Ads
Cakrawala

Kolom Budhy Munawar-Rachman: Apa Salah Feminisme

photo of person covered with brown textile
Ditulis oleh Panji Masyarakat

Seorang kawan mendebat saya. Pasalnya, ia tidak setuju dengan argumen-argumen feminisme yang biasa saya pakai dalam berbagai diskusi mengenai gender. Katanya, “Feminisme itu bias Barat. Kita tidak bisa memakai suatu analisis luar untuk menghadirkan pandangan-pandangan Islam.” Menurutnya, memasukkan unsur luar dalam menjelaskan syariat Islam berbahaya.  Bahkan bisa merusak pandangan dasar Islam.

Dia bilang, feminisme sebenarnya merupakan pemberontakan perempuan terhadap laki-laki. Padahal, laki-laki sudah diberi Tuhan derajat satu tingkat lebih tinggi. Laki-laki adalah pemimpin (qawwam) perempuan. Ia merujuk Al-Quran surah An-Nisa ayat 34 yang, menurutnya, itu tak perlu ditafsirkan macam-macam. Secara literal, ayat itu memang menegaskan pasal kepemimpinan laki-laki atas perempuan.

Yang mengejutkan saya, dia yang biasanya apriori terhadap buku-buku Barat tiba-tiba mengutip The Tao of Islam. Sebuah buku mengenai kitab rujukan tentang relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam. Kawan itu mengatakan, “Anda tahu, mengapa saya bilang feminisme itu merusak tatanan syariat Islam?” Sebab analisis gender , feminis itu memakai pendekatan gender ala Barat yang memaksakan cara pandang asing untuk membaca kenyataan Islam. “Dan itu salah, bahkan tidak bisa ditolerir!” Anda tahu, dia meneruskan, dan mulai menghakimi: Ada buku berjudul ‘The Tao of Islam yang ditulis bukan oleh orang Barat, tetapi oleh orang Timur (Jepang), Sachiko Murata, profesor di bidang pemikiran Islam yang respek sekali terhadap Islam—bahkan seorang muslimah. Dia pun meneruskan kuliahnya:

Kalau kita baca buku itu, terlihat sekali bahwa ajaran Islam tentang gender itu telah sangat disalahpahami oleh para pemikir muslim modernis, karena mereka tidak menyadari bahwa Islam telah menyediakan jawaban abadi atas persoalan-persoalan dewasa ini. Tugas sarjana muslim yang hidup dalam konteks modern, pertama-tama  dan yang terpenting, adalah menyajikan ke hadapan modernitas detail-detail kebijaksanaan  yang masih tersedia di dalam tradisi Islam, tetapi sekaligus sudah dilupakan oleh generasi  muslim yang terdidik secara Barat. Islam adalah agama yang hidup, bukan agama yang mati dimakan sejarah.

Anda tahu, itu berarti apa? Yang kita perlukan dalam pemikiran Islam dewasa ini adalah menerjemahkan kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam tradisi Islam ke dalam bahasa yang lebih mutakhir … Nah ini … tanpa merusaknya!”

Dialog itu telah menyadarkan saya tentang adanya perbedaan dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Kawan tadi telah mempertahankan pandangan tradisional tentang gender yang dianggapnya bersifat islami, demi suatu pengingatan kembali makna. Atau juga, kalau dilihat dari konteks usaha penerjemahan Islam di zaman sekarang, ia sedang melakukan pembangunan kembali makna. Mak-na dibangun hingga pada derajat kosmis: bahwa pembedaan gender itu mempunyai arti kosmis sebagai suatu perjalanan rohani kepada Tuhan.

Sedangkan pada feminis, justru karena keprihatinannya terhadap relasi gender laki-laki dan perempuan yang telah merugikan hak-hak perempuan dalam mendapatkan kehidupan sosial dan keagamaan yang setara, pun terpaksa melakukan exercise of suspicion, penerapan kecurigaan atas penafsiran mengenai perempuan dalam Islam, yang telah dianggap tradisi sebagai syariat yang tak boleh berubah karena bersifat adikodrati.

Tetapi gagasannya, bahwa feminisme itu telah memakai ukuran Barat untuk Islam, sempat membuat saya bingung. Inilah tuduhan yang paling stereotipikal mengenai apa saja yang bersifat ilmu sosial kalau itu dipakai untuk mengkritisi pemikiran Islam. Saya bertanya-tanya, apakah The Tao of Islam tidak jatuh pada kritik yang sama? Sebab, bukankah buku itu memakai analisis Cina untuk menggambarkan relasi gender, seperti ditulis pemikir-pemikir klasik Islam, khususnya sufisme? Apakah kalau memakai konsep Cina, seperti Yin dan Yang, lantas bisa kita sebut islami, hanya karena bisa menjelaskan realitas Islam secara mumpuni?

Tetapi, bagaimana kalau kita memakai alat analisis Barat—misalnya analisis gendernya feminisme—dan itu bisa mengungkapkan kembali kepada kita yang sudah terlupa, atas suatu pesan dasar Islam yang pada dasarnya tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, baik di hadapan Tuhan maupun—apalagi—manusia? Relasi gender bukan hanya harus bersifat adil kepada perempuan, yang selama ini telah dinomorduakan dalam penafsiran Islam, seperti termuat dalam kitab-kitab fikih.

Ah, ini memang soal konflik penafsiran. Dan saya tidak peduli. Sebagai seorang muslim yang ingin mendapatkan visi Islam yang holistis, analisis apa pun dan dari mana pun akan saya ambil. Bukankah ada pepatah Arab, “Hikmah adalah barang kita yang hilang, di mana pun kita menemukan kita harus mengambilnya.” Jadi tidak peduli apakah itu dari Cina, atau Barat.

Dalam soal gender, buat saya yang penting adalah, pertama, perempuan memiliki kebebasan memilih atas dasar hak-haknya yang sama dengan laki-laki. Kedua, perempuan tidak dipaksa melulu menjadi ibu rumah tangga, dengan menekankan bahwa kodratnya sebagai perem-puan adalah mengurus anak dan rumah tangga. Dan, ketiga, perempuan tidak didorong hanya melaku-kan peranannya yang khas feminin atas dasar feminisme modesty-nya. Tidakkah ketiga agenda feminisme itu, lepas dari Timur atau Barat, adalah islami?

Kawan saya itu tentu saja tidak setuju, karena ia tahu bahwa yang saya katakan itu, kalau ia terima, berarti membenarkan feminisme. Tetapi apa salahnya feminisme, kalau itu akan membawa kita kepada suatu penciptaan masyarakat Islam yang lebih produktif? Wallahu a’lam

Penulis: Dr. Budhy Munawar-Rachman, pemerhati sosial-keagamaan, dosen STF Driyarkara, tinggal di Jakarta. Sumber: Panji Masyarakat,  28 April 1998

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading