Ads
Bintang Zaman

Fazlur Rahman (3): Intelektual yang Berperan sebagai Dokter

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Dekonstruksi dan rekonstruksi tradisi sebenarnya juga diserukan kaum modernis yang jejak dan semangatnya diwarisi Rahman. Tetapi, ia tidak puas dengan “jalan” pembaruan mereka. Menurut dia, mereka tidak mengembangkan metodologi pembaruan yang setia kepada tradisi Islam dan pada saat yang sama sadar bahwa tantangan modernitas Barat tidak bisa tidak harus dihadapi dengan penuh percaya diri.

Selain itu ada kompleks inferioritas pada mereka di hadapan Barat. Ini terutama disebabkan kritik para orientalis abad ke-19 yang menyudutkan Islam. Misalnya tentang istri-istri Nabi, perbudakan, kedudukan kaum perempuan, dan sebagainya. Karena kompleks itu, kaum modernis melakukan dua blunder besar. Pertama, terdorong untuk menjawab kritik-kritik di atas, mereka menjadi reaktif-apologetis. Pembaruan mereka pun jadi parsial, dan ad hoc, sekadar menunjukkan betapa Islam “tidak ketinggalan zaman”.

Ini menyebabkan blunder kedua: mudahnya mereka dituduh telah terbaratkan (westernized). Itu terutama diembuskan kelompok garis keras (“fundamentalis”) yang sangat anti-Barat dan para alim konservatif. Rahman membela: beberapa modernis memang telah terbaratkan, tetapi pencarian relevansi Islam dengan modernitas tentu tidak selamanya berarti pembaratan. Apa pun, dengan tuduhan itu, daya panggil kaum modernis melemah di kalangan massa muslimin.

Neomodernisme

Hal yang mungkin paling berharga yang diperoleh Rahman dari hijrahnya ke AS adalah kesempatan menyusun pandangan-pandangannya secara lebih sistematis dan metodologis. Pada masa inilah ia menyempurnakan apa yang dipandangnya sebagai kelemahan modernisme, dan ia mencanangkan apa yang disebutnya neomodernisme.

Pada babak akhir kehidupannya ini, perhatiannya terutama memang difokuskan pada usaha merumuskan pemikiran Islam yang setia kepada tradisi dan juga mampu menjawab tantangan zaman. Maka, penafsiran Al-Qur’an menghabiskan banyak waktu dan energinya. Satu-satunya buku yang ditulisnya mengenai filsafat Islam pada masa ini adalah The Philosophy of Mulla Shadra (1975).

Selain dalam banyak artikel, usaha rekonstruksi tradisi di atas tercermin terutama dalam Major Themes of the Qur’an (1980) dan Islam and Modernity (1982). Yang pertama berisi sebagian hasil rekonstruksinya, sedang-kan pada. yang kedua, ia menawarkan cara mempersiapkan sumber daya untuk melakukan kerja rekonstruksi yang dibayangkannya.

Rekonstruksi Tradisi Fazlur Rahman di salah satu bukunya

Berdasarkan kritiknya atas kaum modernis, ia mengajukan metode tafsir Al-Qur’an dalam apa yang disebutnya “gerakan ganda”: dari situasi sekarang ke masa Qur’an diwahyukan, dan kembali lagi ke masa kini. Pada yang pertama, dua langkah harus dilakukan: “memahami makna pernyataan (Al-Qur’an) tertentu dengan mempelajari situasi dan problem historis ketika pernyataan itu menjadi jawabannya, diteruskan dengan langkah menggeneralisasi jawaban-jawaban khusus itu dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial umum.” Menurut dia, kedua langkah itu saling terkait: yang pertama dengan sendirinya akan menyiratkan makna yang kedua.

Adapun untuk gerakan yang kedua, Rahman menulis, “Sementara pertama dimulai dari hal-hal khusus dalam Al-Qur’an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, gerakan kedua harus dilakukan dari pandangan umum ini ke dalam pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang.” Dengan kata lain, yang umum tadi harus ditubuhkan ke dalam konteks sosio-historis konkret dewasa ini.

Dalam banyak kesempatan, Rahman menyatakan bahwa metode di atas harus diterapkan ke dalam tiga bidang: (1) pe-rumusan pandangan dunia Al-Qur’an; (2) sistematisasi etika Al-Qur’an; dan (3) penubuhan etika Al-Quran ke dalam konteks masa kini. Inilah karakteristik neomodernisme yang ditawarkannya.

Rahman sendiri tidak sepenuhnya berhasil menyelesaikan kerja besar itu. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, ia sering sakit. Konon atmosfer  itulah yang mendorongnya bersedia menerima tawaran menulis buku mengenai tradisi pemeliharaan kesehatan di dunia Islam. Pada 1987, buku itu, karya terakhirnya, terbit: Health and Medicine in Islamic Tradition. Sudah lama ia menderita diabetes  akut. Belakangan, tiap hari ia bersuntik. Tetapi yang menjemput ajalnya adalah serangan jantung pada 26 Juli 1988.

Bukan Kemenyan

Dialektika tradisi dan modernitas, dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai fokus yang harus diungkap makna universalnya dan diterapkan untuk masa kini, selalu mencirikan pencariannya akan otentisitas dan relevansi pemikiran Islam. Dua hal tampak menonjol dalam pencarian panjang ini.

Pertama, pendekatan Rahman kepada tradisi jauh dari historisisme. Sekadar deskripsi atau rekonstruksi atas tradisi tak pernah cukup baginya. Ia selalu berusaha masuk ke dalam inti pemikiran yang dibahasnya. Pertama untuk menjadikannya miliknya sendiri, dan kedua untuk mengungkapkannya dalam rangka melihat relevansinya dengan modernitas.

Rahman tidak pernah ragu mengajukan penilaian subjektif atas posisi yang dipegangnya ketika melakukan analisis. Pada dirinya tidak ada sesuatu yang bebas nilai atau tanpa komitmen, dalam studi mengenai tradisi Islam. Posisi itu biasa diambil orientalis, dan Rahman mengecam apa yang disebutnya ‘orientalis Muslim’.

Kedua, Rahman selalu berterus terang dengan apa yang ditemukannya dalam tradisi Islam. Ini menempatkannya pada posisi yang unik di tengah dua kelompok. Ia tidak lari dari kalangan orientalis—bahkan bergumul dengan mereka di sarang mereka sendiri. Ia yakin, orientalisme tidak bisa dilawan dengan menge-camnya sebagai antek-antek Barat atau lainnya, tetapi dengan kontra argumen yang otoritatif.

Dengan ketegaran yang sama pulalah ia menghadapi kaum tradisionalis dan garis keras Muslim. Baginya, sikap terbaik untuk menghormati  tradisi adalah dengan menempatkan tradisi itu pada tempatnya yang pas, yakni sebagai modalitas untuk perubahan. Sikap inilah yang dipegang umat pada awal Islam. Katanya, “Kembali ke masa lampau secara arbitrer sama saja dengan kembali ke liang kubur.” Ini juga sejenis kemusyrikan baginya.

Rahman jelas membela warisan Islam dari kritik-kritik yang muncul lantaran kebodohan dan ketidakadilan.  Contoh terbaiknya adalah pembelaannya kepada otentisitas sunnah dan hadis dari serangan beberapa orientalis. Tetapi ia selalu menentang kalau ini dilakukan dengan ongkos mendistorsi sejarah komunitasnya atau merusak apa yang dipandangnya sebagai Islam normatif.

Baginya, pergulatan demi otentisitas intelektual dan relevansi Islam dengan situasi kontemporer tidak bisa ditunda. Apalagi disublimasi dengan “kemenyan” yang menyenangkan untuk sementara, tetapi mematikan dalam jangka panjang.

Perbedaan antara terkun (dokter dukun) yang mendesakkan halusinasi dengan dokter sejati yang betul-betul care bukan saja terletak pada pengetahuan yang lebih baik mengenai fisiologi dan psikologi sang pasien pada yang terakhir, tetapi juga antara yang memberi ketenangan semu (sedative) dan yang sungguh-sungguh mengobati (curative).

Rahman adalah jenis intelektual muslim yang memilih  peran sebagai dokter. Yang ditawarkannya bukan kemenyan, tetapi obat yang sungguhan. Mungkin pahit, tetapi dimaksudkan untuk benar-benar menyembuhkan.

Penulis: lhsan Ali-Fauzi,   pemerhati pemikiran Islam. Pernah bekerja di LSPEU Indonesia, Jakarta, kini direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina. Sumber: Panji Masyarakat, 11 Agustus 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda