Konon, Islam Indonesia memang pantas dibanggakan. Di dalam negeri ia mampu menghimpun kaum cendekiawan dan menarik para artis mengenakan jilbab. Simbol-simbolnya bertebaran di semua tingkat. Para pemeluknya juga bersikap egaliter. Profesi da’i bahkan dapat disandang banyak kalangan. Atas prestasi itu Islam di negeri kita berhasil memperoleh predikat bergengsi dari mancanegara: Islam berwajah ramah. Islam with a smiling face. Bayangkan.
Tentu saja itu kabar gembira dan sekaligus menjadi peristiwa langka. Pada umumnya pers Barat menampilkan wacana Islam dalam potret yang serba menyeramkan. Mereka terkesan tidak bersahabat. Beberapa kalangan melihat kecenderungan itu sebagai upaya yang disengaja untuk menjelek-jelekkan Islam dalam rangka mengangkat diri mereka sendiri. Lantas, mengapa tiba-tiba berbalik? Dan, benarkah Islam Indonesia ramah?
Untuk jawaban itu, tampaknya diperlukan sedikit rekonstruksi sejarah. Siapa tahu, dengan rekonstruksi itu dapat diukur seberapa jauh kesan itu benar dan mengapa hal itu muncul. Jangan-jangan, sebagaimana kesan mereka terdahulu, kali ini mereka juga keliru.
Kalau pandangan mereka benar, Islam Indonesia pasti telah melalui liku-liku panjang. Sebab, meski konflik besar-besaran tak pernah terjadi ketegangan internal umat bukanlah peristiwa asing. Cukup banyak ketidakserasian mewarnai hubungan internal umat.
Bila ditengok ke belakang, misalnya, akan tampak konflik antara pengikut paham mistik dengan kalangan syariah minded. Mereka yang mencitakan partikularisme Islam, juga kerap bersitegang dengan kalangan yang menginginkan universalisme Islam.
Ketidakserasian itu berlangsung berabad-abad dan sering kali harus memakan korban. Di Aceh, misalnya, pengikut Hamzah Fansuri pernah dikejar-kejar dan di suruh tobat oleh pengikut Nuruddin Ar-Raniri. Buku-buku mereka dirampas dan dibakar di muka umum. Ada yang mengatakan, beberapa di antaranya bahkan dihukum mati. Mereka didakwa mengikuti paham wujudiyah yang menyimpang.
Kasus di Jawa mungkin tak kalah ruwetnya, seperti terekam dalam Serat Cebolek. Haji Mutamakin, yang juga berpaham mistik, menjadi tertuduh. Ia dipaksa mengubah keyakinannya dan memeluk sebuah “kebenaran” yang tidak ia akui. Figur seperti Mutamakin, menurut kitab ini, pernah ada di Jawa dan telah dihukum mati.
Kaum formalis juga pernah menjadi sasaran kritik. Bentuk resistensi ekstrem terhadap mereka terkandung dalam Kitab Gatoloco. Isinya cukup serem, karena kritik dan ketidaksetujuannya diutarakan dalam bahasa yang vulgar dan tamsil yang tak senonoh. Sementara itu, Kitab Wedhatama, yang ditulis oleh salah seorang raja Mangkunegaran, juga secara langsung mengeritik kalangan muslim yang terlalu berorientasi fikih. Mereka dianggap tidak kontekstual karena berusaha menerapkan budaya Arab mentah-mentah.
Ketegangan antarpaham ini terus berlangsung hingga abad ke-20. Dan pilihannya justru makin beragam. Clifford Geertz, misalnya, menemukan abangan, santri, dan priyayi. Ada lagi Islam tradisional dan modernis. Belakangan muncul pula istilah Islam transformatif, literalis, fundamentalis, dan neomodernis.
Meski tidak mengandaikan konflik berdarah, masing-masing paham sulit menghindarkan diri dari proses perebutan makna. Maka jika Islam Indonesia sekarang dipandang ramah, ini merupakan prestasi yang luar biasa hebat, dan karenanya perlu dilihat secara lebih rinci. Bukan mustahil kesan itu mencuat hanya karena saat ini wacana Islam dunia disesaki oleh gambaran minor. Seperti umum diketahui, agama ini selalu masuk dan dimasukkan dalam kerangka dikotomis dengan Barat. Jika Barat adalah demokrasi dan modernisasi maka Islam muncul sebagai simbol otoritarianisme dan keterbelakangan. Bila Barat adalah pendekar HAM maka Islam sponsor kekerasan dan seterusnya.
Islam Indonesia ternyata jauh dari kesan-kesan itu. Umatnya terkesan asing dengan bom, pembajakan pesawat atau kutukan terhadap Barat (sebelum peristiwa bom Bali, dan kasus-kasus pemboman lainnya; red) . Maka wajar kalau banyak kalangan yang berharap dapat mengembangkan dan mempopulerkannya ke tempat lain. Karena, seperti kata Imtiaz Yusuf, profesor studi Islam di Songkla University, muslim Asia Tenggara tampak ditakdirkan Allah mewakili Islam pada abad mendatang.
Sayangnya, peristiwa yang terjadi belakangan justru menunjukkan bahwa keramahan itu tak seindah yang dibayangkan. Polarisasi tradisionalis-modernis, yang dianggap telah mencair, kembali mengemuka. Gejala-gejala simbolik yang mengarah pada eksklusivisme beragama juga menguat. Dan terakhir, beberapa kerusuhan yang terjadi belum lama ini, yang membawa simbol-simbol agama, makin melengkapi pertanyaan tentang keramahan wajah Islam di negeri ini.
Bisa saja gejala yang terakhir itu dipandang sebagai riak-riak kecil yang lumrah terjadi. Sebab, secara keseluruhan, wajah Islam di negeri ini tetap terlihat lebih ramah dibanding penampilan muslim di belahan dunia lain. Hanya, keramahan itu masih tetap menjadi tanda tanya ketika orang mengaitkannya dengan sikap atau praktek keagamaan dalam kehidupan nyata. Ada yang menilai bahwa yang ada bukanlah keramahan, melainkan ketidakseriusan.
Tentu anggapan itu akan salah sasaran jika dialamatkan pada upaya kontekstualisasi Islam dalam budaya lokal, atau usaha menumbuhkan sikap beragama yang pluralis dan inklusif. Namun bukan berarti ia tidak punya sasaran sama sekali. Beberapa kasus jelas menunjukkan bahwa Islam banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Karenanya, menjadi tetap relevan untuk bertanya, apakah keramahan Islam di Indonesia merupakan cerminan dari sikap dewasa, serius, dan lapang dada? Ataukah sekadar senyuman untuk menarik konsumen? ■
Penulis: Dr.Hendro Prasetyo MA Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sumber: Panji Masyarakat, 29 Mei 1997