Ads
Cakrawala

Abu Nawas dan Songkok Wasiat

Avatar photo
Ditulis oleh Hamid Ahmad

Tuhanku, tiada diriku layak sebagai penduduk sorga

Sedang terhadap api neraka aku tak kuasa

Begitulah Abu Nawas, penyair kuno yang kocak. Bahkan dalam doa-doanya.

Abu Nawas, di kalangan kaum santri, adalah legenda—atau mendekati itu. Begitu banyak anekdot dan cerita humor tentang humoris ini. Sampai-sampai, segala yang berbau lelucon dinisbatkan kepadanya. Orang pun jadi sulit menyortir: mana yang betul-betul dari dia, mana yang disusupkan.

Abu Nawas (yang persis: Abu Nuwas) bukan tokoh fiktif. Bukan aktor kisah 1001 Malam. Nama lengkapnya Abu Nuwas Al-Hasan ibn Hani Al-Hakami. Lahir di Ahwaz, Iran Barat, wilayah yang banyak dihuni keturunan Arab, anak pasangan serdadu Khalifah Malik ibn Marwan dan wanita Persia pencuci kain wol ini sejatinya seorang ulama yang menguasai banyak ilmu agama, selain penyair istana di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid. Syair-syairnya terdapat dalam berbagai manuskrip yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bordeaux (?), selain-di Mosul (Maushil), Irak, lantas semuanya dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas. Antologi (diwan) itu telah diterbitkan di berbagai kota Eropa, Asia, dan Timur Tengah.

Di samping syair-syair pujian, satire, dan kehidupan tasawuf, ia juga menggubah syair-syair lelucon, cinta, dan wanita. Di masa uzurnya meninggalkan kesenangan duniawi dan hidup zuhud.

Kata sahibul hikayat, menghadaplah ia ke Khalifah pada suatu hari. Ceritanya untuk ikut sumbang saran mengatasi kesulitan yang sedang melilit negara. Saat itu kemungkaran merajalela, meski Khalifah sendiri, ia  tahu, orang baik. Seperti biasa, ulama yang dikenal cerdik ini saat masuk Istana mengenakan pakaian kumal, tak ubahnya dengan kebanyakan kaum sufi. Karena dianggap tak senonoh untuk sebuah sidang dewan menteri, Khalifah memerintahkan laki-laki dekil ini ber-ganti baju.

Jadi, ketika masuk ke rang sidang, Abu Nawas tampil necis. Tapi bukan karena itu bila para peserta sidang, termasuk Khalifah, terkesima. Itu lho, songkok butut-bau si Abu, kok masih saja bertengger di kepalanya.

“Eh, mengapa songkokmu belum kautukar?” tanya Harun Ar-Rasyid.

“Maaf, ini bukan sembarang songkok. Yang Mulia bisa melihat sorga di sini,” jawabnya.

Lelucon apa pula itu? Masa, surga bisa dilihat di songkok? Demikian kira-kira pikir Khalifah.

“Betulkah?” tanya Baginda.

“Betul, Paduka. Tapi, ya, tentu saja tidak sembarang orang bisa melihatnya. Hanya mereka yang benar-benar jujur. Sedangkan mereka yang punya sifat khianat, jangan berharap.”

Khalifah lalu berpaling ke arah seorang menterinya yang bernama Abbas, yang dia kenal jujur.

“Menteri Abbas, coba lihat, betulkah ada surga di songkok itu.” Abbas sebenarnya tipikal menteri ABS (asal bapak senang). Suka menjilat. Jadi, bisa ditebak barangkali, apa sebenarnya yang berkecamuk di benak menteri yang hanya penampakan luarnya saja—terutama di depan Raja—yang jujur. Bagaimana kalau is tidak bisa melihat surga di songkok wasiat itu? Belangnya bisa ketahuan.

Tentu saja ia tidak melihat apa-apa—wong tidak ada apa-apa. Yang ada hanya daki yang tebal. Abbas mulai ketakutan. “Bagaimana?” tanya Khalifah. Apa boleh buat. Ia terpaksa berbohong. “Benar, Khalifah. Surga yang indah, bidadari yang cantik-cantik,” ujarnya, sembari menyodorkan kembali songkok yang apak itu ke pemiliknya.

Bukan main takjubnya Khalifah. Ia lantas memerintahkan menteri lainnya untuk membuktikan kebenaran ucapan Abu Nawas. Kali ini giliran Menteri Harun. Celakanya, is juga bukan menteri yang jujur. Makanya ketakutan segera menggerayangi tubuhnya.

Seperti halnya Abbas, is tak melihat apa-apa. Wah, kalau Abbas bisa melihat sorga, dan aku tidak, bagaimana? begitu is berpikir. Sejurus kemudian, menteri yang juga pandai berakting ini segera memperlihatkan  wajah kagum, melawan gejolak hatinya: “Masya Allah, jannatun na’im, jannatul firdaus (surga kenikmatan, surga Firdaus), betul-betul tempat yang indah, rindang, dengan sungai-sungai mengalir di bawahnya.”

Maka, sidang kabinet hari itu berubah agenda. Satu per satu menteri dipergilirkan untuk melihat itu songkok nan wasiat, dan semuanya “melihat sorga”. Bukan main.

Tetapi sekarang Khalifah yang penasaran. Diambilnya songkok itu. Dibalik-balik. Lho, mana? Apanya yang ajaib? Kok tidak ada apa-apa. Tapi mengapa menteri-menteri itu katanya melihat surga? Apakah ia, Harun Ar-Rasyid, khalifah Abbasiah termegah, sebenar-nya hanya seorang laki-laki yang culas? Tidak. Is merasa dirinya bersih dan selalu berusaha menegakkan keadilan semaksimal mungkin.

Pandangannya beralih kepada Abu Nawas, sang empunya. “Abu Nawas. Menteri-menteriku melihat surga dalam songkokmu ini. Kok aku tidak, ya? Apa benar aku ini seorang pengkhianat, sedangkan mereka orang-orang jujur?”

Abu Nawas berdiri. “Wahai, Sultan yang adil dan bijaksana. Pantas negeri ini melarat dan sering sekali dililit masalah. Ternyata para menteri Paduka, maaf, orang-orang culas, dan penjilat. Mereka mengaku melihat sorga dalam songkok saya. Padahal tidak ada apa-apa. Mereka takut pada bayangan sendiri. Mereka takut kesalahan mereka Paduka ketahui.” Kata-kata Abu Nawas mengalir lancar, dan tegap. Kata-kata ulama, yang bukan hanya humoris.

Cerita itu, Saudara, dan moral yang dikandungnya, tetap hidup.■

Sumber: Panji Masyarakat, 11 Agustus 1997

Tentang Penulis

Avatar photo

Hamid Ahmad

Redaktur Panji Masyarakat (1997-2001). Sebelumnya wartawan Harian Pelita dan Harian Republika. Kini penulis lepas dan tinggal di Pasuruan, Jawa Timur.

Tinggalkan Komentar Anda