Ketika mengajar di Universitas McGill, Kanada, pada 1960-an, Rahman diminta “pulang kampung” oleh Presiden Ayub Khan untuk memimpim Islamic Research Institute, lembaga riset yang didanai pemerintah dan bertugas memberi nasihat seputar kebijaksanaan keagamaan. Ia juga diminta menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam pemerintah Pakistan, dengan tugas yang kurang-lebih sejenis.
Sada saat itu, Pakistan sangat miskin, dan tingkat buta huruf mencapai angka 80%. “Kemiskinan adalah persoalan moralnya yang utama,” Rahman mengenang. Untuk mengatasinya, kekayaan harus diciptakan, kemudian didistribusikan secara adil. Karena itu Rahman menawarkan pemikiran Islam yang sangat liberal dan progresif, dilihat dari konteks Pakistan saat itu. Antara lain penghalalan bunga bank, penyembelihan hewan secara mekanis, dan keluarga berencana. Dan sejalan dengan dukungannya terhadap peningkatan harkat kaum perempuan muslim, juga reformulasi atas hukum kekeluargaan Islam: pembatasan poligami dan pembolehan istri mengajukan tuntutan cerai.
Saran-saran itu segera mengundang kontroversi meluas. Dan itu memuncak dalam demonstrasi September 1968. Pemicunya bukan saran-saran itu, melainkan pernyataan Rahman mengenai pewahyuan Quran dalam buku Islam yang terbit dua tahun sebelumnya. Di situ Rahman menolak formulasi tradisional mengenai pewahyuan Al-Quran lewat Jibril kepada Nabi Muham-mad sebagai “hampir-hampir seperti seorang tukang pos yang menyampaikan surat-surat.” Menurut dia, formu-lasi ini benar-benar menutupi kepribadian religius yang ada pada diri orang besar bernama Muhammad, dan ini menurunkan bobotnya sebagai manusia biasa yang harus diteladani. Ringkasnya, ortodoksi Islam “tidak punya kemampuan intelektual untuk sekaligus mengatakan bahwa Al-Quran secara keseluruhan adalah Kalamullah dan, dalam pengertian biasa, juga perkataan Muhammad.” Karena kerasnya tekanan, antara lain berupa poster yang menyebut kehalalan darahnya, ia mengundurkan diri dari jabatan.
Hijrah ke Amerika
Ia memutuskan hijrah. Dan sejak 1969 menetap di Amerika Serikat (AS) sebagai guru besar pemikiran Islam di Universitas Chicago. Dalam naskah ketik tiga halaman, bertahun 1970, yang diberinya judul Why I Left Pakistan? (tidak diterbitkan), ia mengeluhkan lingkungan konser-vatif yang sangat tidak mendukung tumbuhnya kreativitas pemikiran bebas yang bertanggung jawab di Pakistan. Juga bagaimana isu agama hampir selalu bercampur-baur dengan isu politik, dan dimanfaatkannya sentimen agama untuk memenangkan kepentingan politik tertentu. “Pemikiran Islam, seperti semua pemikiran, juga membutuhkan suatu kebebasan yang, dengan itu, perbedaan pendapat, konfrontasi pandangan, dan perbedaan antara berbagai gagasan diberi tempat,” katanya.
Rahman menemukan kebebasan itu di AS. Juga memperoleh banyak keuntungan lain dibanding seandainya ia terus “berkubang” dan disibukkan oleh kontroversi di negeri asalnya. Ia dapat memperluas aksesnya ke seluruh dunia, untuk memperoleh informasi mengenai temuan-temuan baru dan menyebarkan gagasan-gagasannya sendiri.
Selain itu kaum muslimin di AS juga diuntungkan oleh kehadirannya. Rahman sering tampil sebagai juru bicara kepentingan mereka di negara non-Islam itu. Dalam hal ini posisinya dapat disejajarkan dengan intelektual muslim lain seperti almarhum Isma’il Faruqi (Palestina) dan Seyyed Hossein Nasr (Iran).
Dan sebagai seorang guru besar yang populer, ia banyak didatangi mahasiswa yang bermaksud berguru. Yang terutama penting tentu saja mahasiswa muslimnya, para calon intelektual di negeri masing-masing. Tetapi, juga, lewat para mahasiswa nonmuslim Rahman membentuk citra yang lebih baik mengenai Islam di dunia kesarjanaan Barat. Ini tampak misalnya dalam karya-karya Frederick M. Denny, sarjana AS yang menulis mengenai Islam dengan sikap yang terbuka.
Dan kini, gagasan-gagasan Rahman terasa jejaknya di berbagai belahan dunia Islam. Selain pada murid-muridnya, juga seperti pada Abdullahi Ahmed an-Na’im (Sudan), Aminah Wadud-Muhsin (Malaysia), atau Farid Essack (Afrika Selatan).
Revitalisasi Tradisi
Tetapi Rahman juga pewaris langsung gerakan modernisme Islam Indo-Pakistan. Dalam dirinya mengalir titisan darah pembaruan Syah Waliullah, Sayyid Ahmad Khan, Amir Ali, dan terutama Muhammad Iqbal. Bersama mereka, ia menaruh skeptisisme terhadap banyak segi tradisi Islam yang dibela para teolog konservatif.
Dalam pandangannya, sebagian besar kandungan tradisi itu sudah lapuk dan harus direvitalisasi. Bukan agar tradisi itu sejalan dengan modernitas, tetapi karena memang ada, yang tidak beres dalam tradisi itu, yang menghambat pencapaian cita-cita Islam untuk menjadi rahmat bagi semesta. Perkara ini diutarakan secara terbuka dalam serangkaian artikel yang kemudian dibukukan menjadi Islamic Methodology in History (1965), karya ringkas tapi- padat (dan agak rurnit). Mengenai evolusi historis empat landasan pemikiran, Islam (Al-Quran, Sunnah, Ijtihad, Ijmak).
Rahman menandaskan perlunya dibedakan antara “Islam normatif” dan “Islam historis”. Islarri ‘normatif adalah Islam dalam teks, sementara yang historis adalah Islam sebagaimana dipahami dan dipraktikkan umatnya. Pembedaan ini diperlukan untuk mendapatkan kriteria islamisitas tradisi. Dengan kriteria itulah revitalisasi atas ortodoksi dimungkinkan.
Bagi Rahman, kaitan keduanya dinamis dari dialek-tis. Dalam praktek ijtihad umat Islam awal, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah data objektif. Yang subjektif adalah pemahaman mereka, yang jelas bergantung pada konteks. Di sini keragaman hasil ijtihad diakui. Keragaman itu kemudian mengkristal, memunculkan opini publiK yang secara sosial diakui manfaat dan relevansinya. Kristalisasi itulah yang disebut ijmak.
Dengan metodologi ijtihad seperti ini, kata Rahman, Islam jelas mengakui harkat pikiran manusia. Konteks lingkungan juga ditoleransi. Ijmak bukanlah praktek erastianisasi Islam, tempat suatu otoritas memaksakan paham keislaman tertentu.
Apakah semua tradisi hanya bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi? Tidak juga. Selalu ada kemungkinan masuknya unsur-unsur lokal dengan sumber non-Islam. Bagi Rahman, ini normal belaka, dan bisa diterima, sejauh masih berada dalam matriks umum nilai-nilai Islam. Yang tidak bisa diterima, bahkan absurd, adalah kalau tradisi dipandang sebagai Islam itu sendiri.
Ironisnya, dalam penilaian Rahman, itulah yang terjadi pada 10 abad terakhir sejarah Islam: Islam historis diposisikan sebagai Islam normatif. Tradisi Islam, yang kini dipandang sebagian besar umat sebagai Islam itu sendiri, sebenarnya dibangun pada pertengahan abad pertama hingga ketiga Hijriah. Sepanjang masa itu sistem-sistem teologi, hukum, moral, dan politik dibentuk. Oleh Rahman, keseluruhan bangunan tradisi itulah yang disebut ortodoksi.
Karena perpecahan internal di kalangan umat, meluasnya wilayah Islam dan kebutuhan akan suatu doktrin tunggal yang serba memayungi, kalangan ortodoksi terdorong memapankan tradisi yang mereka kembangkan. Belakangan, Islam jadi dipahami dan dipelajari lewat citra mengenai Islam yang sudah dimapankan ini. Pemikiran kreatif tidak lagi tumbuh. Yang berkembang adalah reproduksi dan reproduksi.
Dua penjelasan dikemukakan Rahman. Pertama, dalam fasenya yang sangat awal, ortodoksi terdorong untuk menerapkan langkah-langkah pengobatan yang kurang-lebih ekstrem, dalam rangka menghadapi keadaan darurat saat itu, yang juga ekstrem. Kedua, dengan “ditutupnya” pintu ijtihad, langkah-langkah ini lalu menjadi bagian permanen ortodoksi Islam. Dengan kata lain, “Suatu solusi ekstrem tertentu, yang dimaksud-kan untuk mengatasi persoalan ekstrem tertentu, menjadi ciri-ciri permanen dari kandungan Islam ortodoks, dan lebih jauh lagi, solusi ekstrem ini menjadi lebih dan lebih ekstrem lagi setelah berabad-abad lewat.”
Baginya, tradisi Islam itu harus didekonstruksi, dipilah-pilah, “dicairkan”. Tujuannya: menemukan mana yang berlian dan mana pula yang pasir. Dan berangkat dari yang berlian itulah ajaran-ajaran Islam harus direkonstruksi kembali, sesuai dengan semangat zaman.
Penulis: lhsan Ali-Fauzi, pemerhati pemikiran Islam. Pernah bekerja di LSPEU Indonesia, Jakarta, kini direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina. Sumber: Panji Masyarakat, 11 Agustus 1997