Akhir abad ke-20 ditandai dengan perubahan-perubahan yang mencengangkan. Yang paling mencolok adalah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi. Dengan itu, dunia menjadi kecil—dan karenanya mudah dijangkau. Kasus The Satanic Verses, Perang Teluk, pengeboman World Trade Centre, mesianisme David Koresh, pembersihan etnis di Bosnia, terbunuhnya PM Rabin, dan lain-lain, merupakan sejumlah bukti dari makin mengkeretnya dunia. Secara agak dramatis, kenyataan ini telah digunakan oleh Kenichi Ohmae sebagai pertanda berakhirnya (batas-batas) negara bangsa—the end of the nation state.
Di sisi lain, dengan itu pula masyarakat dunia menjadi saling terhubungkan (interconnected). Hampir-hampir tak ada kelompok manusia yang secara budaya, ekonomi, dan politik teralienasikan. Jika pada dasawarsa 1950-an Myanmar atau Albania merupakan contoh “modern” dari negara-negara yang secara ekonomi dan politik mengambil jarak sedemikian vulgar dengan negara-negara atau aktor-aktor ekonomi politik lainnya, posisi itu kini tak lagi dapat dipertahankan.
Apa implikasi perkembangan yang sedemikian cepat itu terhadap masyarakat agama? Secara pasti, kita tidak tahu. Ini antara lain karena “pertemuan” (encounters) antara masyarakat agama dan realita empiris tak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif. Alih-alih, yang muncul adalah mitos-mi-tos ketakutan yang membentuk kesan bahwa perubahan sosial yang cepat itu dengan serta-merta menyebabkan agama berada pada posisi “bawah” (subordinate) atau “pinggir”. Pengalaman masyarakat Eropa Barat merupakan salah satu contoh terbaik tentang hal ini. Sebagaimana dilukiskan Ernest Gellner, pertemuan mereka dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial dan industrialisasi mengantarkan mereka ke pintu “sekularisasi”. Dengan itu, nilai-nilai agama dikhawatirkan memudar.
Sampai pada tingkat tertentu, masyarakat agama dewasa ini dihadapkan pada situasi keagamaan dalam menghadapi proses globalisasi. Kekhawatiran bahwa perkembangan teknologi meminggirkan nilai-nilai agama, menghancurkan ikatan unit-unit sosial masyarakat, dan pada akhirnya memisahkan agama dari dasar-dasar organisasinya, sepenuhnya dapat dipahami. Meskipun demikian, hendaknya masyarakat agama tidak kehilangan penglihatan yang lebih luas. Sebanding dengan berkembangnya proses globalisasi, sebenarnya di sana-sini muncul apa yang disebut revitalisasi agama. Hal ini berkembang terutama sejak awal dasawarsa 1980-an. Pada periode itu, pendulum kehidupan sosial-politik Amerika Serikat—untuk menyebut contoh kasus sebuah negara yang sering dipandang sebagai “sekuler”—bergerak ke “kanan”. Fenomena ini, sebagaimana dikatakan Benton Johnson, dapat dilihat sebagai pertanda bangkitnya kesadaran kolektif masyarakat akan arti penting agama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik negara itu.
Di luar wilayah praktis sebagaimana telah disebut, di sana-sini juga muncul wacana teoretis yang mem-bangkitkan optimisme masyarakat agama bahwa per-ubanan sosial tidak secara otomatis merupakan ancaman bagi agama. Sosiolog kenamaan seperti Robert Bellah, misalnya, melihat saling berkaitnya nilai-nilai agama dengan masalah keduniaan dalam perspektif civil religion yang tumbuh di Amerika Serikat. Dalam nada yang sama, Jose Casanova melihat peran penting agama dalam kehidupan sosial-politik di Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika Serikat—dalam perspektif bahwa agama dalam banyak hal bukan merupakan persoalan yang bersifat pribadi tetapi justru berwatak publik.
Dalam konteks seperti itu, hampir-hampir tidak ada kesulitan bagi agama apa pun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, lebih-lebih Islam, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu bahwa agama, baik melalui simbol-simbol maupun nilai-nilai yang dikandungnya, hadir di mana-mana, ikut mempengaruhi dan bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik serta kebijaksanaan publik.
Memahami makna atau posisi agama sebagaimana digambarkan di atas adalah satu hal. Meletakkannya dalam situasi yang lebih riil, ketika agama secara empiris dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan, meru-pakan hal lain. Dan dalam konteks yang terakhir ini sering ditemukan ketegangan antara dua wilayah tersebut—agama dan persoalan keduniaan.
Ini benar, khususnya jika pola hubungan antara agama dan persoalan keduniaan yang ingin dikembangkan bersifat legalistis dan formalistis. Sebab, pola seperti ini mempunyai kecenderungan untuk mengesampingkan realita spacio-temporal dan partikularitas tempat suatu masyarakat agama hidup ber-tetangga.
Simbol-simbol formal-legal, dan bukan substansi, akan dengan mudah berbenturan dengan realita sosial yang majemuk. Karenanya, kesadaran bahwa agama merupakan persoalan publik tidak akan banyak berarti. Bahkan bisa bersifat kontra-produktif, jika pola hubungan yang dikembangkan bersifat legalistis dan formalistis, dan dengan itu mengesampingkan konteks yang menjadi dasar pola hubungan itu ingin ditegakkan. Pengalaman Indonesia pada dekade 1930-an, 1940-an, dan 1950- an beserta implikasinya yang mengharu-biru itu, yang ingin merumuskan pola hubungan antara agama dan masalah keduniaan dalam bentuknya yang formalistis dan legalistis merupakan ilustrasi yang relevan.

Penulis: Prof. Dr. Bachtiar Effendy (1958-2019). Redaktur Ahli Panji Masyarakat dan Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini pernah menjadi Wakil Direktur Lembaga Studi Pengembangan Efika Usaha (LSPU) Indonesla, dan Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 26 Mei 1997.