa. Jika mereka meneruskan hubungan mereka dengan pacaran, mereka tentu terlibat dalam dosa. Sekurang-kurangnya mereka bakal terjerumus ke dalam zina mata (saling memandang dengan mesra), zina tangan (saat berpegangan), atau zina anggota tubuh lainnya, meski tidak sampai zina benar-benar.

Mereka tidak menempuh jenjang pernikahan yang lazim karena mereka tidak memiliki cukup biaya untuk itu. Atau mereka khawatir, sekolah atau kuliah mereka bisa terganggu. Alhasil, sebagai siswa atau mahasiswa mereka belum siap untuk hidup serumah dengan segala risikonya.

Pertimbangan inilah yang dijadikan alasan oleh sebagian mahasiswa dan pelajar kita yang melakukan nikah siri, melalui ijab (kabul) dari wali perempuan serta saksi-saksi yang memenuhi syarat, sebagaimana layaknya  dalam perkawinan yang sah menurut agama Islam.

Namun demikian, mereka tidak hidup serumah seperti layaknya suami-istri. Mereka masih tinggal secara terpisah di tempat tinggal masing-masing, dan bertemu dalam waktu-waktu tertentu. Itu pun belum tentu mereka memiliki keberanian untuk melakukan hubungan badan karena dikhawatirkan hal itu akan menambah beban dalam masa-masa belajar mereka. Terobosan seperti ini dianggap “ideal” untuk sementara agar mereka terhindar dari dosa selama berpacaran.

Tetapi, ada juga di antara pelaku nikah siri hidup seperti laiknya suami-istri. Mereka tidak menempuh prosedur perundang-undangan karena mereka khawatir perbuatan mereka diketahui orang lain, lalu mereka di-tuntut menjalani perkawinan resmi  yang dipestakan. Mengingat biaya yang belum memadai untuk perkawinan resmi seperti itu, maka mereka menikah secara diam-diam, alias sirri. Kemudian, ketika sudah merasa mampu mengadakan walimah (peresmian di muka umum), barulah mereka mengurus administrasi perkawinan me-reka menurut perundang-undangan.

Ada lagi kasus lain, yaitu ketika orang tua calon pengantin perempuan tidak mau menjadi wali, lalu ia me-wakilkan pada orang lain di tempat si anak berada. Tapi, tak jarang pula calon pengantin wanita menunjuk modin (pembantu Kantor Urusan Agama atau KUA) sebagai walinya.

Menurut saya, perkawinan seperti itu, setidaknya, kabur hukumnya (syubhat)—antara halal dan haram. Se-hubungan dengan itu, saya kutipkan hadis Rasulullah SAW.: Wa man yarta’ haulal hima yusyaku an yaqa’ a fthi (Barangsiapa yang bermain di sekitar daerah larangan, dikhawatirkan ia masuk ke dalamnya). Jadi, demikian beliau menitahkan, orang sebaiknya menghindari perkara syubhat, agar tidak terjerumus ke dalam perkara haram.

Dari kacamata hukum dan pedagogi, wali orang tua itu wajib dalam suatu perkawinan yang sah. Sebab pada saat itulah terjadi peristiwa besar dalam sejarah orang tua, yakni menyerahkan anak yang dibesarkannya sela-ma ini kepada orang lain. Memang betul, seperti disinggung Rani, anak yang beranjak dewasa tidak selamanya menggantungkan masalahnya kepada orang tua. Namun, itu tidak berarti orang tua tidak boleh campur tangan lagi dalam soal perkawinannya.

Dalam banyak hal, perkawinan siri memang merugikan kedua belah pihak, khususnya pihak perempuan. Se-bab, jika muncul masalah menyangkut hak-hak perkawinan, hal itu tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan karena tidak melalui perkawinan yang sah menurut undang-undang. Karena itulah, sebaiknya perkawinan semacam itu dihindari sejauh mungkin.

Walimah alias resepsi memang sunah, tapi ia menyimpan banyak hikmah, seperti di-jelaskan dalam kitab-kitab fikih. Antara lain agar pernikahan diketahui tetangga dan handai tolan terdekat, sehingga jika mereka terlihat berduaan atau hidup serumah, tidak timbul prasangka negatif lagi.

Jawaban Redaksi Panji

Untuk lebih memperjelas persoalan nikah siri, ada bagusnya kita menyinggung masalah saksi yang, dalam pandangan Islam, merupakan hal serius dalam perkara ini. Persaksian .juga berguna sebagai tameng bagi hak-hak anak. Dengan adanya saksi-saksi, seorang suami tidak bisa mengelak dari tanggung jawab dengan, misalnya, mengingkari  anak yang lahir dari rahim istrinya.

Hukum Islam mengggariskan, pernikahan tidak sah tanpa kehadiran dua orang saksi yang terpercaya, adil. Dalam hal ini seluruh ulama bersatu pendapat: persaksian  dua orang yang terpercaya merupakan syarat sahnya nikah. Sebuah hadis Imam Ad-Daruquthni dari Aisyah mengatakan: “La budda fin-nikahi min arba’ ah: al-wali, wazzaujy, wasy-syahidain”. Dalam suatu pernikahan, tidak boleh tidak mesti ada empat pihak: wali, suami, dan dua orang saksi.

Bahkan, menurut mazhab Maliki, jika diembeli-embeli dengan suatu pesan dari suami kepada para saksi agar merahasiakan pernikahannya kepada orang lain (mereka menyebut ini nikah siri), maka perkawinan itu batal (fasakh) sebagai talak ba’in (tanpa idah) manakala pasangan itu sampai berhubungan sebadan.

Yang agak lain adalah Hanbali. Menurut mazhab ini, akad yang diembeli-embeli pesan kepada para saksi untuk merahasiakannya tidak batal. Hanya makruh saja.

Maliki dan Hanafi juga bersilang pendapat mengenai kapan kesaksian diberikan. Hanafi, dan sebagian besar ulama lain, berpendapat bahwa para saksi harus hadir sewaktu akad nikah berlangsung. Dasarnya: kesaksian adalah syarat sah dari rukun, dalam hal ini akad. Di samping itu, hadis Nabi yang berarti “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi adil” pada lahirnya menghendaki bahwa kedua saksi (dan wali) itu hadir saat ber-langsungnya akad. Sedang mazhab Maliki membolehkan kesaksian diberikan se-saat setelah akad nikah dan sebelum pasangan itu melakukan persebadanan.  Alasannya: kesaksian adalah syarat sah nikah. Alhasil, kesaksian saat akad nikah tidak harus ada, melainkan sunah saja.

Seperti halnya kesaksian,  perwalian juga merupakan syarat bagi sahnya nikah. Hadis-hadis yang telah di-sebut di atas menegas-kan hal itu. Di samping itu, Nabi secara lebih gamblang juga pernah bersabda, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, batal, batal.” Lihatlah, Nabi bahkan merasa perlu mengulang kata batal hingga tiga kali. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan firman Allah yang artinya “… maka janganlah kalian (para wali) mencegah mereka (para wanita) untuk menikah dengan suami-suami mereka”. Jadi, kata Imam Syafi i, kalaulah izin wali tidak diperlukan, maka pencegahannya tidak punya arti apa-apa. Pandangan ini dipegang oleh sebagian besar ulama.

Tapi, lain pula pendapat Hanafi. Menurut mazhab ini, perwalian bukan syarat sah nikah, melainkan anjuran saja. Untuk ini mereka mengajukan tiga ayat sebagai dasar, yaitu “Jika ia (suami) menalaknya (untuk yang ketiga kali), maka ia tidak halal baginya sampai ia menikahi suami lain”; “Dan jika kalian menalak para wanita (istri-istri kalian), kemudian tibalah mereka pada masa (akhir idah) mereka, maka janganlah kalian mencegah mereka untuk menikahi suami mereka”; dan “Maka jika mereka sampai ke masa (akhir idah) mereka, tidak ada dosa (beban) atas kalian tentang apa yang mereka perbuat dengan makruf”.  Ternyata, pada ketiga ayat ini wanita dijadikan sebagai subjek. Lantas bagaimana dengan persoalan “pencegahan wali”, seperti disebut pada ayat kedua? Ayat ini tidak berbicara kepada wali, tapi kepada suami, demikian mazhab Hanafi berargumentasi. Dengan begitu, yang dilarang mencegah “wanita untuk menikahi lelaki lain” bukan wali, tapi suami.

Ada juga hadis yang diajukan Hanafi untuk memperkuat pendapat mereka. “Janda lebih berhak ataS dirinya ketimbang walinya. Perawan dimintai izin. Jika ia mem-bisu, itu artinya ia setuju,” demikian Nabi pernah bersabda.

Sampai di sini, muncul soal: bagaimana dengan hadis yang menegaskan bahwa “tidak ada nikah, kecuali dengan  wali …”? Hanafi punya jawaban. Kata mereka, yang dimaksud oleh hadis itu bukan “tidak ada nikah yang sah menurut syariat kecuali dengan wali”, melainkan “tidak ada nikah yang sempurna kecuali dengan wali”.

Dengan demikian, seorang wanita, baik janda mau-pun perawan, berhak untuk menikahkan dirinya sendiri, dengan atau tanpa izin serta kehadiran wali. Sebaliknya, seorang wali tidak berhak menikahkan anak perempuannya tanpa izin dari yang bersangkutan. Hanya saja, karena umumnya wanita perawan malu untuk berterus terang dalam soal perkawinan (terutama di masa silam), maka diam mereka cukup sebagai pertanda lampu hijau.

Toh, masih menurut mazhab Hanafi, ada juga kasus ketika seorang wali bisa memaksa kawin wanita yang berada di bawah perwaliannya. Yakni jika sang wanita masih di bawah umur (meski telah menjadi janda), idiot, gila, atau jadi budak. Khusus untuk wanita-wanita ini, perwalian harus ada.

Sekarang, marilah kita beralih pada persoalan: siapa yang berhak menjadi wali. Dalam hal ini, para ulama mazhab memiliki bagan sendiri-sendiri (terlalu panjang untuk dipaparkan di sini). Namun yang pasti, mereka sepakat bahwa keluarga istri, terutama ayah dan kakek, merupakan prioritas untuk jadi saksi. Barulah kalau mereka tidak ada, maka boleh kita menggunakan wali di luar keluarga, dalam hal ini hakim atau sultan (atau pejabat pemerintah yang berwenang, misalnya kepala KUA). “Sultan (penguasa) adalah wali bagi (wanita) yang tidak punya wali,” demikian Nabi bersabda.

Sumber: Panji Masyarakat, 16 Juni 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading