Cakrawala

Esai Ulil Abshar-Abdalla: Membangun Tradisi yang Kukuh

macbook pro on brown wooden table
Written by Panji Masyarakat

Ini adalah sekelumit cerita berkenaan dengan khazanah Islam klasik yang hingga kini masih menjadi bahan kajian, baik di perguruan tinggi maupun di pesantren. Menjenguk khazanah ini, di tengah hiruk-pikuk orang-orang berbicara tentang sumber daya manusia (SDM), tentang pendidikan yang harus “menyambung dan sepadan” (link and match), dan tentang anak-anak didik yang harus diajari bagaimana menggunakan alat-alat yang paling modern, mungkin merupakan sesuatu yang terlalu “luks”. Tapi, hitung-hitung rehat sejenak dari rutinitas yang melelahkan, marilah kita tengok warisan (intelektual) masa lalu yang nyaris silam.

Siapa yang pernah mondok di pesantren-pesantren tradisional, walau cuma sebentar, pasti akan menemukan kesulitan yang luar biasa untuk membaca khazanah lama (saya sengaja menghindari istilah kitab kuning karena nadanya yang kurang enak) ini. Kesulitan yang sama, konon, bahkan juga dihadapi oleh mahasiswa di perguruan tinggi Timur Tengah.

Saya mempunyai seorang teman lulusan universitas Islam Madinah yang hingga usai kuliah di sana masih jengkel dan merasa kesulitan untuk membaca sebuah kitab komentar tentang tata bahasa Arab yang ditulis Ibnu Hisyam, Audhahul Masalik. Seorang teman lain yang lulusan Al-Azhar, Mesir, tergagap-gagap ketika dalam sebuah forum Bahtsul Masa’il NU (semacam Majelis Tarjih di Muhammadiyah) harus membacakan sebuah teks dari kitab fikih tulisan Ibnu Hajar Al-Haitsami, At-Tuhfah.

Sementara, setiap mahasiswa fakultas syariah di Arab Saudi pasti pernah mengalami kesulitan dengan kitab ushul fiqh (teori perumusan Islam, legal theory) karangan Ibnu Qudamah, seorang ulama mazhab Hanbali, bertajuk Raudhatun Nadhir wa Jannatul Munadhir. Kitab yang ditulis yang mengacu kepada Al-Mustasyfa min ‘Ilmi Ushul karya Al-Ghazali ini menjadi teks wajib bagi mahasiswa fakultas syariah di Arab Saudi.

Pada hampir semua santri di pondok-pondok pesantren Jawa, ada rasa “miris” jika harus berhadapan dengan kitab-kitab tertentu yang terkenal sulitnya. Misalnya, kitab tentang ushul fiqh tulisan Imam Zakariya Al-Anshari, Lubbul Ushul. Atau kitab tentang bidang yang sama tulisan Imam As-Subki, Jam’ul Jawami. Santri yang mampu membaca kitab ini dengan tetes (benar), biasanya ia menjadi bahan perbincangan luas di kalangan teman-teman setingkat. Sementara, kitab tentang kaidah fikih (legal maxims) tulisan Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wan-Nadza’ir, juga terkenal sangat sulit di kalangan santri.

Yang Enak dan Encer Dibaca

Tapi, bagi mereka, yang tersulit dari yang sulit tak bisa tidak adalah kitab tata bahasa lain tulisan Ibnu Hisyam yang berjudul Mughnil Labib. Saya sendiri, hingga sekarang, pasti termehek-mehek (sangat repot) jika harus membaca kitab setebal empat ratus halaman ini. Saya kira, sekarang, sudah jarang para kiai di pesantren yang masih bersedia membacakan kitab ini bagi para santrinya. Anda tahu toh, kiai sekarang juga gemar ikut-ikutan “berpolitik” seperti Gus Dur. Mereka lebih senang membaca kitab-kitab yang mudah dan renyah, seperti Tuhfatut Thullab, sebuah kitab komentar tentang fikih Syafi’i karya Imam Zakariya Al-Anshari, atau Bulughul Maram, sebuah kitab kumpulan hadis hukum yang ditulis oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang ulama besar di bidang hadis yang menulis sebuah magmun opus berjudul Fathul Bari sebagai komentar atas Shahihul Bukhari.

Kitab-kitab lama memang terkenal susah dibaca, terutama jika kitab itu merupakan buku induk yang menjadi rujukan dalam bidang yang bersangkutan. Imam Syafi’i, misalnya, menulis sebuah karya yang menjadi tonggak awal bagi disiplin yang kemudian terkenal dengan ushul fiqh. Semua orang pasti tahu, judul buku itu adalah Ar-Risalah, sebuah traktat pendek setebal seratus halaman yang agak susah dibaca. Tapi Asy-Syafi’i juga menulis buku lain yang menjadi induk dari semua karya fikih di lingkungan mazhab Syafi’i, yang berjudul Al-Umm. Tidak sebagaimana Ar-Risalah, karya yang terakhir ini lebih enak dan encer untuk dibaca.

Kitab induk lain yang juga susah dibaca adalah karya Imam Sibawaih; peletak dasar-dasar tata bahasa Arab, berjudul Al-Kitab, atau lebih dikenal dengan Kitabu Sibawaih. Imam Sibawaih adalah murid Imam Khalil Al-Farahidi, orang pertama yang merumuskan teori tentang puisi Arab klasik (`Arudh) serta penulis pertama leksikon Arab berjudul Kitabul ‘Ain.  Saya berani bertaruh, hampir tidak ada kiai atau santri sekarang ini yang membaca kitab tulisan Imam Sibawaih itu. Selain sulit didapat, juga susah diikuti istilah yang belum “terstandarkan” di sana.

Kesulitan ini, terus terang saja, bukan hanya dihadapi oleh santri atau mahasiswa Indonesia. Bahkan para sarjana di Arab sendiri juga harus “bergulat” dengan hal yang sama. Jika Anda pernah membaca buku Al-Ayyam, sebuah catatan harian yang ditulis oleh Thaha Husain, sastrawan besar Mesir yang dikenal sebagai “dekan sastra Arab modern” (‘amidul adabil ‘araby) maka Anda akan menemukan sinismenya terhadap kitab-kitab lama yang ditulis dengan bahasa, meminjam istilah Thaha Husein sendiri yang menyerupai “mantra-mantra” (thalasim).

Namun, inilah beda antara kita dan orang-orang di Barat. Siapa yang tak tahu bahwa para pembaca modern di Barat sekarang ini juga mengalami kesulitan yang luar biasa untuk “mengunyah” teks-teks klasik dari Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, St. Agustinus, Spinoza, dan Pascal.  Atau teks-teks dari pengarang yang belakangan hadir seperti Newton, Descartes, Rosseau, John Lock, Montesqieu, Immanuel Kant, Thomas Hobbes, Hegel, dan Karl Marx.

Akan tetapi, datanglah orang-orang di kemudian hari yang mencoba membuat teks-teks sulit itu menjadi renyah dan gurih bagi selera “dangkal” pembaca modern. Anda tentu pernah membaca seri buat pemula semacam Marx for Beginner, Kant for Beginner, dan (James) Joyce for Beginner, buku-buku pendek yang ditulis dengan bahasa yang encer, nakal, plus ilustrasi kartun. Dan, jangan lupa, buku saku tulisan Will Durant yang sangat hidup, Story of Philosophy. Atau buku tulisan Jostein Gaarder yang edisi Indonesianya sudah diterbitkan oleh Mizan: Dunia Sophie.

Hingga kini, saya belum menemukan karya-karya serupa yang ditulis oleh orang Indonesia. Saya belum menemukan sebuah buku yang ditulis (dalam bahasa Indonesia) dengan tujuan mendekatkan teks-teks klasik Islam itu kepada pembaca modern sekarang. Misalnya, saya membayangkan ada sebuah novel yang ditulis dengan seting percaturan ide-ide antara pemikir-pemikir besar Islam klasik semacam Ibnu Taimiah, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Baqillani, Ar-Razi, Imam Haramain, Al-Asy’ari, Al-Maturidi yang menyerupai karya Sutan Takdir Ali-Sjahbana, Grotta Az-zurra atau Dunia Sophie-nya Gaarder tadi. Mungkin novel semacam itu “cerewet” dan membosankan (ktitik yang dulu pernah dilontarkan, kepada Pak Takdir), tapi penting untuk membuat gagasan-gagasan besar yang sulit menjadi at home buat kita. Seorang ulama dari Asia Tengah yang saya lupa namanya, pernah menulis kisah semacam itu, berjudul Qissatul Iman (Kisah tentang Iman). Sayang dalam bahasa Arab.

Kamusnya Orang Pesantren

Sementara, di dunia Arab modern, upaya untuk mendekatkan teks-teks klasik itu sudah dilakukan sejak awal abad ini. Para pembaca Arab modern hampir tidak mengalami kesulitan lagi untuk membaca gagasan-gagasan para imam besar dari pelbagai bidang ilmu.

Gerakan itu, anehnya, bahkan dimulai dari lingkungan pastor Jesuit di Lebanon. Upaya menghidupkan kembali karya-karya klasik itu dimulai dari bidang leksikografi. Kita kenal, misalnya, upaya dua pastor Jesuit dari Lebanon, Petrus al-Bustani dan Louis Ma’luf Al-Yasu’i. Yang pertama, jika tidak salah, menulis kamus modern Muhithul Muhith, yang kedua menulis kamus yang digunakan secara luas oleh para santri dan kiai, Al-Munjid.

Pembaca modern pasti mengalami kesulitan dengan kamus-kamus klasik seperti Qamusul Muhith karya Al-Fairuzabadi, atau komentarnya yang ditulis oleh pemikir Syi’ah, Syarif Ar-Radhi, berjudul Tajul ‘Arus, atau kamus besar yang “paling diandalkan” hingga sekarang ini, yakni tulisan seorang ulama dari Afrika Utara, Ibnu Mandzur, berjudul Lisanul ‘Arab. Kamus-kamus besar itu diedit ulang oleh Louis Ma’luf, dan jadilah Munjid yang renyah, enak dibaca dan ohoi! perlu.

Beberapa ahli leksikografi muslim belakangan merasa bahwa dalam Munjid terdapat kesalahan-kesalahan yang mendasar. Lalu lahirlah karya revisi yang sudah bersih dari konon unsur-unsur kekristenan: Al-Mu’jamul Wasith, kamus yang dianjurkan di dunia Arab untuk dipakai para mahasiswa dan pelajar kelas menengah. Tapi, di pesantren, saya lihat Munjid masih digunakan secara luas. Terus terang, kamus ini enak dan mudah digunakan. Saya kira, kamus ini benar-benar menandai renaisans (an-nahdhah) bahasa, sekaligus juga pemikiran Arab modern.

Di bidang fikih, saya kira pembaca modern hampir tidak mengalami kesulitan lagi. Karya-karya sekunder yang lebih encer sudah bertebaran di mana- mana. Salah satunya, yang paling monumental adalah buku tulisan seorang ulama besar dari Syria, Dr.Wahbah Az-Zauhaili, Al-Fiqhul IsIamiy wa Adillatuhu (Fikih Islam dan Argumen-argumennya) sebanyak delapan jilid besar-besar. Ini merupakan ensiklopedi fikih modern yang paling lengkap dan mudah dibaca. Saya kira, untuk memperkaya khazanah fikih di Indonesia, kitab ini harus segera diterjemahkan. Tampaknya, ulama ini bertekad mengolah kembali khazanah klasik Islam untuk disajikan secara lebih memikat. Hal itu dia lakukan tidak saja terhadap disiplin fikih, tapi juga disiplin-disiplin pengetahuan yang lain. Misalnya, di bidang tafsir, dia menulis karya besar At-Tafsirul Munir. Di bidang ushul fiqh, dia menulis Ushulul Fiqhil Islami. Semuanya, kita tahu, enak dibaca. Tiga karya itu ditulis dengan encer, tetapi tetap memenuhi standar akademik resmi.

Ini semua dikemukakan untuk menegaskan satu hal bahwa untuk membangun kembali tradisi intelektual Islam baru, diperlukan landasan yang kukuh dari tradisi lama. Kita, Indonesia ini, hampir mustahil memulai itu tanpa menoleh kembali kepada khazanah lama. Kendalanya hanya satu: khazanah itu “keras kepala”, sehingga sulit dibaca. Siapakah yang “menerjemahkannya” buat kita di Indonesia? ■

Penulis: Ulil Abshar-Abdalla, kini Ketua  Lakpesdam-NU, Founder Ngaji Ihya Online dan Ghazalia College. Sumber: Panji Masyarakat,  26 Mei 1997

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda