Bintang Zaman

Dzun Nun Al-Mishri (2):  Kimiawan yang Sufi

Written by Panji Masyarakat

Dzun Nun Al-Mishri adalah sufi kedua tertua dalam sejarah Islam sesudah sufi wanita Rabi’ah Al-Adawiyah. Namur, ia juga seorang ahli kimia dan ulama hadis, paduan yang benar-benar langka. Diketahui sebagai orang yang memperkenalkan teori makrifah, Dzun Nun termasuk sufi dari masa ketika tasawuf belum (terlalu jauh) menciptakan berbagai “penyimpangan”, dibanding misalnya di zaman Ghazali. Berikut ini bagian ke-2 tulisan Asep Usman Ismail.

Teori Makrifah

Dalam tasawuf, Dzun Nun memperkenalkan teori makrifah. Secara bahasa ma’rifah berarti ‘mengenal’. Namun yang dimaksudkan dengan ma’rifah dalam tasawuf tiada lain ‘melihat’ Tuhan, dengan mata hati, bukan mata kepala. Seseorang yang perjalanan spiritualnya sudah mencapai tingkat makrifah disebut dengan ‘arif, dalam bentuk tunggal, dan ‘arifin dalam bentuk jamak. Menurut Dzun Nun, kemampuan ma’rifatullah, mengenal Allah, adalah semata-mata karunia Allah yang diberikan kepada seseorang yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai-Nya. Karena kesucian hatinya, Allah menyingkapkan hijab dari pandangannya, dan dapatlah dia menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke dalam kalbunya hingga melihat keindahan-Nya yang azali. Dzun Nun, ditanya bagaimana ia mencapai makrifatullah, menjawab; “Aku melihat dan mengenal Tuhan dengan Tuhan. Sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak dapat melihat dan mengenal Tuhan.”

Dzun Nun membagi makrifah atau pengetahuan tentang Tuhan ke dalam tiga tingkatan. Pertama, pengetahuan awam, yang hanya mengenal Tuhan secara taklid, terbatas pada pengucapan dua kalimat syahadat. Kedua, pengetahuan orang berilmu, yang mengenal Tuhan dengan penalaran, logika, dan dalil-dalii ilmiah. Ketiga, pengetahuan sufi, yang mengenal Tuhan melalui hati.

Pengetahuan ketuhanan yang dicari para filosof bercorak rasional, sedangkan yang dicari para sufi adalah pengetahuan melalui kesaksian batin. Sorang filosof mencari ‘ilmul yaqin, seorang sufi mencari ‘ainul yaqin. Sang filosof menggunakan rasio, sedangkan si sufi menggunakan seluruh potensi rohaniahnya untuk sampai kepada substansi, esensi, dan hakikat. Seorang sufi ingin menyatukan dirinya dengan Tuhan seperti menyatunya setetes air dalam samudera. Sungguhpun demikian, sufi mana pun tidak mungkin memperoleh makrifah secara penuh, karena manusia bersifal finite, terbatas, sementara Tuhan infinite. Al-Junaid, sufi besar yang lain, yang juga pengikut mazhab fikih Abu Tsaur, wafat 60 tahun sesudah Dzun Nun di Bagdad, membuat tamsil: “Cangkir teh tidak akan dapat menampung seluruh air yang berada di laut.”

Ada tiga media di dalam diri manusia, kata Dzun Nun, yang dapat digunakan untuk mengenal Tuhan: qalb (kalbu, hati), ruh, dan sirr. Kalbu untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan; ruh untuk mencintai Tuhan; dan sirr (secara bahasa berarti ‘rahasia’, bagian paling dalam dari kalbu) untuk mengenal dan melihat Tuhan. Sirr inilah yang dapat menerima iluminasi, pancaran cahaya, dari Tuhan, ketika sirr telah dibebaskan dari berbagai kotoran.

Al-Ghazali mengembangkan lebih lanjut. Ghazali, hidup tiga setengah abad di belakang Dzun Nun, menggambarkan sirr sebagai daya terpeka dalam kalbu kita. Daya akan keluar setelah seseorang berhasil menyucikan kalbunya demikian rupa. Dalam pengertian kaum sufi, kalbu tidak berbeda dengan cermin. Jika senantiasa dibersihkan dan digosok, cermin akan mempunyai daya tangkap yang besar. Untuk kalbu, penyucian itu dilakukan dengan zikir dan berbagai ibadah sunah, sampai akhirnya dapat menangkap cahaya nur cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sang sufi sudah tenggelam dalam cahaya Tuhan dan dengan sendirinya dapat melihat rahasia Tuhan. Sebab itu, Ghazali mengartikan mairifatullah itu sebagai: “Melihat rahasia-rahasia Tuhan dengan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.”

Memang, bagi mereka yang menolak segala spekulasi tasawuf, seperti Ibn Taimiah, yang hanya bisa menerima praktek-praktek keagamaan yang jelas dasar-nya dari Al-Qur’an dan Sunah, dan yang hidup dalam kesalihan yang tidak kurang keras dan kekhusyukan yang tidak kurang teguh dibanding kaum sufi, kata-kata seperti dari Ghazali itu akan terdengar tak lebih dari kesombongan. Namun, biarlah masing-masing dalam posisinya.

Orang yang sudah mencapai makrifah, demikian Dzun Nun Al-Mishri, akan bersama Tuhan dalam setiap keadaan. Kesadarannya tentang kehadiran Tuhan tidak hanya dalam keadaan tertentu. Dengan ungkapan lain, Abu Yazid Al-Busthami, meninggal di waktu hampir sama dengan Al-Kindi, 24 tahun sesudah Dzun Nun, ketika ditanya tentang hubungan seorang ‘arif billah (yang “mengenal” Allah) dengan Tuhannya memberi penjelasan dengan sebuah tamsil:

“Warna air,” katanya, “mengikuti warna bejana. Jika engkau menuangkan air ke dalam bejana putih, engkau akan mengatakan air putih. Jika engkau menuangkannya ke tempat berwarna hitam, engkau akan mengatakan air berwarna hitam. Demikian juga kuning, merah, dan seterusnya. ‘Keadaan’ (ahwal) senantiasa mengubah warna air.” Dengan kata lain, pengalaman orang, dalam pengenalan tentang Tuhan, akan senantiasa berbeda. Namun, dengan segala syarat di atas, ia akan sealalu melihat penampakan (mazhar) Tuhan, kapan dan di mana saja.

Perjalanan akhir

Doa para sufi terkenal panjang dan puitis. Tak terkecuali doa Dzun Nun Al-Mishri. Menurut Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam Hilyatul-Aulia wa Thabaqatul-Ashfia, doa-doa sufi terasa indah dan menyentuh hati seperti sebuah renungan. Salah satu doa sufi yang ahli kimia ini:

“Tuhanku, media yang menjadikan aku sampai kepada-Mu adalah segala nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku. Sedangkan yang menyertaiku dalam perjalanan kepada-Mu adalah kebaikan-Mu kepadaku. Tuhanku, di tempat ramai aku memanggil-Mu ‘tuhanku’; di tempat sunyi, ketika aku dalam sendiri, aku memanggilmu ‘kekasih’. Aku sangat merindukan-Mu, seraya aku menyaksikan rububiyah-Mu. Hanya kepada-Mu aku menuju Kekasihku, bimbinglah aku ke jalan yang mendekatkanku kepada-Mu. Jika aku memanggil-Mu, perkenankanlah panggilanku. Jika aku memohon kepada-Mu, kabulkanlah permohonanku. Jika aku memuji kebesaran-Mu, terimalah pujianku. Jika aku bersyukur kepada-Mu, tambahkanlah kepadaku. Tuhanku, betapa banyak nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku…. Pemberian siapa lagi yang kiranya pantas aku syukuri …?”

Jenazah Dzun Nun, ketika ia wafat, urung diangkut melalui jalan darat. Dikhawatirkan jembatan yang akan dilewati para pengantar orang alim ini bakal roboh. Jadi, bukan hanya karena harus menyeberang ke pulau di tengah sungai, tempat mayat akan dimakamkan. Tapi sejak semula, melihat bukan main melimpahnya jumlah pelayat, jenazah dibawa dengan perahu. Sebuah perjalanan yang dekat saja, tampaknya. Padahal jauh, sangat jauh. 

Penulis: Prof. Dr. Asep Usman Ismail, Guru Besar Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Catatan Redaksi: Asep menulis artikel ini  sewaktu menjadi mahasiswa Program Pascasarjana lAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta). Sumber: Panji Masyarakat,  28 April 1997.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda