Ads
Tafsir

Al-Qur’an sebagai Obat (3)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Bukan Buku Resep

Ada kejadian pada saya sewaktu di Mekah”‘ tutur ibn Qayyim. “Saya sakit, dan tidak ada tabib  maupun obat… Jadi saya menyiduk air Zamzam, Saya baca Fatihah berkali-kali, kemudian minum. Saya sembuh. Kemudian saya mempraktikkan yang seperti itu berkali-kali.” Di bawah ini petikan selanjutnya dari kitab lbn Qayyim Al-Jauziyah, Ath-Thibun Nabawi (139).

Hadis Ibn Mas’ud r.a. Katanya, “Ketika Rasulullah SAW  bersembahyang, dalam sujud, seekor kalajengking menyengat jari beliau. Maka pergilah Rasulullah dan berkata, ‘Allah mengutuk kalajengking. Dia tidak membiarkan bahkan seorang nabi atau lainnya.’ Kemudian beliau menyuruh mengambilkan satu bejana, di dalamnya ada air dan garam. Lalu beliau taruh tempat yang kena sengatan itu di air dan garam, sambil membaca qul huwallahu ahad (surah Al-Ikhlas) dan Mu’auwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) sampai sakitnya menjadi tenang” (Riwayat Thabarani, Baihaqi, Abu Na’im Ibn Mardawaih).

Nabi SAW  pernah kena sihir dalam 11 simpul, lalu bahwa Jibril turun kepada beliau dengan Mu’auwidzatain (11 ayat) itu, Maka setiap beliau membaca satu ayat, terlepaslah satu simpul sampai terurai simpul itu seluruhnya.

Aisyah dalam riwayat Bukhari dan Muslim, bercerita bahwa Rasulullah SAW,  Jika beranjak istirah di pembaringan beliau, mengembus kedua telapak tangan beliau dengan qul huwallahu ahad dan Mu’auwidzatain, lalu mengusapkan keduanya ke wajah dan bagian-bagian tubuh yang bisa dicapai tangan.

Juga sabda Nabi dalam Bukhari dan Muslim: ”Barangsiapa membaca dua ayat dari akhir Surah Baqarah, di malam hari, itu mencukupinya.”

Al-Marwazi, dalam kutipan Ibn Qayyim ini,  menuturkan bahwa Abu Abdillah (Imam Ahmad ibn Hanbal) mendengar bahwa dia demam. Ahmad kemudian menulis secarik kertas, bunyinya: ”Bismillaahirrahmaanirrahim. Bismillah,  wa billaah, wa muhammadin rasuulillaah. ‘Qulnaa ya naaru kuunii bardan wa salaaman ‘alaa ibrahim, wa araaduu bihii kaidan faja’alnaahumul akhsariin.” (QS 21:69). Wahai Tuhan Jibrail, Mikail, dan Israfil: sembuhkanlah pemegang tulisan ini, dengan daya-Mu, kekuatan-Mu dan kekuasaan-Mu, wahai Tuhan seluruh mahluk. Aamiin.”

Imam Ahmad berkata: Aisyah r.a. Dan lain-lainnya “bersikap mudah” dalam masalah pengobatan qurani itu. Tapi, “Ibn Mas’ud r.a. benar-benar sangat tidak menyukainya.” Ahmad sendiri ditanya tentang taminah yang digantungkan sesudah turunnya cobaan (bala’). Jawabnya, “Aku harap tidak apa-apa.” Malahan putranya Abdullah, menurut Al-Khallal, bercerita: ”Aku melihat Ayah menulis ruqyah untuk yang kaget-kaget, juga untuk demam, sesudah terjadinya bala.”

Abdullah ibn Ahmad, masih menurut Al-Khallal, menuturkan: “Aku lihat Ayah menulis, untuk orang perempuan, jika susah melahirkan di bokor putih atau barang yang bersih, hadis (doa) Ibn Abbas r.a.: Laa ilaaha illallaahul haliimul kariim, Subhaanallaahi rabbil ‘arsyil ‘azhiim, Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin, “Kaannahum yauma yaraunahaa lam yalbatsuu ilaa ‘asyiyyatan au dhuhauhaa” (QS 79:46). Kaannahum yauma yarauna maa yuu’aduuna lam yalbatsuu ilaa saa’atan min nahaar, Balaagh, fahal yuhlaku illal qaumul faasiquun” (QS 46:35).

Al-Marwazi menuturkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Imam Ahmad, dan bertanya, “Abu Abdillah,(maukah) Bapak menulis untuk seorang perempuan yang susah melahirkan, sudah dua hari ini?” Jawabannya”Katakan kepada dia(laki-laki) untuk datang membawa bokor yang besar dan kunyit (za’faran, saffron).” kata Al-Marwazi, “Aku melihat beliau menulis tidak untuk satu orang.”

To;psan untuk orang hamil di bejana bersih: “Idza sama-un syaqqat, Wa dzinat lirabbihaa wa huqqat, wa idzal ardhu muddat, wa alqat maa fiiha wa takhallat” (Q.S. 84: 1-4). Yang hamil minum dari air bejana itu dan memercikkannya ke perutnya.

Tulisan untuk mimisan, Syaikhul Ibn Taimiah menuliskan di jidat anak itu: Wa qiila yaa  ardhubla’ii maa-aki wa yaa samaa-u aqli’ii wa ghidhal maa-u wa qudhial amr.” (Q.S. 11: 44). Aku mendengar dia berkata” “Aku menuliskannya tidak hanya untuk satu orang. Dan dia sembuh.” Katanya lagi, “Tetapi tidak boleh menuliskannya dengan darah mimisan, seperti yang diperbuat orang-orang yang tidak tahu. Sebab darah itu najis….”

Untuk sakit geraham. Ditulis di pipi dekat rasa sakit: “Bismillahirhamanirrahaim. Qul huwal-ladzii ansyaakum wa ja’ala lakumus sam’a wal abshaara wal af-idah, qalillan maa tasykuruun.” (Q.S. 32: 9). Bisa juga: “Wa lahuu maa sakana fii laili wan-nahaar, wa huwas samii’ul aliim.” (Q.S. 6: 13).

Tulisan untuk bisul bernanah. Dituliskan: ‘Wa yasaluunaka ‘anil jibaali yansifuhaa, laa taraa fiiha ‘iwajan wa laa amtaa.” (Q.S. 20: 105-107). (Lihat Ath-Thibbun Nabawi, 141-143, 276-279).

Tidak semua ayat Qur’an di atas dipilih berdasarkan hadis nabi. Kebanyakannya ditentukan sendiri berdasarkan, insya Allah, “kemiripan” kandungan ayat dengan kasus penyakit tertentu. Di zaman Ibn Taimiah dan Ibn Qayyim, agaknya praktik pengobatan qur’ani – bukan praktik perdukunan – belum menyebar benar, berbeda dengan di zaman Rasyid Ridha, bersama segala khurafat. Di zaman beliau, misalnya, belum ada buku-buku yang memuat berbagai “keajaiban” ayat-ayat untuk berbagai keperluan seperti sekarang – misalnya yang dalam tulisan Arab Melayu – dari mulai untuk penyembuhan, rezeki, memikat pacar, naik pangkat, juga seks. Sehingga ulama seperti almarhum KH Syukri Ghazali, ketua umum MUI, pernah mengecamnya dengan mengatakan, kalau itu dibiarkan, “akhirnya Qur’an akan menjadi buku resep.”

Penulis:  H. Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi wakil pemimpin redaksi dan asisten pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas.  Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 23 Juni 1997.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda