“Apa yang paling mengesankan Anda tinggal di Australia?” Pertanyaan ini sering saya terima, baik dari teman Indonesia maupun dari teman Australia. Pada awalnya, bingung juga saya menjawab pertanyaan itu. Sebab hal itu tak terpikirkan sebelumnya.
Pertama-tama yang masuk dalam pikiran adalah bahwa saya merasa terbebaskan dari stres. Hal ini terutama berkenaan dengan terbebasnya dari kemacetan lalu lintas dan ketidakdisiplinan serta kesemrawutan di jalan, karena saya tinggal di kota yang berpenduduk hanya sekitar 250.000-300.000 jiwa. Tentu terasa benar bedanya dibanding Jakarta. Kedua adalah kemudahan dan kelancaran dalam berurusan, entah dengan kantor imigrasi, bank, pajak, dan sebagainya. Misalnya saja, untuk memperpanjang atau memperoleh visa dari kedutaan suatu negara asing, cukup menelepon dan paspor dikirim lewat pos. Tidak diperlukan pelicin, sogok atau suap untuk mempermudah urusan. Bahwa birokrasi itu pelayan masyarakat bukanlah ungkapan kosong.
Selain dua hal itu ada hal lain yang lebih mendasar. Sebagai muslim terus terang saya katakan bahwa saya merasakan hidup sebagaimana mereka yang digambarkan Al-Qur’an sebagai la khaufun ‘alaihim walahum yahzanun, yang bebas dari kekhawatiran dan kesedihan. Saya merasakan hidup yang tenteram. Yang membuat hati saya merasa tenteram adalah bahwa saya merasa apa yang saya peroleh di sana benar-benar penghasilan yang halal.
Kesimpulan saya itu merupakan hasil dari sedikit refleksi tentang pengalaman saya sebagai pegawai negeri. Di sini gaji saya tidak cukup. Sebagai ahli peneliti utama di Departemen Agama dan pejabat eselon dua di Sekretariat Negara, tunjangan yang saya peroleh lumayan. Tapi biaya pendidikan tiga orang anak tidak tercukupi oleh gaji saya. Karena itu saya harus menyambi pekerjaan lain. Saya harus “korupsi”. Saya terpaksa meninggalkan jam kerja untuk mengajar atau menghadiri seminar yang dari kegiatan itu diperoleh pendapatan tambahan. Atau saya mempergunakan peralatan kantor seperti komputer atau kertas untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan saya.
Apa yang saya rasakan itu muncul dalam pikiran saya ketika membaca heboh tentang label halal untuk produk makanan, dan mungkin juga parfum. Di satu sisi memang hal itu mengisyaratkan betapa kaum muslimin sangat berhati-hati dalam hal makanan, tidak ingin sedikitpun memakan makanan yang tercampur dengan unsur-unsur yang haram. Tapi yang agaknya kurang diperhatikan adalah bahwa masalah kehalalan atau keharaman tidak hanya berkaitan dengan makanan tapi semua kepemilikan kita.
Dan dalam kaitan dengan makanan tidak hanya benda makanan itu, akan tetapi juga cara mendapatkannya. Karena itulah, kata Kiai Mustofa Bisri, makan makanan yang dibeli dari uang korupsi lebih berat dari pada makan berton-ton daging babi. Dengan kata lain keharaman makanan karena cara memperolehnya jauh lebih serius dibanding keharaman makanan karena zatnya. Sebab dosa pertama hanya berkaitan dengan hablum minallah, hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan dosa kedua berkenaan dengan hablum minannas yang tidak bisa ditebus hanya dengan bertobat kepada Tuhan. Kalau yang pertama mungkin bisa dikategorikan sebagai perbuatan fahsya yang hanya merugikan diri sendiri, maka yang kedua termasuk munkar yang merugikan orang lain, malahan bisa termasuk baghyu yang merugikan masyarakat. Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya menempatkan korupsi dalam kategori baghyu yang dalam fikih diartikan sebagai “pemberontakan”. Mungkin hal ini ada benarnya karena dua-duanya merongrong kehidupan bermasyarakat.
Menarik untuk direnungkan bahwa dalam ruku ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan ibadah puasa, Al-Baqarah 183-188, ada dua ayat yang seolah-olah tidak ada kaitannya dengan ibadah itu. Pertama ayat 186 yang berbunyi: “Jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku maka sesungguhnya Aku dekat, Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika ia berdoa kepada-Ku, maka itu hendaklah mereka mendengarkan Aku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka beroleh petunjuk”, dan ayat kedua sebagai penutup pembicaraan tentang ibadah puasa berbunyi: “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, dan janganlah memberikan sogokan kepada para pejabat agar kalian bisa memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa padahal kalian tahu.”
Ayat pertama berkenaan dengan aspek spiritualitas ibadah puasa, yakni dengan melalui ibadah itu diharapkan kaum muslimin terkondisikan untuk menghayati kesadaran bahwa Tuhan itu dekat. Dengan kesadaran itu diharapkan akan lahir manusia-manusia muslim, yang seperti diinginkan oleh ayat kedua, teguh dalam menghayati sikap jujur sehingga kehidupan masyarakat mereka terbebaskan dari praktik-praktik saling memakan harta sesama dengan cara-cara yang batil, yang tidak halal dan tidak legal. Kualitas kehidupan kaum muslimin seperti inilah yang menjadi ukuran keberhasilan ibadah puasa. Pertanyaan adalah seberapa jauh ibadah puasa yang kita lakukan dari tahun ke tahun telah berhasil membentuk manusia dan masyarakat yang jujur justru pada saat kaum muslimin beroleh “kemenangan” dalam perkara labelisasi halal terhadap makanan.
Penulis: Dr. Djohan Effendi (1939-2017). Dikenal sebagai salah seorang pembaru pemikiran Islam, segenerasi dengan, antara lain, Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid. Berkarier di lingkungan Kementerian Agama dan Sekretariat Negara. Posisi terakhirnya sebagai birokrat adalah Kepala Balitbang Kementerian Agama. Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, peraih Ph.D dari Deakin University, Australia, ini sempat didapuk sebagai Menteri Sekretariat Negara. Sumber: Panji Masyarakat, 21 April 1997.