Cakrawala

Kolom Buya Syafii Maarif: Sri Sultan, Sebuah Puncak Kearifan Jawa Islam

Written by Panji Masyarakat

Gelar resminya sewaktu dinobatkan adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurakman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX. Penobatan ini terjadi pada 18 April 1940, dua tahun sebelum Jepang menghalau kekuasaan Belanda dari Jawa. Pada waktu penobatan, Sri Sultan yang punya nama kecil Dorodjatun itu sudah berusia 28 tahun. Beliau kelahiran 12 April 1912, putra Hamengkubuwono VIII dari permaisuri Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom dengan nama kecil R.A. Kustilah, putri Pangeran Mangkubumi. Sayang, ibunya ini karena alasan yang belum terungkap, tidak terus tinggal di Keraton Ngayogyakarta, sekalipun gelar sebagai permaisuri tetap disandangnya sampai wafat. 

Sri Sultan bukanlah anak yang dimanjakan sejak masa kecil. Sesudah berusia empat tahun, beliau tidak lagi menetap  di keraton. Beliau diindekoskan oleh sang ayah kepada keluarga Belanda, baik di Yogyakarta, Semarang, maupun kemudian sewaktu di HBS, keluarga Belanda yang lain di Bandung. Begitu juga setelah beliau belajar di Leiden, beliau senantiasa ditempatkan kepada keluarga Belanda. Cukup lama beliau bersama saudara-saudaranya belajar di Eropa yaitu, dari 1930 sampai dengan 1939. Kalaulah Hitler tidak menyerbu Polandia dan Perang Dunia II tidak meledak, sudah pastilah beliau belum akan dipanggil pulang oleh ayahnya. 

Oleh karena panggilan pulang inilah, skripsi untuk menyelesaikan kesarjanaan beliau dalam bidang Indologi (Hukum Ketatanegaraan dan Ekonomi) yang telah selesai ditulis, belum sempat dipertahankan. Semula diharapkan bahwa pada suatu saat di kemudian hari, beliau akan kembali ke Leiden untuk urusan skripsi itu, tetapi Tuhan menghendaki lain. 

Sekembalinya ke Tanah Air, sang ayah sudah dalam keadaan sakit diabetes yang akut. Demikianlah dalam perjalanan dengan kereta api dari Batavia menuju Yogyakarta pada Oktober 1939, sang ayah jatuh pingsan sebelum sampai di Cirebon. Pada 22 Oktober setelah sampai di Yogya, sang ayah wafat dalam usia 59 tahun. 

Dapat diperkirakan bahwa peristiwa yang mendukakan ini cukup mengguncangkan Sri Sultan. Apalagi beliau sedang berpikir keras mencari jawab suatu pertanyaan yang cukup Serius, “Apa latar belakang kebijaksanaan sang ayah yang memperlakukan beliau tidak sebagai layaknya putra raja yang biasanya penuh kemanjaan?” Pendidikan ala Spartan adalah jenis pendidikan yang dialami Sri Sultan sejak usia yang sangat dini. Justru lingkungan pendidikan yang serupa inilah barangkali yang telah melahirkan Sri Sultan sebagai yang kita kenal kemudian hari. Seorang raja demokrat, merakyat, penuh disiplin, dan tegar dalam mempertahankan pendirian. 

Sri Sultan sewaktu masih di Jakarta bersama sang ayah telah diberi isyarat bahwa beliau akan menggantikan kedudukan Hamengkubuwono VIII. Isyarat itu berupa penyerahan keris Jaka Piturun kepada beliau. Isyarat inilah kemudian yang melicinkan jalan bagi suksesi kepemimpinan di lingkungan kesultanan Yogyakarta, sehingga beliau dinobatkan sebagai Sultan, sebagaimana yang telah kita singgung di permulaan tulisan ini. 

Percaya Diri 

Kita surut ke belakang sebentar untuk melihat lingkungan pergaulan Sri Sultan sewaktu masih berada di Leiden. Untuk ini  tulisan Kustiniyati Mochtar, “Pak Sultan dari Masa ke Masa” dalam buku Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Atmakusumah [Ed], Jakarta: Gramedia, 1982, hlm. 15-30), memberikan informasi yang sangat berguna bagi kita. Dari dialog yang dilakukan wartawati Kustiniyati Mochtar dengan Sri Sultan, terlihat dengan jelas bahwa beliau tidak pernah bergaul dengan tokoh-tokoh puncak Perhimpunan Indonesia, seperti Hatta, Sjahrir, dan lain-lain sewaktu belajar di negeri Belanda. Lingkungan pergaulan beliau hampir sepenuhnya bercorak Belanda. Kita kutip dialog itu, “Pada masa itu, apakah Bapak pernah bertemu mahasiswa Indonesia lainnya, misalnya yang kemudian ternyata muncul sebagai pemimpin nasional Republik Indonesia? Apakah pernah ada waktu untuk berbincang-bincang tentang nasionalisme dalam hubungan dengan wilayah Hindia Belanda?” 

Jawaban Sri Sultan sangat lugu, “Terus terang tak pernah. Hanya kadang-kadang saya ketemu Prijono yang kemudian jadi profesor, Maria Ulfah, Suripno atau Maruto, karena saya memang sengaja lebih banyak masuk di kalangan Belanda.” 

Jawaban Sri Sultan di atas adalah jawaban dari seorang yang sangat percaya kepada dirinya.  Beliau jawab apa adanya. Lugu! Justru jawaban yang lugu seperti itu yang memaksa kita untuk berpikir dan bertanya lebih jauh. “Bila lingkungan pergaulannya hampir seluruhnya bercorak Belanda, mengapa kemudian Sri Sultan pada hari-hari pertama setelah proklamasi begitu tegar dan pasti berdiri di belakang Republik? Mengapa misalnya bujukan-bujukan Belanda agar beliau mau bekerja sama, dilecehkan dan dipandangnya naif, padahal beliau tidak dikenal sebagai tokoh nasionalis sebelum proklamasi?

Sri Sultan bukan saja menyatakan berdiri di belakang Republik, tapi republik itu sendiri antara tahun 1946 s/d 1949 bernaung di bawah payung pelindung beliau pada saat-saat yang sangat kritis. Para pemimpin Republik bersedia hijrah ke Yogyakarta, tidak lain karena ada payung pelindungnya ini. Dengarlah gertakannya sewaktu menjawab tuduhan pihak Belanda bahwa Keraton Ngayogyakarta telah dijadikan pusat “gerombolan pengacau”. Kita kutip jalannya dialog antara Sri Sultan dengan Jenderal Meyer, kepala utusan Belanda, dalam perundingan dengan pihak Keraton, yang berlangsung pada 3 Maret 1949. 

Meyer: Apakah Sri Sultan mau menghentikan sikap nonkooperatif terhadap Belanda? 

Hamengkubuwono IX: Saya tidak bersedia menjawab pertanyaan Tuan tadi. 

Meyer: Mengapa Sri Sultan tak mau keluar dari Keraton dan bergerak dengan leluasa? Ini sangat mencurigakan kami. 

Hamengkubuwono IX: Jenderal mengatakan saya boleh ke luar Keraton, sedangkan selama ini Kolonel Van Langen melarang saya bergerak leluasa. Mana yang benar? Ini berarti bahwa antara pimpinan tentara penduduk Belanda tak ada kerja sama (sammenwerking). Lagi pula kejadian di kantor Kepatihan beberapa hari yang lalu telah sangat menyinggung kehormatan saya. Anak buah Anda telah bersikap sangat tidak sopan dan mengadakan perampokan. 

Meyer: Soal Kepatihan itu bukan instruksi saya. 

Hamengkubuwono IX: Apalagi jika tanpa instruksi, berarti anak buah Anda berbuat di luar perintah dan indisipliner. Dan sekarang ini pun hal yang sama dapat Tuan lakukan di Keraton saya, karena Tuan bersenjata dan saya tidak. Tetapi sebelum tuan melakukan itu, Tuan harus membunuh saya dulu!

Demikianlah kira-kira isi dialog yang cukup menegangkan itu. Jelas tergambar di situ bahwa Raja Mataram ini bukanlah pribadi yang gampang goyah ketika digertak. Dia berdiri penaka karang di tubir pantai. Ketegarannya didukung oleh seluruh kepribadiannya yang penuh percaya diri. 

Feodalisme Antisipatif 

Lagi-lagi pertanyaan kita, mengapa beliau begitu kokoh, padahal beliau produk Belanda? Fenomena inilah yang membawa kita untuk sedikit berkenalan dengan konsep kearifan Jawa yaitu, Jawa setelah menjadi Islam. Dalam literatur kearifan Jawa kita mengenal ungkapan waskito (arif). Dia yang dikaruniai kekuatan ini dilukiskan sebagai orang yang weruh sakdurunge winarah (melihat sebelum kejadian/diberi tahu) 

Sri Sultan adalah puncak dari kearifan Jawa Islam itu. Feodalisme kraton di tangan beliau adalah feodalisme antisipatif, sadar sepenuhnya akan putaran zaman yang sedang berubah dengan cepat. Dengan demikian, pemihakan beliau yang total kepada Republik adalah bagian dari puncak kearifan itu. Dari perspektif ini, kita dapat mengatakan bahwa bukan Sri Sultan yang berutang budi kepada Republik, tapi sebaliknya Republik yang berutang budi kepadanya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila bangsa ini menangisi kepergiannya. Tangis itu terasa sangat dalam.  Kepergiannya dirasakan sama beratnya dengan kepergian Bung Hatta. Mereka berdua adalah pemimpin bangsa, hampir-hampir tanpa cacat. Keterlibatan mereka dalam pembangunan karakter bangsa, baik sebagai pejabat maupun sebagai warga negara, telah semakin menempatkan bangsa ini di posisi berutang budi kepada keduanya, di samping kepada para pemimpin dan pejuang yang lain. 

Bila dilihat pada postur integritas pribadi, antara Sri Sultan dan Bung Hatta banyak persamaannya, meskipun keduanya berbeda dalam penampilan. Sri Sultan pendiam, tidak vokal sekalipun beliau misalnya tidak setuju dengan suatu kebijakan politik pemerintah. Beliau mampu meredam ketidaksetujuan itu agar tidak diketahui publik. Sebaliknya Hatta, beliau sangat vokal,  lisan maupun lewat tulisan yang tajam-tajam. Perbedaan ini, barangkali melambangkan perbedaan gaya pemimpin ala Yogyakarta dan gaya pemimpin ala Minangkabau. Kedua corak kepemimpinan itu tentunya telah semakin memperkaya budaya politik bangsa kita, terutama dalam usaha kita untuk mencari tipe kepemimpinan nasional pada masa-masa mendatang. Namun harap dicatat bahwa keduanya adalah para demokrat tulen tanpa “tetapi’. Kenyataan ini akan lebih mengagumkan lagi bila kita kaitkan dengan Sri Sultan, seorang raja demokrat. Bagi Hatta barangkali tidaklah terlalu mengherankan bahwa masyarakat Minang yang dikenal demokratis itu adalah lingkungan yang telah membentuk Hatta sewaktu masih muda. Modal ini ditambah lagi oleh penyerapan ide-ide demokrasi Barat semasa tinggal di Eropa. Jika Sri Sultan bukan seorang pemimpin yang antisipatif, kita tentunya tidak akan mengenal sebuah judul buku Tahta Untuk Rakyat. Memang tahta beliau adalah untuk kepentingan rakyat. Bukan hanya rakyat Yogyakarta, tetapi untuk kepentingan bangsa ini seluruhnya. Selamat jalan Sri Sultan!

Sumber: Panji Masyarakat, No. 591/21-30 Oktober 1988

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda