Cakrawala

Kolom S. Sinansari-ecip:  Negeri Itu (Bukan) Indonesia

Written by Panji Masyarakat

Binatang pemakan daging hanya mempunyai satu pilihan, yaitu membunuh atau mati. Mereka yang lemah akan dibunuh (dan dimangsa) oleh yang kuat. Mereka yang kuat akan dibunuh (dan dimangsa) oleh yang lebih kuat. Kekuatan adalah kata kuncinya.

Di dalam suatu negeri, rakyat adalah kekuatan. Mereka sumber kekuasaan. Karenanya, mereka juga kekayaan.

Pernah diceritakan pada zaman dulu, rakyat memprotes raja. Karena begitu berkuasanya raja, protes rakyat hanya pada tingkat pepe. Mereka berjemur diri di bawah terik matahari berjam-jam di alun-alun. Letak alun-alun biasanya di dekat istana. Rakyat yang berjemur segera diketahui oleh raja. Raja lalu menanyakan, apa maksud mereka melakukan pepe. Inti pepe adalah minta perhatian penguasa.

Tradisi pepe jelas tidak mungkin dilakukan pada masa sekarang. Itu bukan karena rakyat tidak mau berpanas-panas. Rakyat tidak sekadar minta perhatian. Persoalannya sudah tidak sesederhana itu. Kini mereka banyak menuntut haknya yang wajar, misalnya dalam hal kontrol. Kontrol yang berlebihan sama tidak sehatnya dengan tidak ada kontrol. Seyogianya memang ada kekuatan pengimbang. Badan legislatif tidak boleh berjalan sendiri. Eksekutif pun tidak boleh berjalan sendiri. Keduanya perlu saling mengimbangi.

Kita mengenal Trias Politika tapi tidak menjalankannya secara murni. Sikap tersebut sah-sah saja. Kita mengenal perbedaan komponen di dalam Trias Politika. Itu bukan berarti lalu kita boleh mengurangi peran wakil rakyat dalam penggunaan hak inisiatif, hak interpelasi, hak bujet, dan lain-lain.

Membiarkan legislatif diam sama dengan membiarkan rakyat diam. Proses demokrasi mengajarkan bahwa rakyat perlu bicara. Wakil-wakil rakyat harus mempunyai telinga yang tipis. Dengan telinga tipis, selembut apa pun suara berdesir dari bisikan mulut dan hati rakyat akan didengarnya. Setelah mendengar, lalu wakil rakyat tidak boleh diam, tapi harus mau memperjuangkannya. Kesediaan memperjuangkan ini sering terdengar hanya berupa kesediaan di tingkat mulut saja, tidak di langkah-langkah yang jelas.

Kita ambil contoh pembuatan kekuasaan semu dari kampung orang yang nun jauh. Negeri-negeri Amerika Latin mendemonstrasikan gejala pemerintah dengan ringan merekayasa kekuasaan. Para pemimpin hampir selalu menyuarakan demokrasi tapi tingkah lakunya masih antidemokrasi. Keberhasilan sedikit mengendalikan inflasi dipakai untuk menutup kesempatan suara berbeda yang ingin mengontrol penggunaan kekuasaan yang berlebih.

Kekuasaan dan uang telah menjadi pasangan pengantin yang, lengkap hingga membuat sesuatu negeri menjadi campuran soto paling enak dan tembakau tersedap. Menu campuran tersebut enak didengar, tapi tidak enak dirasakan, baik oleh penggemar soto maupun pecandu rokok.

Di suatu negeri, kekayaan alam memang dikuasai oleh negara. Peruntukannya yang sering masih dipertanyakan: untuk banyak orang atau untuk sedikit orang. Acuannya untuk banyak orang, tapi dalam kenyataan belum mengarah kepada acuan. Acuan ditempatkan di ujung dunia. Untuk mencapai tempat yang jauh tersebut dibuatlah ribuan jalan yang berliku. Pedomannya adalah “Banyak jalan lain ke Roma”.

Memang benar, solus populi suprema lex. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Langkah-langkah kebangsaan mengarah kepada keselamatan rakyat. Perkataan yang tepat untuk itu adalah rakyat merupakan tempat keberpihakan karena rakyat adalah memang sumber kekuasaan. Melupakan sumbernya, kekuasaan ibarat seonggok daging tanpa tulang.

Untuk itu semua, diperlukan kelas menengah terdidik. Mereka akan sadar dalam banyak hal. Mereka pula yang diharapkan mampu membawa perahu ke pulau harapan. Dayung tidak selalu dikayuhkan, tapi hanya sesekali dipakai bila angin mati. Mesin akan diperlukan tepat waktu untuk mendorong buritan. Pendidikan tidak sekadar menghafal tapi juga memahami sesuatu. Pendidikan tidak sekadar membuat tapi juga mampu menjual sesuatu.

Binatang pemakan daging hanya punya satu pilihan, membunuh atau mati. Binatang pemakan bangkai juga hanya punya satu pilihan. Kekuatan adalah kata kuncinya.

Negeri ini mengenal tahun-tahun kebangkitan nasional. Kala itu nasionalisme pelan-pelan mulai dipupuk. Kedaerahan dan kesukuan tidak ditinggalkan tapi menjadi pupuk. Pada masa itu para pimpinan bersatu menuju kesatuan titik. Mereka mempunyai tujuan strategis. Titik tersebut adalah negara dan bangsa yang batas-batasnya jelas. Begitu kepentingan-kepentingan yang kecil pecahlah tujuan strategis, menjadi tujuan-tujuan taktis.

Tiap negeri mengalami sejarahnya dengan bangkit-jatuh. Sesekali bangkit, sesekali jatuh, dan seterusnya. Jarang terjadi ada negeri yang terus-menerus bangkit. Tidak diharapkan adanya negeri yang terus-menerus jatuh, meskipun negeri itu misalnya bernama Indonesia.

Penulis: S. Sinansari-ecip, sastrawan, pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Panji Masyarakat. Sumber: Panji Masyarakat, 19 Mei 1997.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda