Saudara Sulistyo Rahmanto, dari Malang, menanyakan pandangan Islam mengenai melihat gambar pornografis. Atau melihat film bioskop yang kadang-kadang ada “bumbu”-nya berupa adegan “panas”. Dalam era globalisasi dan keterbukaan informasi sekarang ini, katanya, setiap orang bisa saja melihat hal-hal semacam itu di majalah, televisi, bioskop, ataupun internet bahkan tanpa sengaja. Saudara Sulistyo minta pandangan, bagaimana sebaiknya bersikap praktis, katanya, agar kita bisa memilih yang benar namun tidak menjadi “ekstrem” dengan berhenti menonton televisi maupun bioskop.
Jawaban Ustadz Abu Fitri Firdausi
Di dalam perbendaharaan istilah baku agama, tidak ada kata yang bisa persis menjadi padanan “pornografi”. Tentu, karena pornografi berhubungan dengan graphia, dunia cetak, dan itu hal yang baru. Tetapi barang yang ditunjuk istilah pornografi, khusus yang menyangkut kecabulan (sebab pornografi juga berkaitan dengan pemuatan atas semua objek yang rendah misalnya jika sebuah penerbitan menampilkan gambar mayat terpotong-potong, atau hal-hal menjijikkan, secara demikian rupa) sudah terkandung dalam kata-kata al-fuhsy, al-fahsyaa’, al-faahisyah, al-fawaahisy.
Istilah-istilah tersebut berhubungan dengan semua ucapan dan perbuatan buruk, kotor, keji, jorok, cabul, rendah, hina. Tetapi juga perbuatan zina. (Lihat Q. 29: 45, 4: 19, 42: 37). Zina itu sendiri (sanggama yang dilakukan laki-perempuan di luar nikah) tidak termasuk pengertian pornografi, istilah yang datang dari dunia Barat dengan tata nilainya yang berbeda. Yang dianggap porno, pada mereka, adalah penampilan hubungan seks (tidak peduli zina maupun bukan) secara langsung dan vulgar.
Adapun kata rafats, atau sebagian pengertiannya, juga bisa mewakili sebagian kandungan pornografi. Hanya, konotasinya lebih halus dari yang tersebut terdahulu: rafats bisa berarti kata-kata jorok dan kotor, tetapi juga hubungan badan resmi suami-istri (lihat Q. 2: 197).
Di samping itu dalam dunia istilah baku Islam juga terdapat satu kata yang, juga karena perbedaan tata nilai, tidak dikenal pengertiannya di dunia Barat. Yakni aurat (‘aurah, jamaknya ‘auraat). Arti asal kata ini: ‘sesuatu yang harus dilindungi atau dijaga’ (lihat Q. 33: 13, dalih para munafik yang enggan pergi berperang: “Sesungguhnya rumah-rumah kami aurat.” Juga Q. 24: 58). Aurat juga bisa berarti semua aib dan cela diri, atau hal-hal yang diinginkan untuk tidak diketahui orang. Seperti dalam hadis: “Allah, tutuplah kiranya semua auratku” (riwayat Ibn Majah dan Ahmad). Adapun sebagai istilah fikih, aurat menunjuk pada bagian tubuh, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak boleh sembarang orang (Q. 24:31). Nah. Di Barat, penampakan aurat dalam arti terakhir itu juga tidak berhubungan dengan pengertian pornografi. Tetapi dalam Islam, pameran yang seperti itu merupakan faahisyah.
“Aurat ringan” & “aurat berat”.
”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat seorang laki-laki, jangan pula seorang perempuan melihat aurat seorang perempuan”. Demikian sabda Nabi s.a.w. menurut riwayat Muslim, Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad. Itu larangan melihat, dan memamerkan, di antara sesama jenis. Adapun untuk antarjenis, larangannya bisa dipahami sejak dari perintah untuk “memejamkan mata”: “Katakan kepada orang-orang mukmin untuk menahan pandangan mereka dan menjaga alat kehormatan mereka …. Dan katakan kepada para mukminat agar menahan pandangan mereka dan menjaga alat kehormatan mereka…” (Q. 24:30-31).
Jika yang dilarang, dalam ayat-ayat di atas, adalah memandang wajah, atau bagian luar tubuh, dengan syahwat (demikian tafsirnya), apatah lagi memandang bagian aurat. Dalam hal ini Jarir ibn Abdillah r.a., dalam riwayat Muslim, pernah bertanya kepada Nabi s.a.w. mengenai melihat aurat orang tanpa sengaja. Jawab beliau, “Palingkan pandanganmu.” Dalam hadis versi lain, pandangan pertama kepada lawan jenis (tanpa kesengajaan) adalah “untuk kamu” (artinya: boleh), tetapi pandangan kedua diberi hukum “terhadap kamu” (kamu dikenai sanksi). Adapun aurat itu sendiri, jika diikuti pendapat Ibnul Qaiyim dalam Tandzibut Tandzib, terbagi menjadi dua: ‘aurat ringan’ (mukhaffafah) dan ‘aurat berat’ (mughallazhah). Aurat berat adalah qubul (zakar atau farji) dan dubur (anus, pelepasan). Aurat selebihnya dikategorikan sebagai ringan.
Memang, ada pengecualian. Pertama, untuk keperluan pengobatan dan kebidanan. Di situ melihat aurat diperkenankan, bahkan aurat berat. Tetapi terbatas pada sesama jenis: dokter atau perawat wanita untuk wanita, dokter atau perawat laki-laki untuk laki-laki, Kecuali dalam keadaan terpaksa, ketika sama sekali tidak ada tenaga lain. Untuk menghadapi kemungkinan keterpaksaan itu pula, dokter atau perawat laki-laki (kalau jumlah mereka biasanya lebih banyak dari yang wanita) lebih dahulu dididik, dan untuk pendidikan itu diperlukan praktek, dengan tentu saja melihat aurat berat wanita. Misalnya, untuk menangani kelahiran mendadak.
Itu pun harus mereka lakukan dengan sarung tangan atau pelapis. Sedangkan menyentuh aurat berat ketika memandikan mayat wanita oleh seorang laki-laki (dalam keadaan terpaksa) tidak boleh dilakukan dengan tangan telanjang (Fathul Bari, VI, 61; Al-Muhalla, 617; Nailul Authar, VII, 240), apatah lagi menyentuh aurat berat wanita yang hidup. (Pemandian jenazah oleh lawan jenis memang tidak diperkenankan. Kecuali di antara suami-istri, atau pemandian perempuan terhadap mayat anak-anak laki-laki; lihat Al-Mughni, II, 435, 436, 438; Al-Majmu’, V, 110, 120; Syarah Muslim, IV, 263; Bidayatul Mujtahid, I, 221.
Itu yang pertama. Kedua, melihat aurat diperbolehkan untuk keperluan penyidikan perkara (oleh polisi, hakim, misalnya), juga jika mereka lawan jenis, bila keadaan memaksa. Ini kita kiaskan dengan kebolehan dalam perkara pengobatan dan pemandian jenazah di atas. Dan, seperti juga kepada penegak hukum, juga kepada wartawan, sepanjang ia benar-benar memerlukannya untuk pelaporan, dan sepanjang laporan seperti itu memang diperlukan.
Aurat manusia dan aurat gambar. Saudara Sulistyo. Pandangan ke lawan jenis, dalam arti (ingin) menikmati, kalau kita renungkan dengan jujur, sebenarnya hanya mengganggu konsentrasi kita sendiri, sementara kita tidak mendapat apa-apa kecuali kekonyolan. Pernahkah Anda mendengar beberapa kendaraan bertubrukan, gara-gara satu-dua pengemudi meleng melihat wanita cantik yang berpakaian “seronok” melangkah di pinggir jalan? Pandangan seperti itu bisa “mengotori” sesuatu dalam diri, yakni rasa kesucian. Bagi siapa pun, itu pemborosan. Sebab pikiran kita beralih, dari menghadap ke depan menjadi ke samping. Tidak produktif. Apalagi kalau sampai terkenang-kenang, mengganggu pekerjaan, dan mengusik kekhusyukan salat.
Mereka yang berdisiplin, dengan begitu, adalah mereka yang bisa menjaga mata dan pakaian, di sisi sebaliknya dan dengan demikian pikiran tetap bersih, bebas dari kemauan maupun angan-angan buruk. Itu penting bagi remaja: membentengi diri dari setiap bibit godaan. Bagi yang sudah kawin, mengelak dari kemungkinan pandangan seperti itu akan menyebabkan cintanya kepada pasangan hidupnya sendiri tetap utuh, tidak terganggu bayangan yang tidak-tidak. Bukankah itu yang memunculkan harmoni suami-istri?
Dari situ bisa dipahami bahwa yang dilarang, dalam agama, bukan hanya melihat aurat manusia. Tetapi juga “aurat gambar”. Memang ada ulama, yang mewakili pandangan minoritas, yang berpendapat bahwa yang diharamkan, dalam hadis-hadis, sebetulnya hanya melihat aurat kita. Sedangkan gambar, juga film, bukan manusia. Padahal sebuah tasyri’, pengundangan peraturan, tidak pernah tidak mengandung hikmah dan filosofinya, dan itu umumnya berada di sekitar dampak. Tidak seorang pun menganggap dampak “tontonan aurat” positif.
Meski begitu, kiranya perbedaan antara “aurat hidup” dan “aurat gambar” harus kita akui juga. Melihat aurat hidup, kecuali untuk alasan-alasan yang sudah disebut, mutlak haram. Tapi melihat “aurat gambar”, katakanlah bila dilakukan berdua oleh suami-istri, tidak bisa dihukumi haram bila hal itu membawa faedah bagi mereka berdua, dan itu hanya mereka yang tahu. Tentu, bila ternyata terdapat madharrat, hukum perbuatan itu bisa berubah menjadi makruh. Dan bila kerusakannya besar (misalnya psikologis), bisa haram.
Paling tidak, mereka yang sangat salih agaknya tak akan melakukannya. Nabi sendiri, dalam hadis, dituturkan sebagai tidak pernah melihat “aurat besar” istri beliau. Demikian pula sebaliknya, seperti dituturkan Aisyah r.a. Tentu, itu ka-rena Nabi s.a.w. seorang pria yang sangat halus, sopan, dan pada dasarnya pemalu (Allahumma shalli ‘alaih). Bahkan beliau tidak pernah membuka seluruh pakaian waktu mandi, dan memberikan saran kepada umatnya untuk berbuat sama, lebih-lebih di pemandian umum, seperti diriwayatkan Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad. Tetapi, dalam riwayat Abu Daud dan Turmudzi, Nabi juga bersabda, “Jagalah auratmu, kecuali dari (pandangan) istrimu ….” Berarti, antara suami-istri tidak ada keharaman apa-apa (kecuali perbuatan liwath, sodomi).
Saudara Sulistyo, pertanyaan Anda yang “agak susah” menjawabnya justru yang menyangkut televisi. Bagaimana kami akan menyarankan Anda untuk, misalnya, berhenti menonton televisi, sehubungan dengan tayangan-tayangan “seronok” tadi itu, sementara Anda sendiri sudah memilih sikap yang menurut Anda “praktis”, yakni tetap menontonnya? Baiklah: Anda tetap menontonnya, sebagaimana Anda juga tetap menggunakan internet (mengapa tidak?), tetapi Anda punya nurani. Kita semua, sadar maupun tidak, punya satu kekuatan kesalihan dalam diri kita. Tinggal terserah: kita kembangkan kekuatan itu, atau justru kita rusakkan. Kita bisa memilih, kalau memang mau. Kita bisa mematikan televisi begitu tayangan yang bermanfaat, baik berita maupun acara-acara lain, selesai. Kalau ingin juga meneruskan menonton hiburan (dan hiburan, yang “netral”, juga bermanfaat), Saudara bisa pindah saluran. Hindari stasiun yang memang tukang menayangkan jingkrak-jingkrak tak senonoh.
Tetapi, sebenarnya, yang “berbahaya” dari tayangan film asing bukan hanya yang berbau pornografis, yang bahkan tidak banyak jumlahnya. Tetapi film-film Barat yang, sedikit demi sedikit, mendidik generasi muda untuk menerima pandangan hidup mereka yang permisif (“serbaboleh”) dan sama sekali tidak berdasarkan agama. Memang, ini bukan masalah dalam lingkup individu.
Sumber: Panji Masyarakat, 2 Juni 1997.Catatan Redaksi: Abu Fitri Firdausi adalah nama pena yang pernah digunakan Syu’bah Asa.