Ads
Pengalaman Religius

Prof.Dr. Nina Herlina Lubis (1):   Al-Kahfi dalam Keberhasilan dan Kegagalan

Ditulis oleh Panji Masyarakat

“Mengharapkan keberhasilan saja iidak realistis,” kata Nina Herlina Lubis,41 tahun, doktor wanita pertama bidang sejarah di UGM. Justru, katanya, pasang surut kehidupan itu memperkaya batin dan meningkatkan derajat kesempurnaan manusia. Ini. kesimpulan Nina, ibu tiga anak yang la.hir dan tinggal di Bandung, setelah menggali pengetahuan dari para ulama, dan mempelajari orientasi kehidupan le-wat pelajaran sejarah. Kini. untuk mengatasi kegagalan, ia punya ayat favorit, mengenai tujuh pemuda yang diselamatkan Allah di dalam gua, Al-Kahfi. Berikut cerita Nina kepada wartawan Panji. Dudi Rahman, mengenai sejumlah pengalaman yang mengesankannya.

Ada satu pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Kejadiannya, sekitar sembilan tahun la-lu. Waktu itu, ibu saya sakit parah, darah tinggi. Lima tahun kerja ibu keluar masuk rumah sakit. Akhirnya, beliau masuk ruang ICU di RS Immanuel, Bandung. 

Hari itu saya menunggu ibu. Sendirian. Takut juga sebenarnya, hariwang kata orang Sunda. Sekitar pukul 19.00, ibu membisikkan sesuatu kepada saya, “Sudah ada tamu yang menjemput.” Bulu kuduk saya merinding mendengarnya. Tak ada tamu satu pun di ruangan itu. Lantas saya berpikir, mungkin ibu sudah bertemu malaikat maut. Saya kuatkan diri untuk berkata, “Mamih, saya ikhlas kalau Mamih mau pergi.” Beliau cuma diam saja. Lalu, sambil memandang saya, ibu mengatakan, “Itu, yang ngejemput sudah datang.” 

“Siapa, Mih?” tanya saya. “Ada bapak tua, pakaian-nya putih-putih,” kata ibu. Mendengar itu, rasanya saya mau menjerit atau pingsan. Tanpa sadar, saya men-talqin, menuntun ibu yang sedang menghadapi maut. Saya lafalkan “Laailaaha illallah”  berulang-ulang, sambil saya pandangi untuk meyakinkan ibu mengikuti ucapan saya. Alhamdulillah, saya lihat bibir ibu bergerak mengucap “Allah … Allah … Allah ….” 

Kemudian saya perhatikan benar-benar tubuh ibu. Saya lihat kakinya seperti tertarik ke atas, seperti kejang, tapi lantas pelan-pelan lemas lagi. Saya pegang tangan-nya, dan tiba-tiba tangan itu terkulai. Pandangan ibu masih tertuju ke atap, sampai akhirnya rahang beliau mengatup dan matanya terpejam. 

Saya usap wajahnya dan mafhumlah saya: ibu telah dipanggil oleh Allah subhanahuwata’ala. Saya sedih luar biasa menyaksikan sendiri kematian ibu. Tapi anehnya, saya tidak bisa menangis. Selama dua hari saya tidak bisa tidur. Baru pada hari ketiga saya bisa nangis

Beberapa hari setelah itu, ibu sering datang dalam mimpi. Beberapa kali saya merasa seperti ditunjukkan alam akhirat. Dalam mimpi itu, tubuh ibu saya dibalut kain hijau berkerudung, wajahnya cerah seperti gadis 17 tahun. Ia berdiri di padang rumput yang hijau dan langit di atasnya bertuliskan Allah. Rangkaian peristiwa itu membuat saya sadar, betapa nyawa kita begitu rapuh. Begitu mudah dicabut oleh yang punya tanpa bisa dicegah. 

Terhambat Pronk

Saya lahir di Ban-dung pada tahun 1956, sebagai anak ke-tujuh. Kami keluarga besar, 13 bersaudara. Ibu saya perawat, Marie Sugiarti, dan ayah pensiunan tentara, Oyon Tahyan . Karena tidak sempat mengajar anak-anaknya mengaji, ibu menyuruh kami belajar mengaji di rumah Pak Haji Aos, sekitar 2 km dari rumah. Jalan menuju ke sana itu tidak seperti jalanan sekarang. Dulu masih jalan tanah, berdebu, dan gelap sekali kalau malam. Padahal, waktu mengaji itu mulai ba’da Mag-rib sampai waktu Isya. Kami jalan sambil membawa obor. 

Satu saat, ketika mau pulang dari pengajian, bersama kakak saya dan teman-teman, saya tercebur ke kali. Maklum habis hujan, jalanan becek dan licin. Kaget saya, ini ngaji kok bisa sampai kecebur begini. Baju saya, Al-Qur’an yang saya bawa, basah semua. “Saya nggak mau ngaji lagi gara-gara kecebur kali,” begitu saya bilang kepada ibu, sesampainya di rumah. Saya mogok. Tapi itu cuma sementara karena kemudian saya berubah pikiran. “Lho, baru begitu saja kok sudah putus asa,” pikir saya waktu itu. Akhirnya saya pun ikut ngaji lagi. 

Setelah lulus SMA, saya sebenarnya ingin masuk Seni Rupa ITB. Hobi saya memang melukis, dari kecil. Saya suka melukis potret. Saya coba-coba ikut tes di Seni Rupa ITB tapi nggak lolos. Ini kekecewaan saya yang pertama. Tidak tahu apa alasannya saya nggak lolos tes. Padahal, dari segi keterampilan melukis, saya merasa lebih ketimbang teman saya yang diterima. Tapi, mungkin memang Allah sudah menetapkan, tempat saya bukan di situ. Tahun 1975 saya sempat masuk di ITB. Tapi cuma bertahan dua tahun. Nggak betah. 

Kekecewaan berikutnya, saya alami tahun 1992. Waktu itu saya dapat beasiswa enam bulan ke Belanda. Semua urusan sudah beres, eh tiba-tiba ada pemutusan hubungan dengan lembaga pemberi bantuan ke Indonesia, IGGI yang dipimpin J. Pronk. Nggak jadi deh saya berangkat. Aduh, saya sempat stres. Lantas saya berpikir, pasti ada hikmah di balik semua ini. Lagi pula, orang kan tidak berhasil melulu, tapi mesti mengalami kegagalan. Kesempurnaan hidup itu ada di sana. Kalau tidak begitu, batinnya tidak kaya. 

Tahun 1978 saya masuk Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara. Dua tahun kemudian pindah ke Universitas Padjadjaran, Bandung, di jurusan yang sama. Kenapa saya pilih itu, mungkin karena saya sejak kecil suka dongeng. Saya suka tokoh-tokoh yang berhasil, tapi hidupnya tidak kosong. Saya, sering baca perjalanan tokoh-tokoh Islam selama hidupnya, Dari bacaan itu, saya petik hikmah ceritanya. Saya juga suka baca komik. Sejak kelas 4 SD saya baca komik Jaka Sembung. Setelah lulus S1 dari Unpad saya meneruskan studi S2 di program pascasarjana UGM. 

Bagi saya, sejarah menggelindingkan kesan-kesan. Itulah yang sebenarnya mewarnai ideologi kehidupan. Semakin dalam belajar ilmu sejarah, saya merasakan makna yang ada di dalamnya. Belajar sejarah berarti mengenali orientasi kehidupan. Manusia harus kaya dengan itu. Atau sebaliknya, dari pelajaran itu kita menarik kesimpulan bahwa manusia jangan sampai kehilangan orientasi kehidupan. 

Masa-masa awal menjadi dosen di Unpad, 1987, saya sering gelisah. Mengapa manusia berbuat ini atau itu. Saya melihat ke sekeliling. Lho, kok realitas kehidupan di masyarakat ternyata berbeda dengan yang saya bayang-kan waktu kuliah. Saya melihat banyak kebobrokan dalam masyarakat. Bahkan di antara teman-teman yang mengemban tugas pendidik, ada yang menjual nilai, korupsi waktu, dan sebagainya. 

Semua itu membuat saya bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dicari dalam hidup ini? Waktu itu saya merasa jiwa saya gelisah. Itu yang mengantarkan saya untuk datang ke majelis ta’lim di berbagai masjid, misalnya Masjid Istiqamah, Masjid Salman ITB, dan Masjid Unpad di Jalan Dipati Ukur. Saya juga sering berkonsultasi langsung dengan ulama-ulama seperti KH Rusyad Nurdin dan Buya KH Bustami Darwis. – 

Saya ingin menerima kedukaan itu dengan kesadaran. Dan kata para ulama itu, janganlah selalu berputus asa dari rahmat Allah. Itu yang selalu saya ingat dan saya mintakan dalam doa saya. 

Waktu saya tinggal di Yogyakarta untuk kuliah S2 di UGM, saya lanjutkan kebiasaan di Bandung. Tiap Ahad pagi saya ke Masjid Syuhada mengikuti kuliah subuh dari Pak Amien Rais, Pak Kuntowijoyo, atau Pak Ahmad Syafii Maarif. Saya merasa hidup lebih tenang. Lalu, dengan kesadaran sendiri, saya mulai berjilbab. Di masjid itu juga, saya sering duduk i’tikaf, berdoa, dan berzikir. Kemudian keluar dengan hati lapang. 

Ada satu doa yang saya ambil dari Surat Al-Kahfi ayat 10 yang selalu saya ulang-ulang di mana pun saya berada, selagi saya memohon sesuatu yang sangat berat. “Rabbanaa aatina mil-ladunka rahmataw-wahayyi’ lana min amrina rasyada.” Ya Tuhan kami, berilah kami rahmat dari sisi-Mu, dan siapkanlah petunjuk dalam urusan kami. Saya percaya firman Allah “Ud’unii astajiblakum.”  (Berdoalah kamu, maka Aku akan mengabulkan). 

Alhamdulillah banyak doa saya dikabulkan. Misalnya, menjelang ujian S-2 saya salat tahajud terus selama 40 hari, kecuali sedang berhalangan. Alhamdulillah, saat ujian pikiran saya begitu terang, dan bisa lulus dengan predikat cum laude

Giliran menempuh S3, saya juga diberi karunia. Pak Sartono Kartodirdjo, empu sejarawan Indonesia yang membimbing saya. Beliau sangat total menularkan ilmunya. Saya ini cantriknya Pak Sartono, meskipun saya belum seberapa untuk menerima ilmunya. Saya merasa bahwa saya benar-benar mencintai sejarah itu setelah belajar dari beliau. Yang saya salut, beliau itu luar biasa toleransinya. Bisa dibayangkan, saya ini berjilbab sementara Pak Sartono itu kan orang Katolik. 

Tapi seolah tidak ada jarak di antara kami. Bahkan Pak Sartono ini adalah guru saya yang setia. Jika beliau ke Bandung untuk mengajar di Unpad, selalu menelepon saya untuk datang konsultasi. Jarang lho ada pembimbing yang mau berlaku deraikan. Terkadang saya setelah konsultasi dengan beliau sering mengajaknya ngobrol. Tentang apa saja, soal fanatisme, kerusuhan, dan agama, serta yang lainnya. 

Waktu disertasi yang berjudul “Kehidupan Menak Priangan 1800-1942”  siap ditandatangani dosen pembimbing, saya tidak bisa pergi ke Yogya karena ada halangan. Saya meminta tolong teman saya, Pak Reiza, untuk mengambil tanda tangan Pak Sartono. Pak Reiza bilang sama saya. “Bu Nina, waktu Pak Sartono mau menandatangani disertasi Ibu, bibir Pak Sartono seperti mengucapkan kata  Bismillahir rahmanir rahim dengan sungguh-sungguh.” Bulu kuduk saya merinding mendengar kabar itu: antara percaya dan tidak. Tapi, saya berprasangka baik, husnuzan. Percaya saja sama yang dikabarkan Pak Reiza. 

Bersambung

Penulis: Mardiyah, wartawan Panji Masyarakat (1996-1998). Kini penulis lepas, setelah bekerja sebagai wartawan majalah Tempo dan memimpin Tempo Institute. 

Sumber: Majalah Panji Masyarakat 25 Agustus 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda