Bintang Zaman

Sjafruddin Prawiranegara (2): Antara Riba dan Bunga Bank

Written by Panji Masyarakat

Sepak terjang Sjafruddin tidak cuma di lapangan politik, tetapi juga dengan lembaran-lembaran kertas. Ya, dia penulis yang produktif. Kegiatan mengarang merupakan bagian dari kehidupannya. Ia menu-liskan khutbah Jumatnya, yang seluruhnya berjumlah 22 tema. Masih di dalam tahanan, ia pun merumuskan gagasan-nya tentang bagaimana mem-bina kembali kehidupan ekonomi dan keuangan—yang morat-marit pada zaman Orde Lama. Tulisan-tulisannya ini kemudian diterbitkan dengan judul Membangun Kembali Ekonomi Indonesia pada (1966).

Alhasil, beragam masalah telah ditulisnya: sosial politik, ekonomi, filsafat, budaya, agama, dan hukum. Untuk bidang agama, Ajip Rosidi mengumpulkan tulisan Sjafruddin dalam buku Islam sebagai Pedoman Hidup yang terdiri atas empat jilid dan berisi 86 artikel. Kumpulan karya ini belum memuat semua tulisannya. Masih ada karangan lain yang tersebar di berbagai media, terutama yang ditulisnya pada masa revolusi dan pergolakan.

Sjafruddin juga cukup serius memikirkan ekonomi Islam. Dalam hal ini pemikirannya bertolak dari pandangannya tentang Islam sebagai agama sempurna yang mampu menjawab berbagai problematika dunia, di mana dan kapan saja. Hal ini dimungkinkan karena Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk menafsirkan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. melalui ijtihad. Tetapi, ia membedakan antara kedua sumber ajaran Islam tersebut. Al-Quran, katanya, bersifat mutlak, sedang sunnah, yang berfungsi sebagai penjelas dari prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Quran, hanya berlaku untuk masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad. Sjafruddin mencontohkan bahwa keterangan Nabi Muhammad yang terdapat dalam hadis-hadis sahih mengenai zakat (rinciannya, Red.) hanya berlaku untuk masyarakat abad ke-7 Masehi yang masih hidup dalam kesederhanaan. Hanya saja, pesan-pesan moral dan nilai-nilai etik yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi bersifat universal dan harus dipertahankan di segala tempat dan zaman. Oleh sebab itu, umat Islam harus berani melakukan reinterpretasi terhadap sumber-sumber ajaran Islam itu dengan melakukan ijtihad, bukan mempertahankan pendapat ulama masa lalu yang terkadang sudah kehilangan relevansi dalam masyarakat modern.

Sjafruddin juga melakukan ijtihad pribadi dengan hasil yang dianggap kontroversial. Menurut dia, perintah dan larangan dalam hukum Islam berhubungan erat dengan persoalan iman. Tujuannya tidak lain untuk mendidik supaya manusia beriman kepada-Nya. Selanjutnya, hal ini akan berpengaruh dalam membimbing sikap dan keseharian umat Islam dalam menjalan-kan kehidupannya. Sjafruddin mencontohkan, perintah zakat tidak terlepas dari persoalan iman. Karenanya, menurut dia, zakat tidak bisa dibatasi hanya pada harta benda yang disebutkan secara eksplisit oleh Nabi dalam hadis-hadisnya, tetapi harus dijabarkan. Ia berpendapat, semua harta yang bersifat produktif wajib dikenai zakat. Mengenai ini, ternyata buku pedoman pelaksanaan zakat yang dikeluarkan Departemen Agama pada 1974 sesuai dengan pendapatnya. Jadi, manusia tidak dapat melakukan kilah (mencari alasan) untuk membebaskan diri dari kewajiban zakatnya. Imanlah yang berperan dalam hal taat-tidaknya orang melaksanakan perintah tersebut.

Demikian juga dalam hal larangan. Riba, umpama-nya. Menurut dia, riba memang dilarang Allah secara tegas (Q.S. 2: 275). Namun dalam era modern sekarang riba harus ditafsirkan ulang. Secara umum, para ulama memahami riba sebagai bunga (interest, rente) dari uang yang dipinjamkan. Inilah yang diharamkan Allah. Dari sini, sebagian ulama mengharamkan bank. Sebagai alternatif, di beberapa negara Islam dikembangkan konsep bank tanpa bunga yang beroperasi berdasarkan prinsip profit-sharing (bagi hasil).

Akan tetapi, Sjafruddin punya pemahaman lain ten-tang riba. Menurut dia, riba bukanlah bunga uang atau rente. Riba adalah segala bentuk profit yang melebihi batas kewajaran, yang diperoleh dari transaksi dagang. Sjafruddin memperluas pengertian riba. Tidak hanya da-lam pinjam-meminjam, tetapi juga mencakup semua bidang usaha, perdagangan, dan industri. Di bidang-bi-dang ini mungkin saja terjadi riba. Salah satu contoh saja, orang menjual satu produk yang laris, tetapi mensyaratkan pembelinya untuk juga membeli barang lain yang sebenarnya tidak dikehendaki pihak pembeli. Itu riba. Demikian dalam Seminar Ekonomi Islam di Bandung pada 1983. Yang paling jahat, menurut dia, adalah monopoli dagang dan industri serta penjualan produk dan jasa dengan harga yang sangat tinggi, padahal biayanya relatif murah. Yang rugi tentu saja. masyarakat banyak yang terpaksa membeli karena memang memerlukannya. Keuntungan perdagangan yang sifatnya menipu, memeras atau memanfaatkan kelemahan orang adalah riba, walaupun perdagangan tersebut tampaknya halal secara syar’i. Alhasil, riba yang diharamkan Allah, menurut Sjafruddin, adalah keuntungan berlipat ganda yang diperoleh dari perdagangan yang kotor, curang, dan eksploitatif. Inilah riba adh’afan mudha’afah (berlipat ganda) yang dilarang Allah (Q.S. 3: 30).

Berdasarkan prinsip itu, Sjafruddin menolak penda-pat yang mengharamkan bunga bank. Sebagai ekonom yang memahami seluk-beluk perekonomian dan dunia perbankan, ia tidak memasukkan bunga bank ke dalam kategori riba yang diharamkan karena tidak eksploitatif dan tidak berlipat ganda. Dalam praktik, bank hanya mengambil bunga sekitar 10-15%. Ini jumlah yang kecil, dibanding keuntungan perdagangan yang diraih si peminjam. Sjafruddin juga menepis pendapat bahwa bank tidak mengambil risiko dari modal yang dipinjam-kannya. Tidak sedikit bank yang hancur akibat kredit ma-cet. Di samping itu, tidak mus-tahil perusahaan atau pedagang yang meminjam uang di bank dengan bunga yang kecil lebih beruntung daripada dengan model profit-sharing dari bank Islam. Sjafruddin bahkan mempertanyakan, mana yang lebih beruntung: perusahaan A yang mendapat kredit bank konvensional dengan bunga 10% setahun, atau pengusaha B yang menerima tambahan modal yang sama dengan si A, tetapi harus membayar 50% dari keuntungannya? Dari logika ini, ternyata bank Islam memperoleh laba yang berlipat ganda. Justru inilah yang dia pandang termasuk riba yang terlarang.

Toh Sjafruddin tidak berke-beratan dengan pendirian bank tanpa bunga. Hanya, ia tidak setuju bank itu diklaim sebagai bank Islam. Menurut dia, ia lebih tepat diberi nama bank investasi (investment bank). Sebaliknya, bank konvensional dia minta tidak dicap sebagai “bank haram”. Nyatanya, tidak sedikit muslim yang memanfaatkan jasa bank konvensional dan menikmati bunga depositonya.

Konsisten dengan pemikirannya tentang riba di atas, Sjafruddin tidak dapat menerima kebijaksanaan pe-merintah tentang monopoli penyelenggaraan haji, apalagi dengan biaya yang mahal. Dengan itu peme-rintah memperoleh laba yang sangat besar dan itu termasuk kategori riba dalam pandangan Sjafruddin. Mestinya, umat Islam diberi keringanan untuk melaksanakan haji dan monopoli pemerintah dihapuskan. Sjafruddin sendiri terjun langsung dalam penyelenggaraan haji pada akhir 1960-an hingga 1970. Kata dia, sudah saatnya dilakukan swastanisasi haji. Pemerintah hanya melakukan pengawasan agar jamaah tidak dirugikan oleh perusahaan-perusahaan swasta.

Penulis:  Muhammad Iqbal (saat menulis artikel ini, penulis mahasiswa Program Doktor IAIN Jakarta). Sumber: Panji Masyarakat, 25 Agustus 1997  

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda