Ads
Relung

Dominasi Nonpri

red blue yellow and white sky lantern lot
Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Apa jadinya jika akumulasi aset produktif berhadapan dengan dendam yang memuncak?

Banyak orang tidak percaya bahwa berbagai kerusuhan yang terjadi belakangan ini tidak ada hubungannya dengan sikap anti-Cina. Etnis minoritas (diperkirakan 3% dari sekitar 192 juta jumlah penduduk Indonesia yang sebenarnya heterogen, baik dari sudut budaya, ekonomi, maupun politik, tapi sering dianggap homogen) itu memang identik dengan kelompok masyarakat yang mendominasi perekonomian lndonesia. Dari situ pula muncul apa yang dikenal dengan masalah pri dan nonpri.

Itu memang masalah lama, sejak pemerintah kolonial Hindia Belanda memasukkan keturunan Cina ke dalam golongan Vreemde Oosterlingen (VO) atau Timur Asing (orang yang bukan Eropa dan bukan golongan Bumiputra)  dan memberikan peranan penting di bidang industri dan perdagangan. Keadaan ini terus berlangsung sampai zaman Orde Baru, meski kini telah lahir wirausahawan pribumi seperti Aburizal Bakrie atau Arifin Panigoro. Seorang pengamat ekonomi-politik menyebut bahwa penguasaan sumber-sumber produksi oleh kelompok Cina sebagai dominasi yang janggal, yang telah begitu rupa mengakar, ketika orang sering berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, kenaikan pendapatan per kapita, dan kenaikan peran sektor industri melebihi sektor pertanian. Untuk itu, katanya, semacam politik Benteng tahun 1950-an bisa diusulkan dalam GBHN, dengan acuan bahwa upaya penegakan keadilan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kukhbnya pengusaha pribumi. Sebagai kompensasi, golongan Cina diberi peluang untuk bergiat di bidang sosial-politik. Bukankah dulu, di zaman Bung Karno, ada orang-orang Cina yang duduk di dalam kabinet? 

Karena itu, meski kita tengah siap-siap menghadapi era perdagangan bebas yang menolak segala bentuk proteksi karena berlawanan dengan prinsip nondiskriminasi, tulisan Bung Hatta di majalah Star Weekly pada Januari 1957 masih terasa relevan bagi upaya pengukuhan usaha pribumi tadi. Petikannya: “Tatkala kedaulatan dipulihkan kepada bangsa Indonesia, sebagian dari Tionghoa menjadi warga negara, sebagian memilih kewarganegaraan “Tiongkok. Tetapi di dalam pergaulan sehari-hari tidak begitu kentara di mata rakyat, mana yang sini mana yang sana. Yang kentara cuma kedudukan ekonomi golongan Tionghoa iebih kuat dari sedia kala. Masalah ini bisa diatasi dengan politik perekonomian yang tegas yang ujudnya menaikkan ekonomi rakyat yatig lemah sampai ke tingkat perekonomian golongan yang telah maju.” 

Ada kekhawatiran yang mendalam, jika masaIah dominasi ekonomi di tangan nonpri tidak diimbangi dengan upaya memperkuat pengusaba pribumi, hal itu akan mengancam kesatuan bangsa. Apa pun bisa dilakukan untuk sebuah dendam yang menumpuk. Sasarannya tentu bukan para taipan yang punya aset triliunan, melainkan orang-orang Cina dari golongan pengusaha menengah ke bawah, seperti yang terjadi di Tasikmalaya, Rengasdengklok, atau Pekalongan. 

(Catatan Redaksi: Sekarang istilah nonpri lebih populer dengan sebutan Aseng, yang tak lain merujuk kepada etnis Cina yang menguasai perekonomian negeri ini)   ■ 

Sumber: Panji Masyarakat, 19 Mei 1997

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda