Diselamatkan “Bilal”.
Pengalaman mengesankan lainnya adalah waktu ibadah haji tahun 1992. Saya dan suami, Livain Lubis yang juga dosen di Unpad, sudah lama berencana naik haji. Tapi karena kesibukan, ibadah haji itu baru terealisasi tiga tahun kemudian. Sewaktu melaksanakan ibadah haji itu banyak kejadian yang makin meyakinkan diri saya akan keesaan Allah. Saya punya pikiran bahwa Allah sangat dekat bila kita terus mendekat dan Allah tidak pernah mengingkari janji-janjinya: Ud’unii astajiblakum!
Suatu kali, ketika saya dan suami bersama jamaah haji lainnya melontar jumrah ba’da Zuhur, saya terjepit oleh ribuan jamaah, hingga kaki tidak menapak lagi di tanah. Memang, jamaah haji sedunia ini melaksanakan sunah Nabi yang menyebutkan bahwa melempar jumrah paling afdol sesudah Zuhur. Tapi kalau semua berniat sama, bisa dibayangkan ruwetnya. Waktu kejepit, saya menjerit kepada Allah: “Ya Allah kalau hamba mati di sini, hamba ridha, tapi bila hidup akan lebih baik menurut Engkau,.: tolonglah hamba-Mu ini!”
Tiba-tiba saja ada orang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam mengangkat saya. Mungkin ia ini Bilal, pikir saya. Ia menyibakkan orang-orang yang mengimpit badan saya: Sehingga mudahlah saya dan suami melontar tujuh batu kecil-kecil itu. Ketika membalikkan badan untuk meng-ucapkan terima kasih kepada orang hitam itu, di sudah tidak kelihatan lagi. Saya hanya bisa bersyukur. Saya yakin Allah mendengar jeritan saya tadi dan langsung menolong saya. Entah bagaimana jadinya kalau “orang hitam” itu tidak menyibakkan orang-orang di sekitar saya. Mungkin waktu itu saya bisa pingsan atau terinjak-injak.
Kemudian, ada lagi pengalaman saat saya dan suami berjalan dari Arafah menuju Mina. Kami dan rombongan jamaah haji lainnya naik bus. Tapi karena jalan macet, kami harus turun dan jalan kaki. Bukan main, jalan kaki sekitar 6 km di tengah cuaca panas begitu. Untung: ah, jarak sejauh itu seolah-olah tidak terasa karena dilakukan ngabring, bareng-bareng jamaah sedunia. Awalnya memang tidak haus, tapi lama kelamaan jadi kehausan juga.
Syukurlah, di pinggir-pinggir jalan menuju Mina itu ada trailer-trailer yang isinya bongkahan es. Oleh orang Arab, bongkahan itu dilemparkan ke arah jamah yang lewat. Yang untung kan mereka yang dapat lemparan itu. Saya berdoa dalam hati mudah-mudahan saya dapat lemparan es. Alhamdulillah, tanpa dinyana saya mendapat lemparan es dari orang di pinggir jalan. Es itu saya minum dan rasa haus pun terobati. Saya kemudian punya pikiran, Allah dekat dengan kita kalau kita dekat dengan Dia. Apa yang kita minta dengan kesungguhan, insya Allah akan dikabulkan.
Dari Masjid ke Masjid
Sebagai rasa syukur lulus S-3 dengan hasil cum laude, saya bersama keluarga pergi umrah. Saya, suami, serta dua anak saya, Alia dan Anjani bertamu ke Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Kami juga sempat ke Masjidil Aqsa di Jerusalem (Israel). Saya dan keluarga merasa puas mengunjungi ketiga masjid yang ada jejak Rasulullah itu. Rasa tenang dan dekat dengan-Nya ada di sana.
Saya dan keluarga juga mengunjungi masjid-masjid megah yang mencerminkan kebesaran para sultan yang mendirikannya. Misalnya Masjid Biru dan Masjid Sulaimaniah di Istanbul (Turki) yang lebih tampak sebagai objek turis daripada tempat ibadah, juga Masjid Aya Sofia yang pernah menjadi Gereja Aya Sofia, dan kini hanya menjadi museum, objek wisata turis (telah kembali menjadi masjid, red). Kami juga mengunjungi Masjid Mohammad Ali yang hampir tidak pernah dipakai salat. Terakhir, kami bertandang ke Masjid Al-Azhar di Kairo, Mesir, sudah berumur 1.000 tahun. Sayang sekali, masjid itu begitu kumuh, tidak terpelihara. Alhamdulillah, Masjid Agung Banten dan Masjid Agung di Cirebon, peninggalan para sultan yang juga sudah berumur ratusan tahun masih cukup terpelihara.
Akhirnya, saya mengunjungi gua Ashabul-Kahfi di Yordania. Gua itu tempat persembunyian tujuh orang pemuda dengan anjingnya yang dikejar-kejar Raja Dikyanus atau Decius yang lalim, kaisar Romawi yang berkuasa 249- 251 M. Mereka memohon pertolongan kepada Allah. Permohonan itu, dalam surat Al-Kahfi: 10, yang sering saya baca kalau berdoa. Allah kemudian menolong mereka, memberikan tempat persembunyian, dan menidurkan mereka. Gua itu kemudian ditutup sebagian dengan batu sehingga mereka selamat dari kejaran tentara raja. Ketujuh pemuda itu terbangun 309 tahun kemudian.
Mereka selamat berkat pertolongan Allah. Saya belum yakin bahwa situs itu adalah benar-benar gua Ashabul-Kahfi, sebagaimana keyakinan pemandu kami. Di dalam gua hanya ada enam kuburan dari zaman Kekaisaran Romawi sekitar abad ke-2 dan 3 Masehi, tulang-tulang manusia yang tersimpan dalam satu tempat tertutup batu berukuran kurang lebih 1 x 1 m yang dilubangi, dan beberapa benda peninggalan seperti gigi anjing, hiasan, dan potongan-potongan kayu yang konon berasal dari pohon zaitun raksasa yang sudah ribuan tahun umurnya yang pernah ada di dekat gua.
Tidak ada bukti atau penjelasan historis lainnya yang benar-benar menunjukkan bahwa inilah gua Ashabul-Kahfi yang sebenarnya. Meskipun demikian, riwayat pemuda Kahfi tetap berkesan bagi saya. Sudah tak terhitung lagi berapa kali saya membaca surat Kahfi dalam doa-doa saya.
Penulis: Mardiyah, wartawan Panji Masyarakat (1996-1998). Kini penulis lepas, setelah bekerja sebagai wartawan majalah Tempo dan memimpin Tempo Institute.
Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 25 Agustus 1997