Saudari Dra. Marfu’ah binti H. Hanafi di Jakarta mengemukakan, dalam suratnya, fenomena maraknya dakwah yang menggembirakan di negeri ini. “Bahkan juga melibatkan para dai wanita dan artis,” katanya. Tetapi, ada juga yang mengganggu pikiran: dia pernah mendengar adanya sabda Nabi s.a.w.: “Suami wanita itu aurat.” Karena itu ia bertanya, bolehkah wanita berceramah di. hadapan hadirin yang tidak hanya terdiri atas perempuan, tetapi juga laki-laki. Adakah praktik demikian pada masa Nabi s.a.w. atau para sahabat r.a.? Dan dapatkah persoalan itu dikaitkan dengan hadis Nabi yang melarang laki-laki memandang wanita atau sebaliknya?
Jawaban Tim Muzkarah
Barangkali Anda, Saudari Marfu’ah, belum pernah ke Mekah atau Madinah. Atau sudah? Di tempat-tempat itu, Anda tahu, para wanita menutup seluruh badan. Juga wajah, dengan kain hitam, tetapi transparan. Toh seorang anak muda dari Indonesia (kebetulan belum menikah) masih juga punya peluang untuk “tergugah”. Pertama, penampilan mereka itu bagi dia malah eksotik, dan sebetulnya—kalau mau—mereka bisa berpandangan. Kedua, ia “terhanyut” setiap mendengar mereka bicara—terutama, katanya, kalau mengucapkan huruf ha’ kecil, yang keluar dari langit-langit tenggorokan dengan begitu mulus.
Dua hal bisa ditarik dari situ. Pertama, menutup aurat dengan cara itu tidak akan menghalangi orang “tergoda”. Ini psikologis: sesuatu yang makin ditutup-tutupi (bukan ditutup seluruhnya) makin menarik. Seperti iming-iming. Memang, itu hanya kalau yang ditutup-tutupi itu barang yang indah. Dan wanita, dan inilah yang kedua, adalah indah. Ia objek pelukis. Objek penyair. Dan keindahan itu bisa “menggoda”. Barangkali itu sebabnya Islam memiliki aturan-aturan terhadap wanita yang lebih ketat dari terhadap laki-laki, khususnya dalam soal aurat (lihat A. Hassan, Tanya Jawab tentang Ber-bagai Masalah Agama, III, 1987).
Tentu, kalangan feminis (kecuali yang dari lingkungan agama, le-bih-lebih yang salih, se-perti insya Allah Saudari sendiri) kurang sejalan dengan itu, dan ini kita pahami. Seakan-akan penyelesaian masalah “ketakutan” laki-laki untuk tergoda kok dibeban-kan kepada wanita. Sama-sama, dong. Tetapi bagaimana “sama-sama” itu? Kan agak susah, membayangkan “beban” itu diberikan kepada laki-laki? Misalnya, laki-laki. yang harus menutup aurat seperti wanita, sementara wanita berpakaian dengan ketentuan aurat laki-laki. Bukankah laki-laki secara kodrati pihak yang lebih aktif, sementara wanita sebaliknya? Wanita adalah sasaran—dan wanita sendiri, terus terang, menyukai itu, asal dalam pengertian yang lumrah. Misalnya saja, sasaran pandangan. Atau adakah gambaran seorang wanita memandang nanar melihat kegantengan laki-laki, sementara si laki-laki menunduk malu?
Wanita, betapapun, berada “sedikit di bawah” laki-laki. Sama sekali bukan dalam arti harkat kemanusiaan. Lihatlah: dalam poster kampanye KB, suami-istri dan dua anak, pasti gambar si bapak sedikit lebih tinggi dibanding gambar ibu. Adakah suami yang memanggil istrinya dengan kak, mbakyu, ceu, teh, uni, sementara istrinya memanggilnya dik? Ini untuk segala bangsa (Timur) yang punya panggilan model itu. Bahkan di Barat tidak ada Mr. Margareth Thatcher. Tetapi ada (di kita, yang kena pengaruh mereka) Ny. Hamid Suryana. (Dalam tradisi Islam yang asli, seorang istri malah dipanggil menurut nama ayahnya, dengan binti, dan bukan nama suami).
Baiklah. Dengan menutup seluruh tubuh, di Saudi itu, baik si wanita maupun laki-laki (diharap) merasa tenteram. Sebab penutup itu juga berfungsi membiasakan orang tidak memandang antarjenis, kecuali untuk keperluan (lihat Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, II, 41), dan pikiran mereka menjadi bersih. Adapun kalau toh masih ada—seperti pemuda kita tadi—yang mencuri-curi pandangan, itu sih terpulang kepada orangnya. Itu disebut “godaan setan”. “Katakan kepada para mukmin untuk menahan diri dari pandangan dan menjaga alat kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Dan katakan kepada para mukminat untuk menahan diri dari pandangan dan menjaga alat kehormatan mereka, dan tidak memamerkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak…” (Q.S. 24:30,31). Di situ, perintah ini diberikan kepada pria maupun wanita. Adil.
Nah, perintah menahan diri itu bisa dipakaikan pada ceramah seorang wanita di depan jamaah pria dan wanita. Jagalah mata masing-masing, begitu. Aisyah r.a., sepeninggal Nabi s.a.w., mengajar agama kepada kaum laki-laki. Nabi pun sering menerima pertanyaan wanita, dan bellau melayani. (Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, II, 353). Jadi, boleh saja wanita berceramah di hadapan dan suara wanita bukan aurat (Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, I, 595; Qardhawi, loc. cit.). Memang, Aisyah memakai cadar. Tetapi harap diketahui, pemakaian penutup muka itu hanya diwajikan untuk para istri Nabi, yang dinyatakan “tidak sama dengan perempuan lain” (Q.S. 33:32). Di Saudi, itu dijadikan adat.
Hanya, seperti halnya dilarang tampil menor, wanita juga tidak diperkenankan “melunakkan” suara (dengan gaya “mengundang”) di depan laki-laki yang bukan suami (Q.S. 33:32). (Begitu pula sebaliknya, secara qiyas, laki-laki). Tetapi, Saudari Marfu’ah, adakah ustadzah yang begitu?
Sumber: Panji Masyarakat, 18 Agustus 1997