Ads
Adab Rasul

Tiga Amsal tentang Petunjuk dan Ilmu

library photo
Ditulis oleh Panji Masyarakat

“Amsal bagi petunjuk dan ilmu, yang disampaikan Allah dengan mengutus aku,” demikian sabda Nabi, “adalah hujan deras yang mengenai bumi. Di antara bagian-bagian bumi ada tanah yang subur, yang menerima air dan menumbuhkan sayur-mayur dan rumput yang banyak. Yang lain, tanah yang keras, tandus, yang memegang air, dan dijadikan Allah sumber manfaat manusia; mereka minum, menyiram, menanam. Tetapi hujan juga menimpa bagian lain, dan itulah tanah datar yang tidak menyimpan air dan tidak menumbuhkan sayuran. Itulah amsal orang yang memahami agama Allah: apa yang diturunkan-Nya, dengan mengutus aku, bermanfaat baginya. Maka ia pun tahu dan mengajarkan. Dan amsal orang yang tidak mendongakkan kepalanya untuk itu, dan tidak menampung petunjuk Allah yang diutuskan kepadaku.”

Mari, sekali-sekali kita melihat diskusi para transmiter hadis. Hadis ini diriwayatkan Bukhari (dari sumber pangkal Abu Musa Al-Asy’ari r.a.). Lalu Bukhari memberi catatan di bawahnya, dengan mengangkut bandingan dari versi imam lain, Ishaq ibn Rahawaih. Versi itu berbunyi: “Ada bagian tanah yang meminum air, tanah datar yang hanya dilewati air; adapun shafshaf adalah tanah yang sama sekali rata”.

Itu dimaksudkan, tentunya, sebagai sabda Nabi yang mengangkut ketiga amsal. Tetapi, seperti juga dikatakan Al-Ashili, yang benar versi Bukhari. Untuk amsal pertama, versi Bukhari berbunyi: “Ada tanah yang subur, yang menerima air dan menumbuhkan sayur-mayur dan rumput yang banyak”. Tidak ada “meminum air” di situ. Kekeliruan Ishaq, katanya, bermula dari ketika ia memindahkan kata qabila (menerima) menjadi qayyala (minum, atau minum di tengah hari). Maklum, tulisan Arab orang kuno tidak memakai titik maupun harakat. Kesalahan itu diperjelas oleh Al-Qurthubi. Katanya, kalimat versi Ishaq itu “merusakkan amsal”. Karena “meminum air”, dalam arti mengumpulkan, adalah ungkapan untuk amsal kedua, yang dalam versi Bukhari berbunyi: “tanah yang keras, tandus, yang memegang  air, dan dijadikan Allah sumber manfaat manusia”. Sedangkan yang dimaksudkan  adalah amsal pertama, yakni tanah (pertanian) yang subur.

Adapun bagian kalimat Ishaq “tanah datar yang hanya dilewati air”, dan seterusnya, sebetulnya itu untuk amsal ketiga. Yakni yang dalam Bukhari berbunyi, “tanah datar yang tidak menyimpan air dan tidak menumbuhkan sayuran”. Untuk tanah jenis itu, Bukhari (dalam teks asli) menuliskan kata qii’aan sebagai yang memang diriwayatkan dari Nabi. Ishaq juga mengetahui kata dari Nabi itu. Hanya, rupanya ia teringat kata itu sebagai jamak qaa’, sedangkan qaa’ itu ungkapan Qur’an-lebih lengkapnya qaa’an shafshafan. Karena itu ia mencantum-kan shafshaf dalam versinya (“adapun shafshaf adalah tanah yang sama sekali rata”). Padahal shafshaf itu tidak pernah diucapkan Nabi s.a.w.

Seperti dikatakan Ibn Hajar maupun Al-Qasthallani, pencantuman itu “terbawa oleh kebiasaan Ishaq yang suka mengumpulkan penafsirannya tentang hadis dengan lafal-lafal yang ditemukan dalam Al-Qur’an”. Maklum, ungkapan-ungkapan Qur’an bisa mudah sekali melekat ke bawah sadar. Khususnya, sehubungan dengan kekeliruan Ishaq ibn Rahawaih itu, ungkapan dalam ayat-ayat Q. 20:106-107, yang menuturkan ihwal bukit-bukit yang dihancurkan:

Fa-yadzaruhaa qaa’an shafshafaa

Laa taraa fiihaa ‘iwajan wa laa amtaa

Ditinggalkan-Nya sebagai tanah datar yang sama sekali rata Tidak kaulihat di sana lekuk-lekuk maupun benjolan.

Hadis ini sebuah undangan ke arah anugerah Allah dalam wujud petunjuk Nabi. Ada petunjuk, dan mata kita memandang, namun, bagai kaca, mata ini tidak mampu melihat. Maka kita berlalu. Atau: ada petunjuk, kita mendatanginya,  memasukinya, lalu keluar lagi, tanpa menggunakan pikir-an dan hati, sama sekali tanpa bekas. Seperti kalau kita mendengarkan khutbah Jumat, lalu pulang, lalu kembali menipu. Atau korupsi. Ini jenis amsal ketiga.

Ada petunjuk, dan kita memanfaatkannya, dan orang mendapat berkah dari pemanfaatan  itu. Mereka turut minum.  Atau: ada petunjuk, dan itu mengubah diri orang, dan dari situ ia mempersembahkan sesuatu yang merupakan buah dari bimbingan petunjuk itu, lebih-lebih kalau ia diberkahi untuk mampu menciptakan sunnah hasanah (tradisi bagus) yang baru. Maka inilah amsal untuk yang pertama dan yang kedua, yang hakikatnya satu golongan.

Tetapi alangkah besarnya godaan mata. Untuk Anda dan saya. Kita memandang, tapi pikiran bukan ke depan. Maka kita pun buta. Sebab hati sudah lebih dahulu menjadi buta. Maka orang pun, jika demikian, akan dihimpun kelak dalam keadaan buta — mudah-mudahan Allah menghindarkan kita. Ini masalah yang kiranya sungguh besar. “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta. Melainkan hati yang ada di dalam dada” (Q. 22:46). ■

Penulis:  Syu’bah Asa. Sumber: Panji Masyarakat, 19 Mei 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading