Ads
Cakrawala

Kolom Arsul Sani: Republik dan Pancasila dari Kacamata NU

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Pada muktamar Nahdlatul Ulama ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan,  8-12 Juni 1935, muncul pertanyaan mengenai status negara Hindia-Belanda yang notabene diperintah oleh pemerintah yang bukan Islam dan orang-orang yang tidak beragama Islam. Apakah menurut ajaran agama Islam, negara semacam ini wajib dipertahankan jika ada serangan dari luar?  

Lalu keluarlah fatwa, untuk menjawab pertanyaan yang diajukan peserta muktamar, atau kongres (nama  yang digunakan waktu itu). Dengan mengambil rujukan kitab Bughyah al-Mustarsyidin karya Al-Hadhrami, dinyatakan bahwa negara Hindia-Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar, sebagai kewajiban agama, karena negara tersebut menjamin  kebebasan kepada umat Islam untuk menjalankan ajaran agama mereka. Dengan lain perkataan, bagi NU wilayah Hindia Belanda merupakan “wilayah Islam” atau “negeri Islam” (darul Islam), bukan darul harb,  karena negara tersebut memberi kebebasan kepada warga untuk melaksanakan ajaran agama Islam, dan karena itu wajib dibela jika ada invasi musuh.

Seperti dikemukakan Abdurrahman Wahid (1994)  fatwa tersebut menyentuh dua hal penting bagi kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama mereka, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut, di satu pihak. Kedua, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses sejarah, di pihak lain. Kedua hal ini, menurut Gus Dur, memungkinkan kaum muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang bukan negara Islam.

Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, yang pendiriannya melibatkan para pemuka Islam, bukanlah negara Islam, meskipun dasar utamanya adalah Ketuhanan, dan diperintah oleh sebagian besar orang-orang Islam. Maka, ketika negara yang baru berdiri ini berada dalam ancaman musuh yang hendak menguasai kembali Indonesia, para ulama NU yang dipelopori KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad: “Setiap muslim tua muda dan miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia; pejuang yang mati dalam membela kemerdekaan Indonesia layak dianggap syuhada; warga yang memihak kepada Belanda dianggap memecah belah persatuan dan oleh karena itu harus dihukum mati.”

Dalam sidang-sidang Konstituante, Partai NU bersama partai-partai Islam lainnya memang memperjuangkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara, dalam sebuah undang-undang dasar yang baru. Sebelum Konstituante menyelesaikan tugasnya menyusun pengganti UUDS 1950, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran Konstituante dan kembali kepada UUD 1945.

Nahdlatul Ulama tampaknya tidak punya beban teologis maupun ideologis dengan kembali kepada UUD 1945, dus menjadikan kembali Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini tidak lepas dari keterlibatan tokoh-tokoh NU sendiri seperti KH Wahid Hasyim yang ikut merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, sebagai organisasi NU terikat dan harus menjaga kesepakatannya sendiri untuk mempertahan Pancasila dan NKRI.

Pada masa Orde Baru,  semua organisasi, baik organisasi politik  maupun organisasi massa, harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Banyak organisasi yang curiga, enggan dan menolak, terutama ormas keagamaan, tidak hanya Islam tetapi juga agama yang lain. Melalui pembicaraan yang intensif antara ulama-ulama NU,  khususnya  KH As’ad Syamsul Arifin dan  KH Ahmad Siddiq,  dengan Presiden Soeharto bahwa Pancasila tidak akan menggeser agama dan agama tidak akan dipancasilakan, maka NU mau menerima Pancasila sebagai asas organisasi, tanpa harus meninggalkan “Ahlus Sunnah Wal Jamaah”  sebagai dasar akidahnya.

Pada Munas Alim-Ulama NU di Situbondo tahun 1983, KH Ahmad Shiddiq menyampaikan makalah  tentang “Penerimaan Asas Tunggal Pancasila bagi NU”.  Ia ungkap argumentasi secara mendasar dan rasional dari segi agama, historis maupun politik. “Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan”. Lebih lanjut ditegaskan, “NU menerima Pancasila berdasar pandangan syariah, bukan semata-mata berdasar pandangan politik. NU tetap berpegang pada ajaran akidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya.” Ratusan kyai yang pada awalnya menolak asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, berangsur-angsur berubah sikap dan menyepakatinya. Penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas ini kemudian dirumuskan dalam sebuah deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam. Berikut bunyi lengkap deklarasi yang dikeluarkan pada  16 Rabi’ul Awwal 1404 H (21 Desember 1983 ):  

“Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.  Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. Penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.”

Pada muktamar NU ke-27  tahun 1984 yang juga dilangsungkan di Situbondo, secara tegas NU menyatakan dengan tegas bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final dari perjuangan umat Islam di Indonesia. Lebih jauh, untuk mengukuhkan komitmen kebangsaan kaum nahdliyyin,  Rais Aam PBNU KH Ahmad Shiddiq kemudian merumuskan tiga model ukhuwah yang sangat terkenal, yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam),  ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa),  dan ukhuwah basyariyah atau persaudaraan umat manusia.

Penulis : Arsul Sani, pengacara dan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI dan Wakil Ketua MPR RI

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda